Chapter 7

56 6 0
                                        

Jalanan kota Bandung memang tidak sepadat Jakarta. Namun sama saja, ia masih mendapati kemacetan di beberapa titik. Termasuk jalan yang ia lewati kali ini. Kedua matanya celingukan, seolah mencari celah untuk lewat.

"Pak, gak ada jalan lain ya?" tanya Akbar. Jarak rumah sakit yang normalnya bisa ditempuh selama 10 menit menggunakan motor. Namun 15 menit sudah ia berkendara, separuh jalan saja belum sampai.

"Oh saya tau den, itu tu gang kecil deket lampu merah." Motor matic berwarna merah dengan plat D itu menyalip beberapa kendaraan yang ada di depannya. Kedua tangan Akbar ia letakan pada bahu driver ojek tersebut.

Dalam perjalanan, pria yang menurut Akbar berumur sekitar 40 tahunan tersebut tak berhenti bercerita. Akbar hanya manggut-manggut mendengarkan.

"Saya salut deh sama Aden. Masih peduli sama orang tua. Sekarang itu banyak banget yang durhaka sama orang tua." Akbar tidak menjawab.

Motor itu pun berhenti ketika berada di depan gedung pencakar langit yang didominasi warna hijau.

"Berapa pak?" tanya Akbar seraya mengambil dompetnya dari saku celana.

"Lima belas ribu Den," Pas. Jumlah tersebut adalah kembalian saat ia membeli obat untuk Linda tadi. Akbar menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan dan uang lima ribuan, lalu melepas helm yang ia kenakan.

"Makasih pak,"

Akbar langsung berlari ke dalam rumah sakit,  baju putih bagian belakangnya terlihat basah karena keringat. Napasnya terengah-engah, kedua bola matanya bergantian menatap ruangan yang berjejer rapi pada sisi kanan dan kiri. Akbar hanya berharap bahwa ia belum terlambat.

"Kenanga no 17," gumannya

Langkahnya terhenti ketika melihat seorang perempuan yang tengah berbicara dengan pria berjas putih dengan stetoskop yang dikalungkan pada leher. Tangan kanannya mengelus-elus kepala  gadis kecil yang ada di sampingnya.

Ibunya dan Andin.

"Kekebalan tubuhnya semakin menurun, seandainya ia lebih awal menjalani pengobatan. Mungkin ia bisa selamat. " 

Kedua wanitanya menangis, bahkan Andin belum pernah melihat wajah ayahnya sejak lahir. Ibunya dan Andin seolah  telah kehilangan sosok yang berharga. Akbar tak bisa berkata apapun, ia terlambat.

"AKBARR." Terdengar suara Faisal yang bereriak memanggil namanya. Ia langsung tersentak, lalu berbalik.

BUGHH.

Akbar tersungkur saat Faisal tiba-tiba memukulnya. Ia mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan cairan berwarna merah.

"Lo terlambat, Gue yakin lo seneng setelah denger apa yang dokter bilang tadi. Bokap lo udah gaada!" Seluruh orang yang ada di rumah sakit menatap dua insan yang sedang berkelahi tersebut. Bahkan ada yang menutup mulutnya karena terkejut dengan perlakuan Faisal yang tiba-tiba. Mereka menjadi pusat perhatian.

"Bangun lo." Faisal menarik kerah baju milik Akbar yang otomatis membuatnya berdiri.

"Asal lo tau ya! Bokap lo tadi minta gue buat nyariin lo! Gue nyariin lo di sekolah, di cafe tempat lo kerja. Lo ke mana?"

"Dia mau minta maaf sama lo, Dia pengen ketemu sama anak laki-laki satu-satunya. Seharusnya lo tu ada di saat dia lagi berjuang ngelawan penyakitnya. Asal lo tau, berulang kali, dia minta maaf. Minta maaf atas apa yang dilakuin dulu."

Akbar masih diam mendengarkan setiap kata yang diucapkan Faisal. Ia menunduk, tidak berani menatap wajah sahabatnya. Ia memejamkan mata ketika Faisal kembali memukulnya.

"Lo liat Andin nangis kan? Padahal dia belom pernah liat wajah bokapnya."

Seorang satpam menghampiri mereka berdua. Satpam tersebut menghentikan tangan Faisal yang hendak memukulnya.

Teka Teki TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang