Akbar menyisiri lorong-lorong rumah sakit. Ruangan tempat adiknya dirawat memang sedikit jauh dari pintu masuk rumah sakit. Sebuah jaket kulit berwarna hitam melekat pada tubuhnya. Akbar menenteng kresek berwarna putih yang berisi buah apel merah. Andin memang sangat menyukai buah tersebut.
Dokter mengatakan bahwa Andin mengidap penyakit pneumonia. Hal ini membuat Andin harus menerima berbagai macam obat dan suntikan. Terkadang sebuah ventilator terpaksa dipasang jika sesak napasnya kambuh.
Kantung matanya terlihat jelas akibat kurang tidur. Wajahnya terlihat sedikit pucat. Ia memang memutuskan untuk mengambil jam tambahan untuk bekerja. Jika pada siang hari ia menjadi kasir, maka pada malam hari ia akan berada di dapur untuk mencuci piring dan menyiapkan membersihkan cafe.
Akbar meminta ibunya untuk menjaga Andin dan melarangnya untuk ikut bekerja. Baginya, saat seorang anak sakit, ibu memiliki peran penting untuk kesembuhan anaknya.
Akbar menghentikan langkahnya. Matanya menyipit untuk memastikan apa yang ia lihat. Faisal, Aca dan Hilda tengah mengobrol dengan ibunya dan Andin. Andin nampaknya senang dengan kehadiran mereka. Padahal Andin sangat sulit jika berhadapan dengan orang yang baru ia kenal.
Faisal. Ia yakin bahwa dia lah yang mengajak mereka berdua kesini. Padahal Akbar sudah memintanya agar tidak memberitahukan hal ini kepada siapa pun di sekolah. Ia mengambil ponselnya pada saku lalu mengirim sebuah pesan pada Faisal.
Akbar mengamati pergerakan Faisal. Ia tampaknya menyadari pesan yang ia kirim, Faisal melirik ke arah jendela, Akbar langsung mengisyaratkan agar ia keluar.
"Lo apa-apaan sih ngajak mereka berdua." Faisal hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ya, lo kaya gak tau si Hilda aja. Gue diancem sama dia." Akbar mendengus, Perempuan yang menjabat sebagai ketua kelasnya itu memang keras kepala.
"Oh iya, gue juga dateng buat nyerahin ini. Dari pak Rahmat." Faisal menyerahkan sebuah amplop yang berlogo sekolahnya. Raut wajah Faisal berubah menjadi serius.
Perlahan, Akbar membuka surat tersebut, membacanya dengan seksama. Tertulis bahwa ia akan dikeluarkan dari sekolah dalam tiga hari jika ia masih tidak memberikan keterangan. Akbar terdiam. Ia memang sengaja tidak memberikan keterangan kepada sekolah selama seminggu ia tidak masuk. Ia pun sudah tau konsekuensi yang akan ia dapatkan.
"Saran gue, lo harus pikirin lagi tentang surat ini."
"Gue udah mikir tentang ini. Maaf ya, gue gak bisa nemenin lo sampe lulus nanti." Akbar kembali melipat surat tersebut dan memasukannya ke dalam amplop. Faisal sudah tahu bahwa Akbar akan mengatakan hal ini.
"Inget gak sih bar, waktu pemotretan wisuda TK, gue nangis pas sepatu gue kena lumpur." Akbar menatap Faisal, mencoba mengingat masa-masa itu.
"Gue gak mau difoto pas waktu itu. Dan lo langsung turun dari panggung buat nyamperin gue. Akhirnya kita berdua gak ikut foto."
Mereka berdua langsung tertawa mengingat kejadian tersebut.
"Pas SD, kita juga gak bisa foto bareng, kakek gue yang di Magetan meninggal. Dan pas SMP, lo gak bisa dateng karena Andin sakit. Kita hampir gak punya foto wisuda bareng tau."
"Tapi buat hal ini, gue gak bisa paksain lo. Ini hidup lo, dan lo yang tentuin pilihan lo sendiri."
------
"Abang, kok kakak yang kemarin gak kesini lagi?"
"Kakak yang mana?" Akbar memperbaiki selang infus yang sedikit macet. Ibunya tengah pulang untuk mengambil beberapa barang yang tertinggal.
Sudah sepuluh hari Andin dirawat. Perkembangannya lumayan membaik. Namun ia masih harus menjalani beberapa terapi agar paru-parunya kembali normal. Menjaga Andin di rumah sakit tidaklah mudah. Ia bahkan sering merengek, meminta agar infus dan alat bantu pernapasannya dilepas, terkadang ia juga menangis ingin segera pulang.
"Kak Ida sama kak Aca." Beberapa hari ini, Hilda dan Aca memang selalu menjenguk Andin. Namun mereka berdua tidak pernah bertemu Akbar, karena ia bekerja di cafe. Akbar memang sengaja menghindar dari dua perempuan tersebut.
"Nih din, minum obatnya dulu." Andin diam sambil mengerucutkan bibirnya.
"Gak mau."
"Ini udah abang tuangin sirupnya."
"Pokoknya Andin gak mau." Suara Andin meninggi, membuat beberapa pasien yang ada di sekitarnya menoleh.
"Ish, jangan teriak-teriak, malu sama yang lain. Andin, katanya pengen cepet pulang makanya diminum."
"Andin gak mau,, obatnya pahit. huhuhu." Akbar mendesah, ya Andin kembali menangis. Dan satu-satunya yang bisa membuatnya diam adalah ibunya.
"Bukan gitu caranya buat ngerayu anak kecil." Akbar langsung menoleh. Ia sedikit terkejut dengan kedatangan Aca dan Hilda.
"Sini sendoknya." Tangannya gemetar saat menyerahkan sendok yang telah berisi sirup kepada Aca.
"Udah, cup,cup. Kakak tau kok kalo obatnya pahit. Tapi dokter kasih ini biar kamu cepet sembuh lo. Sekarang gini, kamu merem pas kakak suapin sirup. Terus nanti kamu langsung minum air putih. Bayangin aja kamu lagi minum jus."
Andin menghentikan tangisannya. Lalu melakukan apa yang Aca minta. Akbar terpaku, Andin begitu menurut dengan Aca dibandingkan dirinya.
"Liatnya biasa aja kali, udah rindu ya?" Hilda menyenggol bahu Akbar dengan sikunya. Akbar yang ketahuan tengah memperhatikan Aca langsung mengalihkan pandangannya.
-------
"Lo yakin sama pilihan lo bar?"
Akbar yang ditanya justru menatap Andin yang Teleh tertidur.
"Ck, bisa gak sih lo tanya hal lain? Bosen gue jawabnya."
"Kita tinggal satu tahun lagi. Lo gak sayang apa?"
"Kita bisa bantu lo kok. Kita bakal bantu buat pengobatan Andin."
"Semuanya aja bilang gitu. Kayaknya gue miskin banget ya. Asal lo tau, gue berhenti sekolah tu bukan karena Andin doang. Jadi gak usah sok tau masalah hidup gue."
"Ngapain sih kalian repot-repok kesini? Bawain makanan, nyuapin Andin. Kalian gak ada kesibukan lain apa?"
"Akbar, apa salahnya sih kita bantuin kamu?" Kali ini Aca yang bersuara.
"Ha? Bantuin? Bukannya lo benci ya sama gue? Terus kenapa lo tiba-tiba dateng terus sok kasih perhatian gitu?"
"Akbar, lo kok ngomong gitu sih ke Aca."
"Jam kunjungan pasien udah abis lo, kalian gak pulang?" Akbar melihat jam tangan yang bertengkar di lengannya, mencoba mengalihkan perhatian.
Aca terdiam. Ia tidak menyangka dengan apa yang baru ia dengar. Akbar mengusirnya?
"Yaudah ca, kita pulang. Ngomong sama dia cuma bikin darah gue naik."
Hilda menarik tangan Aca dan berjalan meninggalkan Akbar.Akbar mengusap wajahnya lalu membuang napas pelan. Parkataannya memang tidak bisa terkontrol ketika emosi. Sungguh, ia tidak bermaksud berkata demikian. Aca terlihat tersinggung dengan perkataannya.
Ia hanya kesal jika setiap orang yang datang menawarkan bantuan untuk pengobatan Andin. Mereka seolah menganggap dirinya lemah. Biaya rumah sakit memang tidaklah murah. Namun ia yakin bahwa ia masih mampu untuk membayarnya tanpa bantuan orang lain.
--------

KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Takdir
SpiritualJalannya takdir memang tak pernah bisa ditebak. Karena ia adalah rahasia yang tak tampak. Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan atau bahkan satu detik dari sekarang. Kedatangannya seolah menjadi misteri yang tak terduga. Ki...