PART 17

688 69 14
                                    

November, 2012

Aku berlari menyusuri koridor rumah sakit, menggegas langkah agar segera tiba di ICU. Tadi pagi Ibu menelepon di antara derai tangis, beliau mengabarkan bahwa Bapak kena serangan jantung lagi.

Aku belum tahu persis bagaimana kondisi Bapak, karena begitu menutup sambungan, aku langsung bertolak ke Solo. Yang aku tahu, Ibu sangat cemas dan khawatir. Bahkan aku tidak membawa baju satu pun, hanya sempat meraih tas berisi dompet dan ponsel.

Aku mencari penunjuk arah yang biasanya tertempel di dinding, tap tak juga kutemukan. Kuputuskan bertanya ke perawat jaga terdekat. Baru kupencet bel yang berada di meja jaga, seseorang memanggilku.

Aku menoleh ke asal suara. Ternyata Rania. Kulihat lingkar hitam di matanya, dan wajahnya pun pucat. Pasti sedari tadi dia menemani Ibu di sini. Dari matanya yang sembab dan bengkak, aku yakin Rania baru saja menangis.

"Gimana Bapak, Ran?" tanyaku saat kami berjalan bersisian menuju ICU.

Langkah Rania terhenti, dia kembali menangis, membuatku menghentikan langkah. "Bapak ... Bapak koma, Mbak. Kata dokter, jantung Bapak tidak berfungsi lagi," ucapnya lirih.

Napasku tercekat, ketika tiba-tiba Rania memelukku erat. Tanganku terangkat, tapi sedetik kemudian terhenti di udara, antara ingin membalas pelukannya atau tidak. Kupejamkan mata, berusaha sekuat tenaga menahan jatuhnya air mata. Aku tidak boleh menangis. Aku harus kuat demi Ibu. Kujatuhkan kedua tanganku ke sisi tubuh. Kubiarkan Rania menangis, tapi tak kubiarkan hatiku menerimanya.

Padahal baru enam bulan lalu Bapak masuk rumah sakit karena serangan jantung. Dokter pun sudah berpesan untuk menjaga kesehatan, jangan sampai ada serangan kedua, tapi rupanya Tuhan berkehendak lain.

"Kita nemenin Ibu saja, Ran." Aku melepaskan diri dari pelukan Rania.

Kulihat sinar kekecewaan dalam manik mata Rania. Aku memalingkan wajah, pura-pura sibuk mengamati situasi di rumah sakit. Rania kembali melangkah dalam diam. Kubiarkan dia berjalan di depanki.

Kupandangi punggung adikku, tampak begitu kecil, kurus dan layu. Apakah selama aku kuliah di Jogja, bebanku secara otomatis terlimpah padanya?

Entah kenapa aku ingin sekali memeluk bahunya yang mungil itu. Saling berbagi kekhawatiran bersama. Saling membagi beban. Saling bertukar kasih sayang, seperti dulu, di saat pikiran dan hatiku belum dipenuhi oleh kebencian. Aku merindukan saat-saat di mana kami berempat bercanda, berkelakar, bercengkerama. Aku merindukan Bapak, Ibu dan Rania. Aku ingin pulang dalam pelukan mereka. Namun, ada sebersit rasa tak ikhlas timbul dalam hatiku. Aku belum bisa melupakan sakit hatiku.

"Mbak Gaya." Pelukan Ibu membuyarkan lamunanku.

Kulirik Rania yang masih memunggungiku. Aku sadar, perlahan Rania mulai menjauh. Aku sadar, semua ini karena sikapku padanya. Dan, aku sadar, dalam lubuk hatiku terdalam, aku masih berharap dia mau berbalik dan memelukku.

"Bapak bagaimana, Bu?" tanyaku setelah Ibu melepaskan pelukannya.

Ibu mengusap pipinya yang basah oleh air mata. "Bapak masih kritis, Mbak. Kata Dokter ... kita harus bersiap kalau sewaktu-waktu Bapak meninggalkan kita."

Kupeluk tubuh ringkih Ibu yang bergetar hebat menahan tangis. Ibu berusaha tegar di depan kami, anak-anaknya, walau kutahu sebenarnya hati Ibu tak berdaya bila harus kehilangan Bapak.

Aku tak kuat lagi menahan tangis, dadaku begitu sesak. Rasa penyesalan bercokol di dalam hatiku. Sejak lima tahun lalu, tak pernah sekali pun aku bersimpuh memohon ampunan dari Bapak. Padahal begitu banyak dosa yang kuperbuat, begitu besar kedurhakaanku pada Bapak. Kini, yang ada hanya penyesalan. Entah masih sempatkah diri ini meminta maaf pada Bapak.

OBSESSION (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang