"Suster! Tolong anak saya, Sus!" Teriakan Ibu yang menggema di telingaku, sarat akan kecemasan.
Jarang kudengar Ibu berteriak seperti itu. Beliau orang yang lembut, kalau pun harus memperbesar volume suara, pasti ada hal khusus yang melatarbelakanginya. Seperti kali ini, akulah sumber dari kecemasan Ibu.
Aku terbujur di jok belakang mobil, tak bisa bergerak, pun tak bersuara. Hanya terdiam, saat beberapa orang mengangkat tubuhku, kemudian membaringkanku ke sebuah ranjang. Aku pasrah, sama sekali tak memprotes, saat mereka menyorongku. Aku menahan rasa nyeri yang teramat sangat di dada. Sakitnya terasa hingga menembus punggung. Membuatku susah untuk bernapas. Ini benar-benar sakit.
Aku tidak tahu, apa aku masih dalam kondisi sadar atau tidak. Aku masih bisa mendengar derit roda dari ranjang yang kutiduri. Suara gesekan antara besi dengan karet membuatku merinding. Namun, aku tak bisa protes. Aku pun bisa merasakan genggaman erat Ibu di tangan kananku. Telapak tangan Ibu---yang selalu membelaiku dengan kasih sayang tak terhingga---mengirimkan kekuatan tak kasat mata padaku. Sentuhannya seolah berkata 'Ibu selalu ada di sini'. Aku juga masih bisa mencium aroma kembang melati menguar dari rambutku. Wangi yang sangat kusukai.
Namun aneh, kenapa aku tidak bisa menggerakkan badanku? Bahkan ujung jariku pun bergeming, padahal aku sudah mengerahkan seluruh tenaga.
Samar-samar aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku. Aku ingin sekali menjawab, tapi bibir ini masih saja terkatup rapat. Aku ingin mengatakan agar dia jangan mengkhawatirkan keadaanku, tapi yang keluar hanya erangan lirih. Bagaimana caraku menenangkan lelakiku? Aku tidak ingin dia menderita. Tidak lagi.
"Gayatri, dengarkan aku ... jangan pernah menyerah, berjuanglah untuk melawan rasa sakit yang kamu rasakan. Kamu harus bertahan demi diriku, Ibu dan semua orang yang menyayangimu. Aku mencintaimu," bisiknya tepat di telinga kiriku.
Batinku tersiksa. Hatiku menangis pilu mendengar suara lelakiku. Lagi-lagi aku menjadi manusia tidak berguna. Aku sumber segala masalah dalam hidup pria yang kucintai. Bahkan saat ini, aku tidak tahu, apakah aku sanggup melawan penyakit yang menggerogoti tubuhku? Atau aku harus kembali membuat pria ini bersedih?
"Gaya ... Gaya .... Bertahanlah, Nak. Ibu selalu di sini. Ibu sangat menyayangimu. Jangan tinggalkan Ibu, Gaya." Suara isak tangis Ibu semakin jauh terdengar.
Sakit! Ibu, sakit sekali dadaku. Ya, Tuhan, biarkan jantung ini tetap berdetak. Biarkan napas ini terus berembus. Kumohon, izinkan aku untuk mencecap manisnya dunia. Berikan satu kesempatan untukku. Kesempatan kedua.
***
Aku merasa berada di tempat asing. Ruangan yang begitu berisik, entah apa yang berdenging tepat di sampingku. Ingin rasanya kututup kedua telinga dengan bantal, atau menyumpalnya dengan kapas. Namun, semua itu tak mungkin kulakukan. Jangankan untuk mengangkat tangan, menggerakkan jari pun terasa payah. Membuat emosiku kembali naik. Lagi-lagi rasa ketidakberdayaan kembali merasuki sukmaku. Sial! Aku harus mengalihkan pikiran ke hal lain. Jangan sampai aku kembali terjeblos dalam lubang yang sama.
Aku membuka mata dengan susah payah. Berat dan lengket, seakan ada lem super yang merekatkannya. Aku ingin bersorak gembira saat seberkas cahaya mulai masuk ke netraku. Aku mengerjap berkali-kali, membiarkan mataku beradaptasi sejenak. Ruangan ini begitu silau, cahayanya menusuk mata. Membuatku enggan membuka mata lebar. Sesaat aku merasakan keinginan yang begitu besar untuk memejamkan mata lagi. Namun, nyeri yang kurasakan di dada, membawa jiwaku kembali ke alam nyata. Jantungku seolah menolak untuk beristirahat, dia ingin memperlihatkan eksistensinya padaku.
Kubuka kelopak mata perlahan-lahan, mengindra objek yang tertangkap oleh lensaku. Hal yang pertama yang kulihat hanyalah langit-langit kamar, yang jelas ini bukan kamarku. Ruangan ini jauh lebih kecil dan bersih dibanding kamarku, bercat putih bersih.
Aku penasaran dengan respon dari bagian tubuhku lainnya. Kubiarkan indraku yang lain menuntun. Dapat kurasakan sebuah jarum menembus kulit di punggung tangan kiriku. Tidak sakit, cuma seperti digigit semut merah.
Aku mengernyit bingung, ada suatu benda aneh di wajahku. Pantas saja napasku terasa lebih sejuk, ternyata aku memakai masker oksigen. Oke, ini rumah sakit. Jelas sekali, saat ini aku kembali lagi ke salah satu tempat yang paling kubenci. Rumah sakit. Satu pertanyaan telah terjawab, tapi apa yang terjadi padaku? Separah apa keadaanku?
Aku memicing, berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Memoriku belum sepenuhnya pulih, beberapa penggal kejadian masih belum dapat kuingat. Resepsi! Aku pingsan saat di atas pelaminan.
Aku membuka mata perlahan, menatap tepat ke depan ranjang. Ibu sedang duduk tertidur di sofa, terlihat lelah sekali. Kepalanya terkulai di sandaran sofa. Rasanya aku ingin membaringkan Ibu di ranjang, supaya tidurnya terasa nyaman.
Seandainya aku punya kantong Doraemon, kuingin memutar waktu. Mengubah segala kejadian masa lalu. Mengganti seluruh adegan demi adegan selama duapuluh tujuh tahun kehidupanku.
Ya, andai saja aku tidak mengalami seluruh kejadian itu, pasti saat ini semua masih berjalan baik. Pasti jiwaku tidak akan kugadaikan pada malaikat maut.
Aku dapat merasakan genggaman di tangan kananku. Lelaki yang baru saja menjadi imamku, kini tengah tertidur sambil menelungkupkan kepalanya di pinggir ranjang. Entah sudah berapa banyak luka dan kesedihan yang kutorehkan padanya, tapi pria ini masih saja setia. Tetap menungguku dengan cintanya.
Air mataku tak dapat terbendung lagi. Semakin menahan tangis, membuat dadaku semakin nyeri. Bodoh! Aku memang bodoh! Aku menyia-nyiakan hidup hanya demi mengejar obsesi gilaku. Membuatku nyaris kehilangan segalanya. Segalanya.
***
Terima kasih sudah berkenan mampir ke cerita saya. Saya sudah pernah mem-publish cerita ini dari prolog hingga part 3. Namun, saya tarik ulang demi memperbaiki bagian yang kosong.
Saya benar-benar mengharapkan kritik dan saran dari pembaca semua.
Sekali lagi, Maaf dan Terima Kasih...
Solo, 13 Maret 2017
Bryna Mahestri
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
General FictionAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...