PART 5

877 72 32
                                    

Februari, 2008

Aku mengamati kotak cokelat di tanganku, sembari duduk di kursi makan. Ralat, bukan kotak, karena bentuknya jantung hati alias lopek-lopek, dengan hiasan kembang mawar plastik–yang kuambil diam-diam dari vas bunga Ibu. Semoga Ibu tidak sadar. Aamiin.

Kutatap lagi cokelat yang terbuat dari hasil lelehan keringat dan air mataku—tentu bukan dalam artian yang sebenarnya. Dijamin ini terbuat dari cokelat batang terbaik yang pernah aku beli. Bukan cokelat Jago atau cokelat koin lima ratusan, yang sering kunikmati.

Sejak dini hari, aku sudah berkecimpung di dapur. Rekor yang luar biasa, kan? Seorang Gayatri, yang notabene kembar siam dari kerbau, bisa bangun pukul 03.00 pagi. Sampai-sampai Ibu kaget. Selain karena melihatku bangun jauh sebelum matahari terbit, juga karena melihat dapurnya yang kubuat seperti Titanic karam.

Kalau bukan demi Babang Indra tersayang, aku mana mau. Mending buat ngelingker di bawah selimut, kembali merangkai mimpi indah. Ya, sekali lagi demi cinta pertamaku.

Baru kali ini aku membuat cokelat praline sendiri, dan kupikir hasilnya cukup memuaskan. Bentuknya sederhana–hati–walau kurang simetris di ujung-ujungnya. Oke, ada beberapa yang hancur. Cokelatnya retak, isinya meluber ke mana-mana.

Kalau rasanya ... tentu saja cokelat. Mau berharap rasa apa lagi? Aku cuma perlu melelehkan tiga batang cokelat–warna cokelat, putih dan merah muda–lalu kucetak. Tidak ada perubahan rasa, hanya isinya yang kubuat lain. Kuberi tiga macam isi: almond untuk yang merah, selai strowberi untuk putih, dan kismis untuk cokelat.

"Mbak Gaya, ini apaan? Bentuknya nggak jelas!" Kulirik Rania yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Kulihat dia mencomot sebuah cokelat gagal, dia menimbang-nimbang akan memakan cokelatku atau tidak.

"Cokelat. Belum pernah makan? Kasihan! Dah, bawa sini!" Kurebut cokelat yang masih dipegangnya. Menyebalkan, datang-datang langsung mengkritik. Apa tidak bisa sedikit saja membuat kakaknya senang?

Aku memberengut. Membuka tutup kotak, lalu menancapkan tatapanku pada kedua belas cokelat berbentuk hati—aku jadi ragu, apa benar ini bentuknya hati? Ucapan Rania cukup membuat kepercayaan diriku anjlog. Terjun bebas dari puncak bukit. Memang kuakui, tadi aku bikin sambil setengah teler, jadi bentuknya agak absurd.

Mau bagaimana lagi, pukul 03.00 dini hari mencetak cokelat, mataku masih nempel. Hasilnya dari enam batang cokelat berukuran besar, cuma empat belas cokelat yang bentuknya mendingan. Lainnya rusak, hancur dan tak berbentuk—salah satunya yang tadi dicomot Rania. Ya sudahlah, yang penting di hari Valentine ini, aku sudah membuat sesuatu yang istimewa untuk Indra. Kututup kembali kotak merah jambu, lalu kumasukkan ke tas sekolah.

Daripada bikin dongkol, mending berangkat sekarang. "Bu, Gaya berangkat sekolah dulu, ya," pamitku seraya mencium punggung tangan Ibu.

"Ndak bareng adek, Mbak? Tadi Bapak bilang, mau nganter sekalian."

"Beneran, Bu? Asyiiik!" Aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi bahagiaku. Jarang banget, Bapak mau mengantar ke sekolah. Berarti hari ini aku tidak perlu berdesak-desakkan dan berbagi oksigen dengan orang di dalam bus. Dan, itu artinya, aku bisa tampil cantik di sekolah.

Aku berlari ke kamar. Masih ada waktu buat dandan, mumpung Bapak baru manasin mobil. Kuoles tipis lipgloss merah jambu, yang hampir tidak pernah kupakai. Bibirku jadi mengkilat, seperti habis makan gorengan. Basah menggoda, dengan aroma strowberi. Kumonyong-monyongkan bibir, latihan kalau-kalau dicipok Indra.

OBSESSION (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang