"Enggak, Bu! Gaya ini nggak gila! Buat apa pake harus minta bantuan psikolog?" tolakku tegas saat Ibu kembali membujuk untuk mengikuti konseling.
"Tapi, Mbak, dokternya sudah bilang begitu. Nurut saja yo, Mbak, ben cepet sembuh. Ibu sedih kalau kamu seperti ini terus."
"Enggak, Bu. Buat apa coba? Toh Gaya sekarang sudah membaik, kan?" Aku menggeser posisi tidur menyamping, punggungku sudah mulai terasa pegal sejak kemarin. Dua minggu lebih—sembilan belas hari tepatnya—aku terbaring di rumah sakit. Seminggu di ICU dan sisanya kuhabiskan di ruang rawat VIP ini.
Seenak-enaknya, semewah-mewahnya, senyaman-nyamannya rumah sakit, tetap saja menderita. Hampir tiap sejam sekali ada saja perawat yang memeriksa kondisiku, entah selang infus, kateter atau sekadar mengecek tekanan darah. Terlebih saat aku berada di ICU, rasa-rasanya ingin kucabut seluruh kabel yang menempel di tubuh.
Kupikir waktu itu aku terkena serangan jantung dan nyaris tewas, tapi ternyata cuma karena kondisi tubuhku lemah sehingga imunitas tubuh menurun drastis. Ditambah kondisi lambung yang kronis, dan katanya karena stress, membuatku ambruk. Memang ada indikasi gangguan pada jantung dan ginjalku, entah apa namanya aku lupa, tapi kini sudah stabil. Bukannya membiarkanku pulang, sekarang mereka malah sibuk mencari-cari penyebab sakitku dengan mendatangkan seorang psikolog.
"Tapi tubuhmu masih belum mau menerima asupan nutrisi, Mbak. Tiap kali makan, pasti muntah. Kalau begini terus, kamu bisa ambruk lagi, Mbak. Beratmu bukannya naik malah semakin turun. Mosok sekarang kamu cuma dua delapan, Mbak? Ibu sedih," ucap Ibu seraya mengusap-usap punggungku.
"Ibu ndak kuat kalau harus ngliat kamu di dalem ICU lagi koyo kemaren, Mbak. Wes entek atine Ibu. Kata Pak Dokter, semuane ndak bakal bisa berubah, tubuhmu ndak mau nerima makanan kalau pikiranmu belum mbok tenangke dulu," lanjutnya.
Bahkan ibu kandungku sendiri pun menyangka pikiranku tidak beres alias gila. Yang benar saja. Memangnya kalau aku menuruti mereka dengan mengikuti program bersama Bu-aku-lupa-namanya itu terus berat badanku langsung bertambah? Kenapa mereka tidak fokus dengan obat dan suplemen makanan saja, ketimbang sibuk membujukku.
Untung saja Aa' sudah balik ke Bandung seminggu lalu, setelah memastikan kondisiku stabil di ruang rawat. Kalau dia masih di sini, perlawananku bakal semakin sulit.
"Kenapa nggak mau konsul sama Dokter Rosita, tho, Mbak? Kasihan Ibu tiap hari nangis mikirin Mbak Gaya."
Sial! Buat apa Rania ikut-ikut menasehatiku? Bikin tambah sebal saja.
"Sudah, deh, kamu nggak usah ikut-ikut! Aku begini, kan juga karena kamu!" semprotku.
"Lhoh, kok jadi Rania yang salah, Mbak? Memangnya Rania ngapain? Rania itu cuma nggak mau Mbak Gaya tambah sakit, Rania juga nggak tega ngelihat Ibu kaya kemarin. Lagian siapa yang bilang kalau Mbak Gaya gila? Konsultasi sama psikolog bukan cuma untuk orang gila, Mbak."
Aku melengos sembari memutar bola mataku, males sekali mendengarkan ceramah si Rania yang sok pinter.
"Pokoke Ibu ndak mau tahu, nanti sore Ibu sudah bikin janji sama Bu Rosita. Kata suster, nanti Bu Rosita yang ke sini biar kamu ndak perlu digotong ke bawah."
Terserahlah. Toh bagaimana pun caraku menolak, mereka tetap bakal memaksaku. Suaraku tak akan pernah didengar. Lagian aku bisa ke mana? Mau kabur pun tak mungkin.
***
"Jadi, sudah sejak SMA Mbak Gaya melakukan diet, Bu?"
"Iya, Dok. Seingat saya begitu, kalau ndak salah pas kelas tiga. Iya, Mbak, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
General FictionAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...