Oktober, 2007
Sabar. Orang sabar pantatnya lebar. Sepuluh meter lagi aku sudah sampai di rumah nomor 68. Bangunan bercat putih dengan pintu gerbang setinggi diriku. Tempat di mana aku bisa melampiaskan segala kekesalanku hari ini.
Delapan meter. Aku mempercepat langkah–tidak peduli lagi dengan cenut-cenut di kaki kiriku–untuk segera sampai di rumah. Aku sudah melihat atap rumahku yang berwarna merah bata.
Enam meter. Aku sudah bisa membayangkan empuknya kasurku. Lembutnya Teddy, boneka beruang sebesar anak TK, yang selalu menemani tidurku. Harumnya sprei yang selalu rajin kuganti tiap seminggu sekali. Dan, tentu saja suara kekasih hatiku, Daniel Bedingfield, yang selalu mengalunkan nada-nada cinta.
Setengah meter. Jalan Kahuripan nomor 68 sudah di depan mata. Kuembuskan napas lega. Merdeka! Sebentar lagi tubuhku akan terbebas dari kungkungan baju kurang bahan ini. Nanti aku ceritakan apa yang kualami hari ini. Namun, sekarang yang kubutuhkan adalah masuk rumah secepatnya.
"Assalammualaikum." Aku memberi salam seraya membuka gerendel di pintu gerbang. Kulihat Ibu sedang merumput di halaman depan. Masaoloh! Di saat aku butuh atap–yang bisa melindungiku dari terik matahari–Ibu malah sukarela menghitamkan diri.
Aku menghampiri Ibu, mencium punggung tangannya. Aku sadar, Ibu menatapku heran. Biasanya sepulang sekolah, mulutku sudah kaya petasan Cina. Namun, siang ini bibirku mengacup, tersenyum pun tidak. Dalam diam kuberlalu, melepas sepatu di teras, lalu menaruhnya di rak sepatu.
Ibu paling tidak suka kalau kami masuk rumah masih memakai alas kaki. Wajar, sih, karena tiap hari Ibu yang menyapu dan mengepel lantai. Ibu adalah pusat di rumah kami. Tanpa beliau, gubug ini pasti akan seperti kandang ayam. Hancur tak berbentuk, dan penghuninya pasti menderita busung lapar. Aku suka makan, bisa dibilang hobiku memamah biak, tapi aku tidak bisa masak.
Kuralat, bukan tidak bisa, cuma belum bisa. Waktuku habis untuk sekolah dan belajar. Lagipula Babu juga tidak pernah memaksaku untuk melakukan pekerjaan rumah. Mereka selalu menekankan bahwa prioritas utama kami–aku dan Rania–adalah pendidikan.
"Lho, Mbak, jam segini sudah pulang? Tadi katanya sampai sore." Ibu mengikutiku ke dalam rumah. "Bajumu kenapa, Mbak? Bukannya tadi pagi pakai pramuka? Apa ada masalah?"
Apa semua ibu seperti ibuku? Bisa membaca pikiran orang. Ibuku itu, selalu bisa mencium gelagat aneh dariku atau Rania, walau aku sudah berusaha menyembunyikannya. Namun, kali ini aku tidak mau repot-repot memasang topeng 'I'm Fine, Thank You'.
Aku kembali dongkol mengingat kejadian tadi pagi. Dengan memberengut dan tanpa menjawab pertanyaan Ibu, aku langsung menyeluduk ke ruang makan. Hal pertama yang kulakukan adalah menuju lemari es, mengambil sebotol air dingin.
Aku menenggak isi botol tanpa repot menuangnya ke gelas. Ludes dalam sekali teguk. Rasa dinginnya tak hanya meluruhkan panas tubuh, tapi juga melunturkan panas jiwa. Pantesan aku pernah baca soal terapi air untuk penderita gangguan jiwa. Karena air benar-benar menyegarkan.
"Mbak?" Ibu mengikutiku ke ruang makan. "Kok diem saja?"
"Tadi pagi, Gaya muntah di bus, Bu," laporku sembari mengusap air yang menetes di dagu.
Kulihat Ibu bergegas mendekatiku. "Kamu sakit, Mbak? Kok, bisa muntah? Terus bagaimana? Kenapa ndak pulang saja?" Ibu mengusap punggungku, kebiasaannya kalau aku masuk angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
General FictionAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...