November, 2011
Sejak pagi buta—begitu pintu gerbang kampus dibuka—aku langsung mencari keberadaan si Cakil. Namun, sampai pukul 10.00 belum juga kulihat janggut lancipnya. Seluruh ruang kelas kuintip, masih saja tak terendus penampakan David. Akhirnya dengan ditemani Retno, aku mencari ke ruang mapala. Berdasar info yang kudapat, David sering nongkrong di sana.
"Primus!" panggilku begitu melihat Primus di depan ruang mapala. "Kamu lihat David nggak?"
"Kenapa, Ga?"
"Lihat apa nggak?" bentakku.
"Sabar, Mbak," Retno mengelus lenganku, "Mas David mbawa tugas proposalnya Mbak Gaya, Mas."
"Yang bener, Ga? Waduh, barusan aku sempat lihat di aula depan, kayae mau ke ruang dosen sambil bawa map."
Sialan! Firasatku tambah tidak enak. Secepat mungkin aku berlari ke ruang dosen di lantai dasar. Aku tidak peduli sudah berapa orang yang kutabrak, yang penting aku harus mengambil kembali proposalku.
Aku mendengar Retno dan Primus memanggilku, sembari meminta maaf ke orang yang baru saja kutabrak. Masa bodo, aku tetap saja berlari.
Kusipitkan mata, saat melihat sosok yang baru saja keluar dari ruang Pak Amril. Janggut itu, jelas milik si Cakil. Untung saja aku rutin joging, jadi tubuhku sudah terbiasa untuk berlari. Kuperbesar langkahku demi mempersempit jarak antara kami.
"DAVID!" teriakku dengan volume suara maksimal.
Aku yakin melihatnya menoleh, tapi bukannya menungguku, dia malah berbalik arah dan dengan setengah berlari menjauhiku. Berarti benar, ada yang tidak beres.
"Siapa pun, tolong tangkap laki-laki bermuka buto cakil itu!" teriakku lagi.
Cakil menambah kecepatan lari, tapi aku juga tak mau kalah. Kalau sampai dia lolos hari ini, aku bakal susah untuk melaporkannya ke Pak Amril.
Tepat saat David akan masuk ke lift, kulihat Hendro–teman sekelasku yang bertubuh gempal–baru keluar dari lift.
"HEN ... HENDRO! TANGKAP DAVID!"
Untung saja Hendro cepat tanggap. Tanpa tahu duduk permasalahannya, dia mencekal lengan David, lalu memelintirnya hingga Cakil tak lagi berkutik.
"Mana proposalku?" tanyaku begitu sampai di depan wajahnya.
"Proposal apa lagi? Lepas! Apa-apaan ini?" Cakil berusaha memberontak.
Primus yang baru sampai, membantu Hendro memegangi Cakil supaya tidak lepas.
"Brengsek! Cepet balikin proposalku!"
Cakil mengerang kesakitan saat Primus memelintir lagi lengannya.
"Ada apa ini?" Pak Yoyok—Dekan Sastra Indonesia—rupanya mendengar keributan yang kuperbuat, hingga beliau keluar dari ruangan.
"Maaf, Pak. David mengambil tugas proposal saya, seharusnya hari ini saya kumpulkan ke Pak Amril," ucapku.
"Bohong, Pak! Aduuuh!" Dasar cowok tak tahu diri, masih saja berkelit. Rasakan kekuatan Hendro.
"Kalau gitu, mana proposalku? Katanya, kamu mau bantuin ngeprint sama njilid, kenapa sampai sekarang belum kamu kasih ke aku? Kamu malah lari begitu melihat aku?" Aku tidak boleh lemah. Aku harus memperjuangkan hakku.
"Proposal apa? Dasar cewek gila! Main tuduh seenaknya."
"Wah, nggak beres ini orang. Sidang saja, Pak," usul Hendro.
"Kalian semua, masuk ke ruang Pak Amril!"
"Lepas! Aku nggak salah!" Kulihat David meronta tak karuan, berusaha meloloskan diri dari betotan Hendro dan Primus.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
General FictionAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...