Bagian 26

586 33 12
                                    

Selamat membaca.

Maafkan kalau banyak typo bertebaran.

Hanna POV

Miris!

Sebulan. Tepat sudah tiga puluh hari berlalu dan semenjak kejadian itu, Nicho seakan menghilang ditelan bumi. Menghilang entah kemana.

Sial, bahkan semua akun nya seakan ikut ditelan bumi.

Ha! Aku sudah benar - benar kehilangannya. Tepat Hari ini yang seperti yang dikatakan Nicho dia akan melangsungkan pernikahan dengan seorang perempuan yang entah siapa gerangan.

Aku meronggoh hpku malas dan mengetik dua belas dijit nomor yang sudah benar - benar melekat diotakku.

"Halo,"

"Hm, ada apa Na? Tumben lo nelpon gue? Kengen ya?" ucap suara perempuan diseberang sana dengan suara khasnya yang selalu berbicara tanpa titik dan koma.

"Hihi, kangen dikit la. Pengen curhat sama lo,"

"Curhat apa?" ucapnya antusias.

Dasar mbak - mbak kepo.

"Nicho nikah," ucapku parau.

"Ha! Lo yakin?" ucap perempuan itu setengah berteriak dengan nyaringnya.

"Yakin 100 persen. Dia sendiri yang ngomong sama gue," balasku kesal mendengar suaranya itu.

"Hahaha, sabar ya Na. Lo cepat nyusul la sama Rion,"

"Berisik deh Yumi," kesalku mendengar candaan itu.

"Maaf Na. Lo apa kabar?"

"Baik banget Mi, kapan lo balik ke Batam? Kangen berat ini gue," ucapku dengan nada yang sungguh menjijikkan untuk didengar.

"Njirr! Suara lo itu Na. Nanti deh gue bulan depan balik ke Batam sekalian gue  ajak Pawel cowok gue yang Polandia itu," ucap Yumi yang terdengarnya sangat bahagia.

"Lo bahagia banget kayaknya, lah gue," ucapku lirih.

"Sabar lah Na. Bukan lo sendiri yang mau putusin hubungan lo sama Nicho,? Yaudah nikmati ajalah," ucap Yumi dengan santainya.

"Sahabat kayak apaan lo nih," balasku malas.

"Bodo banget sih lo Na. Kaca di rumah lo ada gk sih! Ngacak na Ngacak," ucap Yumi dengan suara kesalnya itu.

"Punya malah lebar banget," balasku tak kalah kesal mendengar suara nyaringnya itu lagi.

"Kalau punya kenapa gak berkaca? Udah lah gue lagi sibuk. Lo coba aja lihat diri lo sendiri dari kaca di rumah lo, bye." ucap Yumi disebrang sana lalu memutuskan sambungan sepihak.

"Anjirr," ucapku kesal sambil menghempaskan hpku kasar diatas ranjang empuk milikku.

Drtt drtt...

"Halo?" jawabku cepat.

"Lagi marah Na?" ucap suara laki - laki yang langsung membuat aku tertawa hambar.

"Gak kok kak Ali, apa kabar?" tanyaku lembut.

Eh, mungkin aku belum memberitahu. Semenjak aku memutuskan berhubungan lebih dari sekedar sahabat dengan Rion aku lebih memilih memanggil Ali dengan sebutan kak Ali atau semacamnya.

Aku tahu laki - kaki yang notabene nya sahabatku itu sendiri memiliki perasaan lebih terhadapku, namun apa daya aku tidak menganggapnya lebih dari sekedar seorang sahabat.

Ali dan Rion memang sama - sama dapat membuat aku nyaman, namun Ali itu bukan tipe idalku yang mengharapkan seorang istri yang kelaknya akan mengurus rumah, manjadi istri yang penutut, jiwa keibu - ibuan, dan semua hal itu sangat berbanding terbalik dengan kepribadianku.

Aku perempuan yang mengginginkan yang namanya kehidupan bebas walaupun sudah memiliki yang namanya suami, namun aku juga pasti akan menjalankan kodratku sebagai seorang perempuan karena hal itu tidak bisa aku abaikan begitu saja.

Hanya mengurus rumah, aku bukan tipe perempuan yang seperti itu, -hanya mengurus rumah- kata - kata ini sungguh sangat membuat kepalaku ingin meledak. Aku ingin menjadi wanita karier tanpa adanya halangan dari suami malah aku ingin memiliki suami yang berpikiran luas dan tidak sesempit pemikiran Ali.

Apalagi jiwa keibu - ibuan kayaknya hal yang satu ini gak ada cocok - cocoknya untuk perempuan seperti ku, masak masih kacau, gak terlalu menyukai tentang dunia dapur, ngepel, mencuci. Arghh, aku paling benci semua hal itu, apalagi memiliki jiwa yang lembut. Pliss itu bukan seorang Hanna banget.

Itulah pemikiran Ali berbanding terbalik dengan Rion yang pemikirannya hanya beda sebelas, dua belas lah sama pemikiranku. Jadi sudah jelas bukan mengapa aku lebih memilih bersama Rion yang sekarang sudah beberapa tahun menjalin hubungan denganku sebagai pacar.

"Baik, kamu bagaimana kabarnya sama Rion?" tanyanya lembut.

"Baik kok kak, anak kamj gimana kabarnya?" tanyaku mengingat gadis kecil Ali yang sudah berusia dua tahun.

"Baik. Insyaallah minggu depan aku sama anak aku ke Batam Na, katanya dia udah rindu banget sama kamu," ucap Ali lirih membuat aku hanya dapaf tersenyum getir.

Tepat 4 tahun yang lalu Ali menikah dengan perempuan melalu ajang perjodohan yang sebenarnya aku tidak mengerti mengapa dengan mudahnya Ali menyetujui perjodohan itu.

Setelah setahun lebih mereka menikah. Aku mendengar kabar baik kalau istrinya tengah hamil mudah, senang pastilah. Aku juga cukup akrab dengan istrinya Ali yang oranganya periang dan sangat cocok dengan kriteria perempuan idaman Ali namanya Yanti namun aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan mbak Yanti.

Setelah sembilan bulan mengandung. Ternyata Mbak Yanti mempunyai penyakit yang sebenarnya sudah lama ia tutupi dan baru kami ketahui. Waktu itu semua keluarga syok, sebenarnya kandungan Mbak Yanti sangat membahayakan nyawanya namun Mbak Yanti lebih memilih mempertahankan janin didalam kandungannya.

Pada hari proses kelahiran anak Ali. Aku bisa melihat betapa raut sedih Ali saat melihat tubuh kaku mbak Yanti yang sudah tidak bernyawa setelah melahirkan putri kecil meraka.

Sejak kejadian itu anak dari Ali sudah ku anggap seperti anakku sendiri dan gadis kecil itu pun menganggap aku sebagai ibunya. Menyedihkan bukan gadis sekecil nya tidak bisa merasakan kasih sayang dari seorang ibu.

"Wah. Benarkah? Jangan lupa oleh - oleh untukku ya kak, bilang juga sama gadis kecil kakak kalau aku merindukannya juga," ucapku parau serta menghapus kasar air mataku.

"Iya, aku dengar Rion mau melamar kamu Na?"

"Ha?"

Bersambung...

Dating In RelationshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang