April, 2012
"Macam mana kau ini?! Sudah dua bulan, bab satu masih bolum zuga solesai? Repisi apa model begini? Aku cuma kausuruh nyari salah ketik, hah? Ulang lagi dalam dua hari! Kalau tak zuga kausolesaikan, cari saza pembimbing lain. Tak mau lagi aku baca tulisan macam tai begini!"
"Sialaaan!!!"
Kubanting bundelan skripsi hingga membentur daun pintu, saat ingatanku melayang ke peristiwa siang tadi. Dasar manusia tak berperasaan, antara nama dan perilaku sangat bertolak belakang.
Percuma orang tuanya memberi nama Samosir—yang berarti pria baik hati—kalau ternyata sikapnya malah congkak. Tak ada secuil pun rasa peduli dalam dirinya.
Seingatku, aku tak pernah mimpi digigit anjing—yang katanya akan mendapat sial—tapi kenapa hidupku berjalan penuh masalah seperti ini?
Samosir si Tua Bangka itu salah satu biang masalah di hidupku. Pembimbing skripsiku yang sangat menyebalkan. Sudah dua bulan aku bimbingan, tapi masih juga belum beranjak dari bab satu.
Astaga! Padahal ini sudah bulan April, wisuda tahun ini tinggal bulan Juli dan Desember. Melihat kemajuanku yang sangat lambat, bisa dipastikan aku akan tertinggal di bulan Juli. Padahal setelah Juli artinya sudah masuk semester ganjil. Gagal lagi harapanku untuk lulus tepat waktu. Kalau aku wisuda Desember, artinya masa studiku 4 tahun lebih. Sial!
Februari lalu aku mendapat kabar dari Ibu, kalau Evelyn sudah wisuda. Dalam tempo tiga setengah tahun, sepupuku bisa mendapat gelar Sarjana Ekonomi. Lalu Mei besok, Rania juga akan lulus SMA. Sedangkan aku di sini masih berkutat dengan bab satu. Kuulangi sekali lagi B-A-B-S-A-T-U!
Kulempar kamus bahasa Inggris ke pintu, kubayangkan sedang melempari Samosir dengan mercon. Gara-gara dia, skripsiku tersendat. Padahal Pak Amril—pembimbing utama—tak ada masalah. Bahkan bab tiga sudah disetujui. Namun, si Tua Bangka itu masih saja mencari-cari kesalahanku.
"Mbak Gaya ... Mbak?"
Kudengar suara Retno dari luar kamar, dia pasti mendengar keributan yang kulakukan. Aku beringsut untuk membuka pintu.
"Apa lagi, Ret?" bentakku sembari membuka pintu dengan kasar.
"Mbak Gaya, ada apa? Aku dengar ada suara berisik dari sini, aku khawatir kalau ada apa-apa."
Kuembuskan napas panjang, bisa-bisanya tadi aku bersikap kasar pada Retno. Padahal dia bermaksud baik. Akhir-akhir ini, pikiranku sedang kalut, dan kuakui sikapku menjadi berubah. Lebih temperamen, lebih sensitif dan sering berpikiran negatif.
"Sori, Ret. Aku baru sebel. Bab satuku ditolak Samosir lagi." Aku membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan Retno masuk.
"Astagfirullah ... kok bisa, Mbak? Bukannya sama Pak Amril sudah lolos bab tiga? Harusnya bulan ini mulai nyusun bab empat." Retno memunguti buku-bukuku yang tersebar di lantai. Ditumpuknya dengan rapi di atas meja belajarku.
"Ah, puyeng kepalaku mikirin Samosir. Nggak ngerti apa maksudnya, tiap kali bimbingan cuma marah-marah. Salah inilah, itulah, kurang bagian ini, salah ketik itu. Nanti udah kurevisi, kuajukan lagi, masih juga salah."
"Mbak Gaya, sudah lapor ke Pak Amril?" tanya Retno sembari menarik kursi belajar untuknya duduk.
"Sudah, tapi ya gitu, cuma suruh sabar. Sabar ada batasnya juga. Kalau begini terus, bisa-bisa aku nggak ikut wisuda tahun ini." Kuhentakkan kaki kesal menuju tempat tidur.
"Kamu tahu? Tadi, dia masih belum tanda tangan gara-gara ada satu kata 'wanita' di latar belakang masalah, menurut dia lebih pantas memakai 'perempuan'. Padahal tiga hari lalu, dia sendiri yang nyuruh pakai 'wanita'. Benar-benar sial!" lanjutku seraya melempar tubuh ke kasur, berbaring sekejap demi meluruskan punggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
General FictionAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...