Weird

10K 786 7
                                    

Aku akan pergi.

Suara itu lagi-lagi membuat dahi Sasuke yang sedang tidur berkerut. Tiba-tiba ia bermimpi berada di tempat yang tidak asing. Ini belakang sekolahnya dulu. Samar-samar begini juga Sasuke masih bisa menganalisis bahwa ada orang yang sedang berhadapan dengannya. Dengan dirinya yang dulu. Tubuhnya yang sekarang sedang jadi penonton tak kasat mata. Lelaki itu penasaran sedang apa dirinya di belakang gedung sekolah? Ini konyol, dalam hidupnya ia bahkan tidak suka ikut campur urusan orang, tapi sekarang malah jadi penguping. Tunggu, lagi pula yang ada di depannya ini memang dirinya.

Matanya kembali menyorot satu sosok selain dirinya di tempat itu. Orang itu tidak jelas di matanya, ia hanya yakin bahwa ini perempuan. Kapan? Sasuke merasa tidak pernah berada di keadaan yang begini. Ia ingat betul bagaimana dirinya sejak dulu, tidak pernah dekat dengan hal yang merepotkan macam perempuan.

"Kenapa baru sekarang?"

"Maaf, aku rasa aku telat memberitahumu. Mengertilah aku tidak akan pernah menolak kesempatan ini." Sasuke mendecih tak suka. "Ini yang namanya kejutan? Kejutan untukku atau untukmu?"

"Sasuke—"

"Kalau mau pergi kenapa tidak langsung pergi?" Lawan bicaranya mengernyit tak suka. Ia kira ini akan jadi kabar yang bagus, tapi prediksinya salah 100%. "Ku kira kau selalu mendukung ku?"

"Apa gunanya memberi kabar ini padaku sekarang?" Sasuke masih kekeh dengan pertanyaannya. "Kau akan tetap pergi walaupun aku bilang tidak boleh."

"Aku lelah berdebat denganmu."

"Kalau lelah, akhiri saja—" Emosinya sudah sampai ke ubun-ubun, rencana yang sudah dibuatnya gagal saat perempuan ini menariknya dari kerumunan. "—semuanya. Akhiri saja." Saat semua orang bahagia di hari kelulusan, dua orang ini malah melankolis.

Lama keduanya diam. Sasuke masih memperhatikan dua anak SMA itu dengan seksama.

"Aku akan pergi." Sasuke mendongak tidak percaya kalimat barusan.

Sasuke kembali mengernyit, kepalanya selalu sakit tiap kali mendengar suara itu. Matanya kembali memandang dua orang tadi. Si perempuan balik badan dan pergi setelah mengucapkan kalimat tadi tanpa penahanan apapun.

Sasuke sudah tidak kuat, lama-lama tubuhnya ambruk di tempat. Dan sadar kalau sekarang ia berada di kamarnya sendiri. Keningnya kembali mengernyit, rasa sakit di kepalanya perlahan-lahan hilang. Lelaki itu duduk dalam diam, berusaha mengingat-ingat kejadian tadi, apa pernah terjadi dalam hidupnya? Tapi hasilnya nihil. Lelaki itu yakin dirinya punya ingatan yang tajam, Sasuke tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun. Teman perempuannya memang banyak tapi yang seintens barusan rasanya tidak pernah.

"Sial." Mood nya rusak sepagi ini.

oooo

Suara TV yang menayangkan siaran berita menyambut paginya, saat Sakura turun menuju ruang makan. Sudah ada Sasori yang sedang mengoleskan selai kacang di rotinya saat Sakura tiba disana. "Halo, selamat pagi." Sakura langsung duduk tidak menjawab sapaan kakaknya—

"Selamat pagi Rossa."—malah menyapa Rossa yang baru keluar dari dapur kotor dengan setumpuk Garlic Bread kesukaannya.

"Pagi nona." Wanita itu kembali pergi setelah menuangkan susu putih di gelas kosong milik Sakura.

"Aku tidak disapa?"

"Malas." Jawab Sakura ketus ditengah kunyahannya.

"Sedihnya." Sakura memutar bola matanya. "Tidak rindu padaku?" Lanjut Sasori lagi.

"Bagaimana ya..." Sasori yakin adiknya sedang marah.

"Maaf tidak bisa menjemputmu kemarin. Aku ada meeting mendadak di Hokaido." Ia sangat mengenal Sakura, bagaimana tindak-tanduknya, adik kesayangannya ini akan lama merajuk jika dirinya tidak langsung minta maaf. "Kalau tidak bisa menjemput harusnya jangan janji padaku." Sasori menghela napasnya, sepertinya kali ini minta maaf saja tidak cukup. Sakura mendongak saat kakaknya berdiri dari kursinya dan menyambar Armani yang tadi belum ia pakai. Dari posisinya Sakura bisa lihat piring yang ada di depan Sasori sudah bersih, pria ini sebentar lagi pasti pergi lagi.

BraveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang