"Ayoo, bentar lagi tu kalah tu." Faisal masih Fokus dengan game yang tengah ia mainkan. Tangannya dengan lihai memainkan joystick yang ia pegang. Sesekali tubuhnya ikut bergerak seolah menikmati jalannya permainan. Sedangkan Akbar, sedari tadi yang ia lakukan hanya menatap ponsel miliknya seolah menunggu sesuatu.
Sudah empat hari ia tidak berangkat ke sekolah. Perihal skorsing, sepertinya ia harus berterima kasih pada pak Rahmat yang telah memberinya liburan ekstra selama satu minggu. Sejenak, ia bisa melupakan materi-materi yang membosankan tersebut.
Akbar bahkan tidak memberitahu ibunya terkait hal ini. Karena jika ibunya tahu, maka ia tidak akan diperbolehkan keluar rumah selama masa skorsing. Ia bersyukur ibunya tidak curiga terhadap sikapnya akhir-akhir ini. Hal ini karena Akbar masih menjalankan aktivitasnya seperti biasanya. Ya, ia masih seolah-olah bersekolah, pergi pagi-pagi dengan seragam. Namun dengan tujuan yang berbeda.
"Arghhh." Akbar mengacak rambutnya kasar lalu membanting ponsel miliknya pada kasur. Faisal yang tengah bermain playstation langsung pun menatapnya heran.
"Bar, lo kenapa sih kaya orang kesurupan gitu." Akbar yang ditanya hanya menatap Faisal sekilas lalu mengalihkan pandangannya. Melihat dirinya diabaikan , Faisal mengambil sebuah bantal, lalu melemparnya pada Akbar.
"Ni anak ditanyain juga."
"Berisik lo sal." Bukannya menjawab Akbar justru pergi meninggalkan kamar. Faisal dibuat mematung dengan tingkah laku Akbar. Padahal ia hanya bertanya satu pertanyaan. Ia penasaran, pasti ada yang terjadi terhadap Akbar.
Senyumnya tersungging melihat ponsel milik Akbar yang tertinggal. Faisal mengambil benda pipih tersebut.
"Apa sih sandinya? Oh iya Andina." Kunci layar pun terbuka.
Faisal menggigit ujung jarinya. Dari tadi yang Akbar lakukan adalah layar ponselnya. Namun yang Faisal lihat hanyalah sebuah kontak yang bernama "Aca."
"Tu anak marah garagara cewek?"
------
Akbar kembali melirik Aca yang berada di sampingnya. Namun Aca seolah tak peduli. Ia tak mengerti, dua hari lalu Aca mengirimkan pesan yang berisi permintaan maaf untuknya. Namun setelah itu bahkan Aca tidak membalas, atau membaca satu pun pesan yang ia kirimkan.
Gue salah apa sebenernya?
Tangannya bergerak menulis sesuatu pada kertas.
Marah?
Akbar menggeser kertas tersebut ke samping, mengisyaratkan Aca untuk membacanya. Aca melihat sekilas kertas tersebut, wajahnya terlihat gugup, ia kebingungan untuk menjawab. Akbar masih menatap Aca seolah menunggu jawaban.
"Aw, sakit bego." Akbar merasakan kepalanya dipukul dengan spidol. Terlihat sosok bu Fanin yang menatap ke arahnya.
"Siapa yang yang kamu bilang bego?" Akbar tersenyum kikuk. Bu Fanin mengambil kertas yang berada pada meja miliknya. Akbar menghela napas pasrah. Ia yakin bu Fanin akan menyuruhnya keluar saat ini.
Mati gue.
"Tadi definisinya kelakuan rata-rata apa?" Akbar hanya diam, sembari menggigit bagian bawah bibirnya. Sungguh, dari tadi ia tidak mendengar apa yang guru itu terangkan di papan tulis.
"Terus kenapa gak perhatiin papan tulis, malah liatin Aca mulu. Nulis surat lagi." Sontak seisi kelas pun tertawa. Dilihatnya Aca yang tengah menunduk menahan malu.
"Sekarang kamu saya pindah. Dean, kamu tuker bangku sama Akbar untuk sekarang dan seterusnya."
"Bu, kok saya dipindah sih? Kan saya gak ngelakuin apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Takdir
EspiritualJalannya takdir memang tak pernah bisa ditebak. Karena ia adalah rahasia yang tak tampak. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan atau bahkan satu detik dari sekarang. Kedatangannya seolah menjadi misteri yang tak terduga. Ki...