Chapter 15

54 7 0
                                        


Suasana taman kota yang berjarak beberapa meter dari sekolahnya tampak ramai. Pedagang kaki lima mengelilingi pinggir taman. Beberapa anak muda  bermain skateboard, sepatu roda, dan permainan lain. Akhir pekan memang saat yang tepat untuk bersantai, melepaskan penat akibat satu minggu bekerja atau sekolah. Langit sore yang cerah berwarna kejinggaan itu terlihat cantik menghiasi awan. Beberapa anak kecil tengah asik berlarian.  Mereka nampak bahagia, namun tidak untuk Akbar.

"Lagian sih lo bar, pake acara nembak dia di kantin. Cewek kaya Aca tu pasti maunya sama cowok yang sholeh. Lah ini elo. Ngaca gih sana. Untung aja Aca gak reflek nampar lo. Eh malah gue yang dimarahin abis-abisan sama temennya itu. Siapa sih namanya hima, hilma."

"Hilda." Ralat Akbar.

Mereka tengah duduk di bawah pohon beringin yang berada di tengah-tengah taman. Seragam coklat pramuka masih menempel pada tubuh mereka berdua.

"Yang gue bilang tu spontanitas sal. Mana tau gue bakal ngomong kayak gitu. Lo tau sendiri kan gimana sifat Fandy? Gue yakin Dia pasti punya niat buruk sama Aca."

"Gue juga heran deh, apa sih maksud tu anak. Apa coba yang dia pengen dari lo. Gak puas dia cemarin nama lo di SMP dulu."

Akbar terdiam menatap lurus di depannya.

"Gak tau gue."

Biasanya setiap sabtu sore Aca akan berkunjung ke taman ini bersama keponakan,dan kakak laki-lakinya. Lalu Akbar akan belajar iqro' dengan Iwan. Ia sedikit malu ketika mengatakan pada Iwan jika ia belum bisa membaca satu hurufpun dalam Al-Qur'an. Ia memang pernah belajar mengaji, namun itu adalah ketika ia berada pada bangku taman kanak-kanak, dan hanya berjarak beberapa bulan saja.

Iwan tidak marah ataupun meremehkan Akbar. Ia justru bangga jika Akbar masih  mau belajar.

Tidak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu, kecuali jika kau sudah sampai liang lahat.

Namun, Sepertinya mereka tidak datang. Ia sempat berpikir bahwa Aca mengadukan perbuatannya kepada sang kakak.

Akbar sedikit terperanjat ketika seseorang menepuk bahunya dari belakang.

"Alhamdulillah, aku kira salah orang. Udah lama nunggunya?" Iwan langsung duduk di samping Akbar.

"Ooh, enggak kok mas. Sini mas duduk." Akbar memberinya ruang untuk duduk.

Faisal menatap Akbar seraya mengangkat kedua alisnya seolah bertanya siapa?

"Abangnya Aca." jawab Akbar lirih. Kedua alisnya saling bertautan.

"Lo utang cerita ke gue."  Bisik Faisal.

"Hmm."

" Oh kenalin mas, ini temen aku, Faisal." Faisal mengulurkan tangannya. Iwan meraih tangan Faisal sembari tersenyum

"Mas kesini sendirian?"

"Enggak kok, tuh lagi sama istri sama anak." Jawab Iwan sambil menunjuk ke arah kolam.

"Aca gak mau ikut, katanya sih agak pusing."

"Ooh." Akbar hanya diam. Ia yakin bahwa alasan Aca tidak ikut adalah dirinya.

"Eh, aku lupa bawa buku panduan tajwidnya. Kamu pasti udah nungguin."

"Enggak kok mas, aku juga belum persiapan kok."

Mereka bertiga terdiam. Melihat Akbar dan Faisal membuatnya mengingat masa SMA nya dulu.

"Eh kalian liat gak orang pacaran yang deket tukang bakso itu?" Akbar dan Faisal mengikuti arah pandang Iwan.

Teka Teki TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang