PART 7

713 72 7
                                    

Februari, 2008

"Gaya, duduk!" perintah Bapak dengan tegas, begitu kami tiba di rumah.

Terpaksa kuturuti perintah Bapak–yang sudah lebih dulu duduk dengan garangnya di ruang keluarga–walau kutahu apa yang bakal menimpaku. Sedari tadi di ruang BK, Bapak sudah terlihat sangat marah. Memang, Bapak hanya diam. Bahkan selama perjalanan pulang, Bapak masih diam. Namun, justru di situlah letak kehororan Bapak. Semakin beliau tak bersuara, semakin besar ledakan amarahnya.

Terbukti, sekarang beliau memanggilku hanya nama, tanpa embel-embel 'Mbak' seperti biasa. Nah, kalau sudah seperti ini artinya aku bakal duduk berjam-jam sampai pantat dan telingaku panas.

"Apa-apaan kamu tadi? Bikin malu orang tua. Bisa-bisanya anak perempuan berantem di sekolah. Bapak nyekolahin kamu itu untuk belajar yang bener, bukan sok-sokan jadi petinju. Cah wedok kok kelakuan koyo preman pasar.[1]"

Lagi-lagi disalahkan. Apa Bapak tidak bisa tanya dulu ke aku, ada apa sebenarnya? Tadi pas di BK juga Bapak tidak berusaha membelaku, malah minta maaf ke orang tuanya Nisa dan Arimbi. Padahal aku di sini sebagai korban.

Aku menatap Ibu, memohon bantuan padanya. Kulihat Ibu mengembuskan napas perlahan. "Sabar dulu, Pak. Mbak, Ibu pengin tahu, ada apa sebenere? Kok, tahu-tahu sekolah nelepon Ibu, katane kamu padu sama temen sekelas? Ono opo, Nduk? Ndak biasane kamu seperti ini."

"Gaya nggak salah, Bu. Nisa sama Arimbi yang mulai duluan. Gayatri dibikin malu di depan kelas. Tadi Gaya cuma membela diri," jelasku.

"Gur goro-goro coklat, koncomu mbok amuk. Bapak ibumu iki ora pernah ngajari koyo ngono.[2]" Bapak kembali marah padaku, padahal aku belum selesai menjelaskan.

"Bukan begitu ceritanya, Pak. Nisa sama Arimbi bohong. Tadi mereka yang ngambil cokelat Gaya, terus mereka juga mbuka dan mbaca isi surat Gaya. Nisa juga mbikin malu Gaya. Apa Gaya nggak boleh marah?" ujarku membela diri.

"Sekarang Bapak tanya, kamu bikin coklat untuk siapa? Suratmu isine apa? Sampai-sampai kamu ngamuk?" tanya Bapak dengan nada tegas.

Benar-benar makan buah simalakama. Kalau tadi aku diam bakal dimarah Bapak, tapi kalau aku jujur pun dimarah. Jadi serba salah. Aku terdiam cukup lama. Kuremas-remas ujung kemeja hingga kusut masai.

"Jawab, Gaya! Untuk siapa coklatnya? Apa pacarmu?" cecar Bapak.

Aku cepat-cepat menggeleng. "Gaya nggak punya pacar, Pak. Wong dia sudah punya pacar." Alamak! Aku keceplosan.

Kupicingkan mata sembari menunduk dalam-dalam. Taruhan, tidak sampai lima hitungan pasti akan ada muntahan lahar panas.

"Jadi bener, coklat sama suratnya untuk temenmu laki-laki? Dan, dia sudah punya pacar. Astagfirullah. Gaya, kamu itu anak perempuan! Di mana harga dirimu?" Suara Bapak sudah naik dua oktaf, sudah cocok menjadi penyanyi seriosa.

Kubuka mata perlahan, tapi masih menundukkan wajah, mengintip Bapak dari sela-sela bulu mata. Wih, muka Bapak terlihat sangar. Tahu 'gini mending tadi tidak perlu bicara jujur.

"Kamu sudah berani cinta-cintaan, Gaya? Apa kamu lupa, sekarang sudah kelas tiga. Masih sempet-sempetnya ngurus laki-laki. Bukannya belajar, malah bikin coklat sama surat. Cobo kandanono anakmu kui, Bu. Cah wedok kok ora duwe isin![3]"

"Bener kata bapakmu, Mbak?" tanya Ibu dengan penuh kesabaran yang patut kuacungi jempol dua puluh–wajar saja, karena semua jariku itu jempol.

Aku hanya mengangguk lemah. Mending bikin pengakuan dosa sekalian, timbang nanti semakin kena marah. Kulihat Ibu geleng-geleng.

"Memangnya salah ya, Bu, kalau Gaya tertarik sama cowok?" Kuberanikan diri untuk bertanya, walau dengan suara seperti tikus kejepit pintu.

"Pikiranmu itu di mana? Anak sekolah yang dipikirin, ya, pelajaran, bukan hal ora jelas. Nilaimu saja pas-pasan, lihat rapormu kemaren, masih ada yang enam! Dari pada ngurusi pacar, mending les, belajar, ikut kegiatan yang bermanfaat. Contoh itu adikmu, nilai-nilainya selalu bagus. Selalu dapet ranking di sekolah. Ora neko-neko seperti kamu. Seharuse kamu yang jadi panutan, bukan malah sak karepe dhewe seperti ini!" Bapak kembali

Emosiku langsung memuncak. "Kenapa Bapak harus mengungkit-ungkit Rania? Selalu Rania yang paling hebat. Rania cantik, Rania pinter, Rania nurut. Gaya bosan selalu dibanding-bandingkan dengan Rania, Pak. Lagipula, baru sekali ini, kan, Gaya bikin ulah di sekolah, tapi Bapak sudah nuduh Gaya macam-macam.

"Bapak nggak tahu bagaimana perlakuan teman-temanku selama ini. Mereka selalu menginjak-injak Gaya, Pak. Mereka sering menghina, ngerjain, bahkan kadang suka jahil. Nisa sama Arimbi selalu jahat sama Gaya." Kulihat Bapak terdiam dengan ucapanku.

"Bapak nggak pernah tahu gimana Gaya di sekolah, tapi langsung nuduh Gaya. Memangnya salah kalau Gaya bosen diinjak terus sama mereka? Memangnya salah kalau Gaya membela diri?

Terus apa salahnya kalau Gaya suka sama cowok? Bapak selalu mbanding-mbandingin Gaya sama Rania. Rania itu masih kelas 6 SD, sedangkan Gaya 3 SMA, kehidupan kami beda, Pak. Kalau Bapak malu sama Gaya, mending nggak punya anak macem Gaya. Urus saja Rania!" teriakku kesal.

Cukup! Aku tidak mau lagi dibanding-bandingkan dengan Rania. Dengan emosi masih di ubun-ubun, aku beranjak dari duduk.

"Gaya, Bapak belum selesai bicara. Duduk!"

"Buat apa, Pak? Gaya sudah tahu, Gaya memang salah. Besok nggak bakal ngulangi lagi. Kalau Bapak cuma mau nyalah-nyalahin Gaya atau nyuruh Gaya nyontoh Rania, mending Gaya masuk kamar. Gaya bosen!"

Baru kali ini, aku bersikap tidak sopan pada Babu. Namun, perlakuan Bapak tadi tidak bisa kutolerir lagi. Tanpa memedulikan panggilan Ibu, aku masuk ke kamar. Dengan kesal kubanting pintu kamar, lalu kukunci.

Kudengar bentakan Bapak dari luar kamar, disusul ketokan keras di pintu kamarku. Biar saja, aku tidak peduli. Kulempar tubuh ke atas kasur. Kusurukkan wajah ke bantal. Kututup kedua telingaku dengan guling agar suara marah Bapak tak terdengar.

Aku sebel! Aku marah! Aku benci!

Dadaku sesak, napasku memburu. Seperti ada sumbatan sebesar kepalan tangan memenuhi kerongkonganku. Kubiarkan tangisku meledak, mungkin dengan menangis ganjalan dalam hatiku akan sedikit longgar. Kubekap mulut dengan bantal, agar tangis histerisku tak membahana keluar kamar.

Setelah puas berhisteris ria, kududukkan tubuh. Kuletakkan bantal tepat di depan tubuh, kepalku telah siap untuk memukul bantal yang tak berdosa dengan bertubi-tubi, sambil membayangkan kalau itu adalah wajah Nisa dan Arimbi.

"Lihat saja! Mulai sekarang, aku nggak akan diam. Aku pasti akan membalas kalian semua. Aku harus berubah. Harus."

***

KETERANGAN:

[1] Anak perempuan kok kelakuannya seperti preman pasar.
[2] Cuma karena cokelat, temanmu kamu serang. Bapak ibumu ini tidak per ah mengajari hal seperti itu.
[3] Coba kamu beri tahu anakmu itu, Bu. Anak perempuan tidak punya rasa malu.

***

Mohon kritik, saran dan komentarnya yaaa ...
Makasih ...

Gen 1, Gen 2, Gen 3, Gen 4a, Gen 4b
Ayo semangat!!!!

Untuk Gen 5,
Selamat datang di keluarga besar WWG...

Solo, 28 April 2017

Bryna Mahestri

OBSESSION (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang