"Akhirnya selesai juga." ucap Faisal sambil mengangkat kedua tangannya, terdengar bunyi otot-ototnya yang ketarik. Faisal lalu menggeser kursi untuk menghadap Akbar yang tengah tiduran di kasur king-size miliknya.
"Lo beneran Nying, kaga mau daftar SBMPTN? Hari ini terakhir pendaftaran lo," Akbar seolah tidak mendengar. Ia masih terlihat sibuk dengan game yang ia mainkan.
Merasa diabaikan, tangan Faisal bergerak untuk menonaktifkan hospot seluler dari laptopnya.
Akbar terkejut dengan notifikasi dari game yang ia mainkan.
"Check your internet connection to continue this game."
"Sal, gue hampir menang lo tadi. Iya iya, gue besok pagi beli kuota." Akbar melempar ponselnya di kasur. Ia terlihat kesal akibat diganggu.
"Sekarang tu bukan saatnya main game. Noh, 2 jam lagi pendaftaran SBMPTN ditutup." ketus Faisal dengan jari telunjuknya yang mengarah pada jam dinding. Akbar mendesah pelan. Ia justru mengambil kotak rubik yang ada.
"Biarin, emang gue gak minat kok."
"Plis deh Nying, ini bukan kaya kita dulu daftar SMA. Ini Universitas bro, banyak banget beasiswa yang bisa lu dapetin. Pasti lo mikirin duit lagi kan? Pemikiran pendek tau gak sih." Akbar diam. Jujur, kali ini ia sangat ingin untuk melanjutkan ke universitas. Namun ia bukanlah Faisal, yang memiliki orang tua mapan. Bisa lulus sampai SMA saja, ia cukup bersyukur. Bisnis material bangunan yang digeluti om Ridho bahkan mampu menyekolahkan Faisal hingga S2 sekalipun. Faisal juga merupakan anak tunggal.
"Lo sendiri kan pernah bilang ke gue waktu itu, pengen masuk ITB jurusan Arsitektur." Akbar menatap Faisal datar, lalu mendesah pelan.
"ITB itu yang daftar bejibun. Bukan dari Bandung doang. Belom Jakarta, Bogor. Pendaftarnya dari seluruh Indonesia Sal, apalagi ITB itu salah satu Universitas terbaik di Indonesia. Iya sih sekarang banyak beasiswa-beasiswa dari kampus, tapi kan saingannya gak satu dua. Apalagi mereka lebih pinter dari gue."
Faisal memutar kedua bola matanya. Ia sangat benci saat Akbar merendahkan diri. Hal ini hampir sama ketika ia membujuk Akbar untuk mengikuti olimpiade tahun lalu.
"Eh, itu namanya menyerah sebelum usaha. Lo daftar kuliah kaga, lo daftar beasiswa kaga. Terus ngomong kalo lo bakal gagal. Kan pak Rahmat juga rekomendasiin lo buat kesana, sampe beliau bikinin ID Bidikmisi buat lo. Padahal, murid lain aja harus beliau seleksi biar bisa ikut beasiswa Bidikmisi."
"Lo sendiri, kenapa kaga mau masuk ITB?"
"Karena gue sadar, gue gak kaya elu bar, lo itu pinter," Hanya dua keadaan, Faisal memanggilnya dengan nama asli. Saat ia sedang serius berbicara, dan ketika ia sedang marah.
"Tuh tau, jawaban lo mewakili gue." Faisal semakin geram dengan sahabatnya. Sangat sulit untuk membujuk Akbar.
"Akbar Fajrian Sujatmiko, dengerin gua. Ini kesempatan buat lo. Ayolah, percaya sama gue. Sebagai sahabat lo, gue yakin kalo lo bakal lolos. Waktu semakin berjalan bro, dan lo harus bijak dalam mengambil keputusan. Lo cuma tinggal usaha, urusan hasil tinggal Allah kan yang nentuin. Lo sendiri sering bilang gitu ke gue. Pura-pura lupa?"
Akbar terdiam. Namun kali ini ia memikirkan perkataan Faisal.
"Cepetan, keburu gue matiin ni laptop." Akbar lantas menatap layar laptop yang masih menyala.
"Bukain website-nya."
------------
Akbar membuka kenop pintu rumahnya perlahan, lalu menutupnya kembali. Sorot matanya menangkap sang ibu yang telah tertidur di sofa ruang tamu. Terlihat beberapa kue yang belum dibungkus di meja. Akbar memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan ibunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Takdir
SpiritualJalannya takdir memang tak pernah bisa ditebak. Karena ia adalah rahasia yang tak tampak. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan atau bahkan satu detik dari sekarang. Kedatangannya seolah menjadi misteri yang tak terduga. Ki...