Chapter 18

64 5 0
                                        

"Assalamualaikum pak."

"Waalaikumussalam. Faisal?"

Ruang BK terlihat sepi. Hanya ada pak Rahmat yang masih disibukkan dengan tugasnya.

"Bapak ada waktu?"

----

"Keputusan sekolah sudah bulat. Jika memang benar Akbar ingin kembali ke sekolah ini, kenapa dia gak dateng sendiri? Kalo udah gak niat sekolah ngapain kesini?" Pak Rahmat berusaha menjelaskan kepada Faisal. Faisal mendengarkannya dengan seksama sambil menunduk. Ia duduk di hadapan pak Rahmat. Faisal meminta kompensasi keringanan untuk Akbar. Hari ini, tepat 3 hari setelah pak Rahmat memberikan surat peringatan kepada Akbar. Artinya, Akbar telah dikeluarkan dari sekolah. Faisal menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan

"Mungkin, di mata bapak Akbar memang gak pernah bener. Dia selalu bikin bapak marah. Skor buku kendalinnya hampir penuh. Bapak selalu meremehkan, mengatakan bahwa kami murid yang tidak tau diri, susah diatur. Tapi pernahkah bapak berpikir? Apa alasan kami melakukan hal ini semua?"

"Yang bapak lakukan hanya marah, mencatat skor pelanggaran, memberi ancaman. Bapak tidak pernah bertanya alasan kami dan juga tidak pernah memberikan solusi. Yang dilakukan guru hanya terus-terusan memuji siswa yang berprestasi."

"Saya disini bukan untuk membela Akbar pak. Bapak mungkin bisa bilang kalo Akbar adalah salah satu dari siswa yang bapak anggap nakal. Di sekolah ini." Pak Rahmat menatap Faisal dengan serius, mencoba memahami maksud dari apa yang ia katakan.

"Bapak tau kalo Akbar harus bekerja setelah pulang sekolah? Bapak tau kalau ayah Akbar berada di penjara karena kasus narkoba? Bapak tau, kalau saat ini Akbar tengah berjuang untuk kesembuhan adiknya?" Faisal menggeleng seolah mewakili apa yang akan pak Rahmat lakukan.

"Saya yakin bapak tidak tau masalah itu semua. Sekarang saya tau, kenapa ruang BK menjadi ruang yang menakutkan bagi siswa yang lain."

"Saya permisi pak. Makasih buat waktunya. Assalamualaikum." Faisal bangkit sari kursi dan meninggalkan ruang tersebut.

Pak Rahmat menatap foto yang ada di meja. Ya, Pak Rahmat tengah membereskan dokumen-dokumen milik Akbar. Hari ini ia bukan lagi murid kelas sebelas dari SMA Cendrawasih. Namun yang dikatakan Faisal seolah membuat dirinya merasa gagal untuk menjadi seorang guru.

---------

"Ca, maaf ya. Gue gak bisa temenin lo ke gramedia. Mama suruh gue buat pulang sekarang." Ucap Hilda sambil menyatukan kedua tangannya.

"Gak papa kok Hil, cuman disitu doang kok. Kamu pulang aja duluan."

"Hmm. Padahal lagi pengen banget buat liat-liat buku. Eh nanti kalo lo ketemu novelnya Tere Liye yang tentang kamu beliin dulu ya, uangnya nanti aku ganti." Aca mengangguk.

"Oke, makasih. Gue pulang dulu ya. Dah." Hilda melambaikan tangannya. Lalu berjalan menuju selatan.

Aca menyusuri rak-rak buku yang ada. Berada di toko buku memang menjadi salah satu hiburan tersendiri baginya. Melihat kumpulan buku tersegel yang tersusun rapi membuatnya ingin untuk memborong semua buku yang ada. Ia memang hobi membaca, mulai dari sejarah, novel, serial buku islami, dan genre lain.

Semakin banyak buku yang kau baca, maka akan semakin luas wawasanmu.

Ia berhenti tatkala menemukan buku yang berjudul "Ghazi." Buku berwarna kemerahan dengan gambar seorang prajurit yang memegang bendera al-liwa tersebut menyita perhatiannya.

Buku karangan ustadz Felix tersebut memiliki 6 seri. Novel sejarah tentang Muhammad Al Fatih tersebut memang baru saja diterbitkan.

Aca memang salah satu penggemar dari ustadz mualaf keturunan tionghoa tersebut. Kata-kata yang beliau sampaikan selalu mendalam, tegas, dan mudah dipahami. Ia bahkan memiliki beberapa buku karangan beliau dirumah seperti How to master your habbits, Art of Dakwah, Beyond the inspiration. Dan beberapa buku lain menjadi koleksinya di rumah.

Teka Teki TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang