Maret 2015
"Ga, ntar kayae aku pulang agak malem. Kamu bawa kunci kamar tho?"
Kuacungkan jempol sembari melongokkan kepala dari dalam kamar mandi, mulutku penuh busa pasta gigi. Kulihat May tengah memasukkan barang-barangnya ke tas kerja.
"Hari ini rencanamu apa? Jadi balik lagi ke Koran Jakarta untuk ngambil duit?"
Aku berkumur cepat-cepat. "Jadilah, duitku udah tipis banget, cuma tinggal lima puluh ribu. Padahal ini baru pertengahan bulan. Masih dua minggu lagi bayaranku nulis di kolom Horison baru keluar. Kalau nggak nodong ke Koran Jakarta, gimana aku bisa hidup. Bulan ini aku baru sepi, biasanya ada klien satu atau dua dari penerbit, tapi ini kosong melompong."
"Ish, kamu ini aneh, Ga. Duitmu itu untuk opo tho? Sebenere pendapatanmu itu banyak, hampir tiga jutaan tho, tapi kok habis terus. Mbok pake buat apa? Wong tak perhatiin, kamu itu hampir ndak pernah makan. Kalau ndak aku paksa, apa kamu mau makan? Kamu butuh duit bukan untuk hidup, Ga, tapi untuk menyiksa diri. Jangan mbok pikir aku ndak tahu tentang obat-obat pelangsing sama pencahar yang mbok sembunyiin di lemari. Kita temenan sudah dari jaman ndak enak sampe jaman masih belum enak, Ga. Aku sudah sering ngomong, tho, diet boleh, tapi kalau yang kamu lakukan ini sudah kelewatan. Wes ndak wajar."
"Nggak wajar gimana?" aku keluar kamar mandi sembari mengelap muka, "Masih buanyak orang yang lebih langsing dariku. Lagian pendapatan tiga juta, kan, nggak tentu, May. Kaya bulan ini, aku baru dapet sejuta, mana cukup untuk sebulan. Padahal aku udah pasang iklan promo di media sosial, tapi masih belum ada yang nyantol. Aku pengin kerja tetap, penghasilan pasti, May. Bukan cuma pekerja lepas begini."
May melirikku sesaat sambil berdecak. "Duitmu itu habis untuk hal ndak berguna! Harga pil-pilmu itu muahal, Ga. Memang banyak yang lebih langsing dari kamu, tapi mereka ndak punya pola makan salah koyo kamu. Bobotmu itu sudah berkurang banyak banget. Dari yang delapan sembilan, sekarang udah empat dua. Kamu berhasil ngurangin separuh berat badanmu, Ga. Itu emejing banget. Tapi, kamu masih aja ngerasa kurang."
"Coba lihat lenganku, May. Masih menggelambir gini, apalagi yang deket ketek, perutku juga gimbyur-gimbyur." Aku memamerkan lipatan kulit di lengan dan perut.
"Itu karena kamu dari gemuk trus kurus, dan kamu kurang minum air putih, Ga. Jadi, kulitmu ndak singset. Wong minum air putih ndak bikin gemuk kok yo ndak mau. Dah, ah, aku berangkat dulu, udah mau telat, padahal aku ada presentasi sama klien. Mau nawarin asuransi ke perusahaan gedhe ni."
Kuikuti punggung May yang menghilang di balik pintu kamar dengan ekor mataku. Hampir dua tahun kami tinggal sekamar. Awalnya aku berniat membantu May, karena dia belum juga dapat kamar indekos. Namun, setelah aku dipecat gara-gara kasus file hilang itu, aku dan May jadi bertukar posisi.
Aku menumpang di kamarku sendiri. May yang membayar seluruh sewa kamar ini, sedangkan aku cuma 50% tambahannya. Bagaimana tidak, setelah kehilangan pekerjaan di Lentera Hati, sampai sekarang-sudah hampir dua tahun-aku belum juga mendapat pekerjaan tetap. Aku hanya bekerja paruh waktu sebagai pengisi kolom cerita bersambung di Koran Jakarta dan kolom review di majalah Horison. Kadang kalau beruntung, aku bisa dapat tambahan pekerjaan dari penerbitan yang butuh jasaku untuk mengedit naskah mereka.
Dengan menjadi pekerja lepas, aku mulai belajar mengatur waktu. Aku harus belajar mendisiplinkan diri, karena aku butuh portfolio dari para klien yang bisa membantuku untuk memperoleh lebih banyak lagi pekerjaan. Aku tidak bisa lagi membiarkan pikiranku terbang ke mana-mana, hingga membuat pekerjaanku carut-marut.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
Ficción GeneralAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...