November, 2016
"Ga ... kamu kenapa, sih? Kok, bisa sampai begini?" Titin mengusap dahiku dengan handuk basah.
"Aku khawatir banget waktu pulang kerja ngelihat kamu ambruk di dapur. Astaga, Ga ... badanmu udah kaya mayat hidup gini, kurus banget. Kita ke dokter sekarang, yuk. Aku panggilin taksi dulu."
Kupegang tangan Titin, saat dia beranjak dari kasur. "Nggak usah, Tin. Aku nggak pa-pa kok. Lagian ini juga udah malem."
Titin menggeleng berulang kali. "Aku heran sama kamu, keras kepala banget jadi orang. Ini masih jam tujuh kurang, belum malem banget. Rumah sakit buka 24 jam, Ga. Apa kamu nggak ngerasa udah nyiksa diri kamu sendiri, Ga? Berapa hari kamu nggak makan, hah? Untuk apa coba? Aku sama sekali nggak habis pikir. Pokoknya kita ke Rumah Sakit sekarang. Titik."
"Tin, besok aja. Aku nggak apa beneran. Tadi waktu mau ambil air, aku cuma agak pusing."
Aku tidak mau periksa, buang-buang uang saja. Lha wong, aku tidak merasa sakit, cuma sedikit masuk angin. Wajar menurutku, karena sudah tiga minggu tubuhku hampir tidak mendapat asupan nutrisi sama sekali. Kupikir tanpa ke dokter, cukup dengan istirahat pun kondisiku bisa pulih.
"Maneh teh emangna oge hese dibere nyaho!*" (*Kamu benar-benar susah dikasih tahu!)
"Plis, Tin, aku butuh tidur. Aku jamin, besok pagi sudah lebih enakan."
Titin mengembuskan napas panjang dan keras. "Ya sudah, sekarang kamu makan dulu dikit trus tidur, ya."
Aku menggeleng lemas. "Langsung tidur aja, Tin."
Titin mengambil mangkuk bubur, menyeret kursi ke sebelah ranjang, lalu mulai menyuapiku. "Sedikit aja, Ga."
Aku menutup mulut, memalingkan muka ke tembok. Semisal aku paksakan diri untuk makan, pasti akan kumuntahkan lagi, dan aku sudah tidak kuat kalau harus ke kamar mandi. Tubuhku sudah lemas.
"Ga, dikiiit aja." Titin menyorongkan sendok tepat di depan mulutku.
Kudorong tangan Titin menjauh. "Taruh di meja aja, Tin. Ntar aku makan sendiri. Sekarang aku bener-bener pengin tidur."
Kudengar dia mengembuskan napas panjang. "Bener, ya, Ga, nanti dimakan. Aku taruh di sini." Titin meletakkan mangkuk bubur di atas meja, lalu berjalan keluar kamar.
"Tin, tolong tutup pintunya, ya. Makasih."
Kumiringkan tubuh, menarik selimut hingga ke dagu, lalu kupejamkan mata. Aku butuh dan harus tidur. Aku sudah terlalu lama izin sakit, kalau tak juga sehat bisa-bisa aku dapat surat peringatan.
Kucoba menghitung dari satu sampai seratus, tapi tak juga membuatku terlelap. Setiap sampai di angka duapuluh delapan, pikiranku melayang ke Rania. Hingga sejam kemudian pun aku masih belum bisa tidur.
Kuambil sebotol kecil obat tidur di laci nakas samping tempat tidur, kuminum dua butir. Kalau hanya sebutir sudah tak mempan lagi bagiku. Pil inilah penolongku di saat pikiranku sedang ruwet, aku bisa tenang, tertidur, dan melupakan segala permasalahan untuk sementara.
***
"Gaya ... Gaya ...."
Samar-samar terdengar seseorang mamanggil namaku. Suaranya terasa jauh dan bergema, tapi mampu membawaku pada kesadaran. Perlahan kubuka mata, saat kurasakan belaian lembut di punggung tangan.
Aroma ini, perpaduan citrus dan kawan-kawannya yang sudah sangat akrab dengan indra penciumanku, langsung menyadarkanku akan kehadirannya di sini. Memangnya ini hari apa dan jam berapa? Kenapa dia bisa ada di kamarku?
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
Fiksi UmumAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...