Koridor rumah sakit itu gaduh oleh suara langkah kaki Sasuke seminggu lalu, ketika dirinya dapat telpon dari Naruto, ketika calon anaknya dan Sakura tidak baik-baik saja.
"Kenapa harus Sakura?" Sasuke duduk di depan pintu kamar rawat Sakura yang sekarang sudah kosong tanpa penghuni sejak satu jam lalu. Pria itu tidak menampilkan raut kesedihan apapun, hanya ada amarah disana dan Naruto-yang sejak tadi masih setia berdiri disana sambil melipat kedua tangannya di depan dada-tahu itu. Jika Sakura melihat ini, perempuan itu pun akan tahu secara jelas apa yang sedang dirasakan Sasuke.
"Dari semua orang yang ada di dunia ini, kenapa harus Sakura?" Sasuke menarik napasnya dalam-dalam lalu kemudian menatap lawan bicaranya yang sejak tadi hanya diam mendengarkannya. Ah, Sasuke memang selalu banyak bicara kalau ini menyangkut Sakura. "Kenapa harus Sakura ku?" Tanya nya lagi penuh penekanan.
"Benda itu memilihnya."
"Persetan. Itu cuma benda mati!"
"Kau tidak bisa menolak apa yang diwariskan kepada mu." Tegasnya.
"Cih. Lalu jawab aku dengan spesifik. Kenapa harus Sakura? Dari sekian banyak cucu mu kenapa harus dia?"
Akasuna Arishu kini menoleh ke arah Sasuke. "Kau masih belum paham?" Perempuan tua itu kembali bertanya. Naruto, yang tahu seperti apa neneknya memandang Sasuke ragu-ragu, kalau sudah begini harusnya lawan bicara perempuan itu ketakutan. Sial mereka malah saling pandang.
"I thought my granddaughter married to the clever one."
"Pardon?"
"Coba kau pikirkan ini lebih dalam. Kalau bukan Sakura, maka kau sekarang tidak menikah dengannya." Sasuke memandangnya bingung, pria itu menyadari sesuatu dan butuh diyakinkan, Akasuna Arishu tersenyum menangkap gelagat itu. "Lagi pula, cucu perempuan ku yang satu ini tidak pernah mudah dikalahkan." Perempuan itu lalu pergi meninggalkan Sasuke dan pemikirannya.
oooo
"Dia memilih Madrid."
Hidan menyesap anggur yang tinggal sisa setengah lagi di gelasnya. "Madrid atau Alkmaar? Katanya, dan dia memilih Madrid." Dahinya berkerut-kerut, "Kenapa Madrid?" Celotehnya lagi pada dirinya sendiri. Jelas pria itu tidak sedang bicara kepada anak buah yang berdiri mengelilinginya. Jarinya menunjuk seorang pria yang berdiri tidak jauh dari tempat duduknya, pria itu gugup memandang tuannya takut-takut. "Menurutmu. Apa yang perempuan itu pikirkan? Ada apa dengan dua negara itu? Kenapa Sasuke memilih Madrid?"
"Tuan, saya-"
"Tidak, tidak. Aku tidak bertanya pada mu. Aku sedang bertanya pada diriku sendiri." Hidan menghabiskan sisa minumannya sekali teguk, lalu kepalanya disandarkan di kursi kebesarannya. Kekehan geli keluar dari mulutnya, awalnya rendah lalu semakin lama semakin kencang sampai membuat semua orang di ruangan itu bergidik ngeri.
"Akasuna sialan." desisnya.
oooo
Satu minggu sebelumnya.
Gaara kewalahan mengimbangi langkah kaki Sasuke yang memimpin jalan mereka menuju ruangan yang dijulukinya "Abrupt Emergency Room" karena sebenarnya Emergency Room di rumah sakit ini ada di lantai bawah, bukan lantai lima tempat mereka berlari saat ini. Sasori minta satu kamar besar disulap jadi tempat pemeriksaan Sakura tepat ketika dirinya tahu Sakura membutuhkan itu. Kalau Sasuke berpikir tidak ada tempat yang aman dimana pun untuk Sakura, maka Sasori pun berpikiran sama.
"Teme-"
Bruk.
Belum sempat Naruto menyelesaikan kalimatnya, ia sudah tersungkur jatuh karena satu bogem Sasuke melayang ke wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brave
FanfictionAkasuna Sakura tahu dirinya tak sepenuhnya sempurna. Bisa memiliki semuanya tidak berarti bisa memiliki Sasuke juga. Benarkah? Kita lihat siapa yang akan tertawa pada akhirnya... kau hancurkan hati ku, aku hancurkan mobilmu. "Kau tahu lagu ini sayan...