Akhir Maret, 2008
I hate monday! Bukan apa-apa, tapi tiap Senin aku harus mengikuti upacara bendera di sekolah. Selama hampir satu jam, aku dijemur seperti ikan asin. Males banget!
Dibilang tidak nasionalis pun tak apa. Toh, aku yakin, kecintaan dan kesetiaan seseorang terhadap Indonesia, bukan diukur dari berapa kali dia ikut upacara bendera.
Pagi ini, aku merasa kurang enak badan. Dari semalam, jantungku berdebar-debar, seperti tidak tenang. Kepala juga pusing, bukan cenut-cenut. Kalau menunduk rasanya bumi ini berputar. Eh, bumi memang muter, ya. Oke kuralat, maksudku rasanya kaya naik komidi putar.
Semalam kuputuskan untuk tidur lebih cepat. Biasanya pukul 9 malam baru kututup buku pelajaran, tapi karena tubuh dan mataku sudah terasa berat, pukul 7 malam aku sudah berbaring. Berharap paginya bisa pulih.
Namun, ternyata tak ada perubahan. Padahal semalam aku bisa tidur nyenyak, bahkan tadi pagi bangunku lebih siang dari biasanya, tapi kenapa pusingku belum juga reda? Ditambah matahari pagi ini sangat bersemangat, sang Surya membagikan cahaya silaunya di Solo-ku tercinta. Sinarnya menusuk mataku, membuatku bertambah tak nyaman.
"Ssst, Ga, kamu kenapa? Pucet," bisik May yang berdiri tepat di kananku.
"Masuk angin kayae, May," jawabku dengan berbisik pula.
"Istirahat di belakang aja, Ga. Ngiyup[1]," bisiknya lagi.
Aku menggeleng pelan. "Nanti aja," ucapku sembari mengikuti aba-aba hormat dari pemimpin upacara.
Kurasakan peluh telah membanjiri dahi dan punggungku. Aneh, di cuaca sepanas ini, tapi aku merasa dingin.
Di lapangan, sang Saka Merah Putih tengah dikerek oleh ketiga petugas pengibar bendera. Mataku terpaku pada tarikan demi tarikan, hingga membuat secarik kain itu membumbung tinggi. Angin yang berhembus sepoi pun membuat sang Dwiwarna melambai-lambai. Seolah menari mengikuti alunan musik Indonesia Raya.
Namun, kenapa tiangnya juga ikut bergoyang? Tunggu dulu, kenapa benderanya bisa jadi dua? Dan, suara paduan suaranya seolah menjauh, hanya terdengar lamat-lamat dan bergema di telingaku.
Aku mengerjap berkali-kali, menghilangkan pedih karena keringat yang masuk ke mata.
"Ga ... Gaya?"
Entah siapa yang memanggilku. Yang kutahu, seluruh tubuhku menjadi ringan, seringan bulu. Dan, pandanganku memburam, semakin lama semakin redup. Lalu semua menggelap.
***
"Sudah kamu telepon orang tua Gayatri, May?"
Bukankah itu suara Bu Icha? Kenapa May harus menelepon Babu? Aku di mana sebenarnya? Kenapa mataku sulit terbuka?
Kucoba membuka kelopak mata. Belum ada tiga detik, kututup lagi. Entah mengapa langit-langit seolah akan runtuh, perutku pun menjadi mual. Jantungku berdebar tak menentu. Hingga tanpa sadar aku mengerang.
"Gaya, kamu sudah sadar?"
Kurasakan seseorang menyentuh dahiku. Dari suaranya, aku tahu kalau dia adalah Bu Icha.
"Pusing, Bu. Saya tidak bisa melek[2], pusing muter-muter. Dada saya juga deg-degan," ucapku seraya menutup kedua mata dengan telapak tangan.
Walau aku masih terpejam, cahaya lampu tetap membuatku silau. Dan itu sangat tidak nyaman.
"Coba Ibu periksa dulu."
Bu Icha membuka kancing seragamku, lalu menempelkan benda dingin ke dadaku. Aku disuruhnya mengambil napas panjang dari hidung, dan menahannya sekejap.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
General FictionAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...