Agustus, 2013
"Ga, naskahnya Febri udah loe selesaiin belom? Udah ditungguin Bu Indri dari kemaren. Kalau loe kaya begini terus, gue yang susah, tiap hari kena omel. Gue nggak mau tahu, siang ini, itu naskah harus udah selesai!"
Sial! Pagi-pagi si Alis Sinchan ini sudah berkacak pinggang di depan mejaku. Padahal belum ada semenit pantatku mencium aroma kursi yang apak, tapi si Alis Sinchan sudah berhasil membuatku ingin pulang secepatnya.
"Gue perhatiin akhir-akhir ini konsentrasi loe buyar, Ga. Kinerja loe nggak kaya awal-awal dulu. Kalau loe kaya gini terus, gue nggak bisa jamin posisi loe bakal aman."
Yaelah, masih juga belum berhenti. "Iya, Mbak. Aku akui, aku memang banyak pikiran, tapi aku janji untuk ke depannya kejadian kaya begini nggak bakal terulang. Dan, apa pun masalahku, nggak bakal mempengaruhi kinerjaku lagi."
Si Karin ini memang wanita super perfectionist nomor satu di Lentera Hati-perusahaan penerbitan tempatku bekerja. Sebagai copy reader senior, dia selalu menuntut kesempurnaan dari seluruh juniornya, termasuk aku.
Tidak ada hal yang tidak dikritik oleh Karin. Semua orang di matanya tidak ada yang becus. Semua harus berjalan sesuai keinginannya, tapi dia terkadang juga tidak mengikuti aturan.
"Gue pegang omongan loe, Ga. Kalo loe kaya gini terus, karier loe nggak bakal meningkat."
Dalam waktu kurang dari lima menit, sudah tiga kali dia mengatakan 'kalo loe kaya gini terus'. Coba ada Rifki, pasti kami sudah taruhan untuk menebak berapa kali kata-kata andalan si Karin itu terucap.
Akhirnya aku bisa bernapas lega, setelah Karin mengangkat kaki dari hadapanku. Aku bisa menyandarkan punggung barang sejenak. Kuembuskan napas panjang, mataku menerawang ke langit-langit kantor.
Sudah hampir enam bulan aku bekerja di Lentera Hati sebagai copy reader. Sejak wisuda Desember tahun lalu, aku memutuskan untuk merantau ke Ibukota demi membuktikan pada orang-orang bahwa aku mampu, aku hebat, aku bisa mandiri. Aku telah bersumpah di depan makam Bapak, bahwa aku pasti bisa menjadi putri kebanggaannya. Aku tidak akan sudi diinjak-injak dan dipandang sebelah mata lagi. Aku-Gayatri Lituhayu-pasti bisa melampaui Rania.
Namun, kenyataan tak seindah impian. Kupikir setelah lulus dengan ipk 3,64, aku bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan, semudah sepertiku membalikkan telapak tangan. Aku lupa, kalau di luar sana ribuan orang berlomba-lomba mencari sumber penghasilan.
Dua bulan aku terkatung-katung di Jakarta, sibuk wira-wiri memasukkan berpuluh-puluh lamaran kerja. Menunggu penuh harap akan datangnya panggilan sembari terus menyebar jala. Hingga pada suatu sore, sebuah telepon masuk ke ponselku, panggilan wawancara dari Lentera Hati. Rasa-rasanya sore itu aku menemukan segelas air es di tengah gurun pasir. Ada sedikit kesegaran merasuki jiwaku.
Setelah tiga kali tes, akhirnya aku diterima di perusahaan penerbitan, walau statusku kala itu masih sebagai pegawai kontrak. Namun, bagiku itu suatu keberhasilan. Saat namaku diumumkan lolos, aku langsung menghubungi Ibu. Bukan cuma Ibu, tapi May dan Retno juga kuberi tahu.
Mereka menyambut gemberi kabar dariku. Bagiku, respon mereka sangat melecut semangatku untuk terus berjuang. Namun, entah mengapa sebulan belakangan semangatku pudar. Aku kembali merasa gagal, karena tak juga diangkat sebagai pegawai tetap.
Dengan status sebagai pegawai kontrak, nasibku belum benar-benar aman. Aku masih bisa disepak kapan pun perusahaan ini tak lagi membutuhkanku. Oke, aku tahu, seharusnya aku semakin bersemangat, bukannya malah nglokro seperti ini.
Dddrrrtttt dddrrrrttt
Kulirik ponsel di atas meja. Kukerutkan kening, tumben si May telepon. Terakhir kali dia menghubungiku kira-kira seminggu lalu, itu pun hanya sekadar tanya kabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
General FictionAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...