November, 2011
Cowok itu lagi? Sudah seminggu ini dia wira-wiri ke indekosku, cuma untuk mengantar seplastik es teler. Apa, sih, maunya ini cowok? Sudah aku bilang berkali-kali kalau aku tidak minum es, aku sedang diet. Masih saja si Cakil nekat.
Astaghfirullah! Cowok ini selalu membuat hatiku berdosa. Lagi-lagi aku menghina ciptaan Tuhan. Ampuni hamba, ya, Allah. Bukan maksud hamba seperti itu, tapi mau bagaimana lagi? Memang kenyataannya, Mas David memiliki rahang seperti cakil.
Setiap melihatnya, yang kubayangkan adalah sosok buto cakil dalam pewayangan. Rahang bawahnya lebih maju timbang yang atas, bentuknya pun runcing. Sifatnya pun menyerupai raksasa itu, suka bercanda dan pandai bersenang-senang. Buto Cakil juga seorang pengeyel sejati, pantang menuruti perkataan orang lain, dan kukuh dengan pendapat sendiri. Persis, lah, pokoknya.
"Hai, Gaya. Baru pulang?" Mas David beringsut dari duduknya setelah melihatku membuka gerbang kos.
Pertanyaannya basi banget. Padahal sudah lihat, kalau aku baru datang. Demi kesopanan, kuberi seulas senyum dengan penuh keterpaksaan pada kakak tingkatku ini.
"Sore, Mas. Iya, tadi pulang kuliah bablas senam. Ada apa, ya, Mas?" tanyaku tanpa bisa busuk, sembari duduk berhadapan dengan Mas David.
Kulihat meja di depanku ada seplastik es berwarna merah. Nah, kan, benar. Retno bakal kegirangan kalau begini terus, dia yang ketiban durian setiap Mas David ke sini. Pasalnya, es teler dari si Cakil selalu kuhibahkan padanya.
"Tadi kebetulan lewat daerah sini, jadi kepengin mampir. Oh iya, ini ada es teler perempatan situ, untuk seger-segeran."
Kuterima plastik berisi calon lemak. "Mas David, nggak perlu repot-repot gini. Aku, kan, jadi nggak enak." Aku mencoba berbasa-basi.
"Bawa masuk dulu, Ga, biar tetep adem."
Aku baru mau melangkah masuk, saat Retno menampakkan batang hidungnya di ambang pintu.
"Eh, ada Mas David," sapa gadis berhijab syar'i itu sembari melirik kantong plastik yang kubawa. "Wah, bawa es lagi, ya? Enak banget, lho, esnya ... seger."
Aku mengedipkan mata, mengode Retno agar menutup mulut. Bagaimanapun juga aku tidak enak hati, kalau Mas David sampai tahu kekurangajaranku.
Untungnya Retno segera sadar akan kekhilafannya. Sambil cengengesan dia berkata, "Aku sering minta ke Mbak Gaya, Mas. Makanya, kalau ke sini, bawanya jangan cuma 1, aku juga mau."
"Sip, besok kubawakan 2."
"Asyik! Sini, Mbak Gaya, aku masukin ke lemari es biar dingin." Retno mengambil bungkusan dari tanganku sembari menebar senyum.
Ish, masuk ke kulkas atau perut? Kuberi sedikit pelototan saat Retno pamit ke dalam kos. Dia merusak rencanaku, padahal kalau aku menaruh ke lemari es, aku bisa berlama-lama di dalam sana. Terus terang, aku tidak begitu nyaman berbincang dengan Mas David.
Aku merasa dia sok perhatian, berusaha cari muka. Bukan tanpa alasan, setiap kali dia ke sini, pasti yang dibicarakan tentang kesibukanku. Pakai sok-sokan mengingatkan tugas kuliah segala. Padahal, kami juga tidak begitu dekat. Yang aku tahu, Mas David ini dua angkatan di atasku, semester sebelas, kalau semester depan dia belum juga lulus, bakal di DO. Namun, dia masih banyak mengulang kelas semester bawah. Bahkan ada tiga kelas yang sama denganku.
"Gaya, kamu sudah bikin proposal skripsi untuk mata kuliahnya Pak Amril?" Nah, kan, mulai sok perhatian.
"Sudah, Mas. Cuma tinggal print sama jilid. Deadline-nya, kan, tinggal tiga hari lagi, bisa gawat kalau aku nggak ngumpulin tugas. Bisa-bisa nilaiku dapet E. Padahal kalau nggak lulus matkul Pak Amril, aku nggak bisa ambil skripsi di semester depan."
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
General FictionAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...