"Uang bisa dicari, ilmu bisa digali, jabatan bisa diraih. Namun kesempatan untuk mengasihi orang tua tidak akan terulang kembali."
"Akbar, kamu besok gak ada acara kan?""Mmm, kayaknya gak ada. Emang kenapa bu?" sahut Akbar sambil mengikat tali sepatunya, besok ia masih mendapatkan kompensasi bekerja karena ujian semester.
"Besok pulang sekolah ikut ibu ya, sama Andin."
"Kemana emang? Kok tumben ngajak Akba, kayaknya penting amat."
"Ibu pengen ngajak kamu ke rutan."
Aktivitasnya terhenti, begitupun raut Akbar yang berubah ketika Ratih mengatakan rutan. Jika ia diajak untuk menengok ayahnya, maka Akbar bersumpah ia tidak akan pergi.
"Rutan? Ngapain kesana? Mau nengok dia?"
"Akbar, kamu gak boleh ngomong kaya gitu. Dia itu ayah kamu."
"Emang ada ya Bu, ayah yang gak peduli sama istri dan anaknya? Yang gak jalanin kewajiban buat cari nafkah?" Akbar tidak habis pikir. Mengapa setelah sekian lama ayahnya baru menghubungi keluarga.
"Akbar, ayah kamu lagi sakit. Tadi pagi ada polisi yang dateng dan minta ibu buat jenguk."
"Giliran sakit aja, baru inget kalo punya keluarga. Mau dia sakit, sehat, ato mati pun Akbar gak peduli Bu, malahan Akbar berdo'a biar dia cepet menghilang dari bumi."
"Akbar, jaga ucapan kamu!"
"Ck, lagian kenapa sih Ibu masih peduli sama dia? Ibu gak inget apa yang udah dia lakuin? Kita keluar kontrakan gara-gara utang dia yang numpuk. Inget gak pas Andin lahir? Dia bahkan gak ada disamping Ibu kan? Yang bayar biaya persalinan aja om Ridho, ayahnya Faisal."
Akbar berusaha menahan emosinya yang keluar. Ia yakin amarahnya tidak akan berhenti jika terkait dengan ayahnya.
Ratih memejamkan mata sejenak lalu menghela napas. Ia harus cukup sabar jika menghadapi anaknya yang sedang marah. Apalagi jika terkait suaminya. Ia sadar bahwa Akbar sangat membenci sosok ayahnya tersebut. Namun Ratih tahu, bahwa dibalik itu semua Akbar masih menyimpan rasa sayang terhadap ayahnya.
"Akbar, itu masa lalu. Apa salahnya kamu maafin apa yang ayah kamu lakuin dulu?"
"Sampe kiamat pun Akbar gak bakal maafin dia."
PLAKKK
Akbar memegangi pipinya yang panas akibat sebuah tamparan. Selama hidupnya, Ini baru pertama kali ia ditampar oleh ibunya.
"Ibu bahkan milih dia daripada Akbar."
"Akbar, jaga ucapan kamu! Ibu gak pernah ngajarin kamu buat jadi pendendam. Semua orang pasti punya kesalahan. Kamu, ibu, dan tugas seorang manusia hanya memaafkan. Allah saja maha pemaaf. Masa kamu yang hanya hamba-Nya sombong."
"Ibu kira gampang? Gak semudah yang Ibu kira. Akbar masih inget kok berapa kali ayah mukul Akbar. Akbar masih inget ayah pulang dengan bau alkohol. Akbar masih inget ayah marahin ibu. Akbar inget semua Bu. Terus ibu minta Akbar langsung maafin dia gitu?"
"Ibu tahu, bagi kamu susah. Tapi ibu mau ingetin kamu. Akbar masih anaknya ibu Ratih dan bapak Sujatmiko."
Akbar menatap ibunya sejenak, lalu pergi.
----
"Abangg, dicariin bang isal."
"Suruh tungguin aja Din," teriak Akbar dari kamarnya. Ia masih harus mencari buku pelajaran bahasa inggrisnya yang hilang di kamar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Takdir
SpiritualJalannya takdir memang tak pernah bisa ditebak. Karena ia adalah rahasia yang tak tampak. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan atau bahkan satu detik dari sekarang. Kedatangannya seolah menjadi misteri yang tak terduga. Ki...