Agustus, 2016
Kulihat jam di pergelangan tangan kiriku, sudah hampir pukul 17.00 WIB. Pantas udara terasa lebih dingin, apalagi dengan pendingin mobil yang disetel maksimal seperti ini. Kugosok-gosokkan kedua telapak tangan agar ujung-ujung jariku tak lagi terasa dingin.
Seandainya tadi cardinal-ku tidak hilang di The Lodge Maribaya, tentunya sekarang aku tidak akan semenggigil ini. Padahal kami akan berada di Observatorium Bosscha sampai pukul 20.00, pasti udara dingin di sana semakin menusuk tulang.
"Ga, kamu nggak bawa jaket?" Aku menoleh ke arah Titin yang duduk di samping kananku.
Tumben ini anak tidak tidur, waktu berangkat tadi, di sepanjang jalan tak pernah dia berhenti mengorok.
"Tadinya bawa, Tin, tapi hilang di Maribaya. Kayae ketinggalan di sky tree." Kulihat di samping Pak Jaja-supir kantor-Mas Arifin sudah terlelap. Di kursi tengah, Mbak Devi dan Bu Sulis pun tak kuat menahan kantuk. Sepertinya mereka kelelahan setelah sedari pagi membuang energi di Maribaya.
"Kamu tadi jadi naik ke rumah pohon?" Titin terkekeh mendengarku nekat memanjat tangga yang terpasang di pohon hingga sampai pada platform kayu di atas.
"Ya, gimana lagi, timbang kalian paksa untuk naik mountain swing atau zip bike, mending foto-foto di rumah pohon. Habisnya kalian juga, ngapain vote untuk liburan ke tempat macem itu. Kenapa nggak ke gedung sate atau Cibaduyut atau Ciampelas. Aku, kan, belum pernah. Tadi, kalau aku nggak naik, eman-eman mumpung sampai di sini, tapi kalau naik, ya, serem," gerutuku.
Aku bukan fobia ketinggian, aku cuma ngeri saja. Bedakan antara fobia dan takut, ya!
"Lhah, kalau cuma Cibaduyut sama Ciampelas mah bisa sewaktu-waktu ke sananya. Tapi kalau Maribaya, kan, aji mumpung, Ga. Mumpung dibayari kantor." Lagi-lagi Titin tertawa puas.
Aku mendengkus sebal melihatnya begitu gembira. Untung saja liburan hari ini tidak berakhir di Maribaya, Pak Bos berbaik hati memberi bonus ke Observatorium Bosscha. Entah bagaimana caranya-mungkin dia punya koneksi-kami bisa reservasi untuk kunjungan malam. Padahal, khusus kunjungan malam, yang aku tahu, cuma dibuka tiga malam dalam sebulan. Itu pun hanya berkisar di bulan April-Okteber.
Nah, aku demen kalau di sini. Sedari kecil aku kepengin banget melihat seperti apa, sih, bentuk teleskop bintang, gara-gara lihat film Petualangan Sherina.
Aku penasaran bagaimana rupa bintang jika dilihat dari teleskop. Aku juga pengin tahu, bagaimana cara kerja alat itu. Rasanya tidak sabar untuk segera mengantre mencoba Teleskop Unitorn dan Bamberg.
Ternyata tempatnya jauh lebih bagus timbang yang di film, lebih tertata rapi. Begitu turun dari mobil, hawa sejuk langsung menerpa tubuhku. Secara refleks kupeluk tubuhku sendiri. Untung tadi aku naik mobil, coba kalau naik bus kantor, aku masih harus jalan kaki 1 kilo dari parkir sampai sini. Wih, pasti dingin-dingin capek.
"Masih dingin, Ga?"
"Pake nanya!" cetusku sewot pada Titin, "Nggak lihat nih, badanku udah kaya es. Dah, yuk cepet jalannya, kali aja di dalem anget."
Aku berjalan cepat meninggalkan rombongan di belakangku. Aku harus mencari kehangatan sebelum tubuhku membeku. Ini saja hidungku sudah mulai mampet, aku tidak mau terkena flu, bisa kacau jadwalku minggu depan kalau aku sakit.
Kulihat rombongan Pak Bos telah tiba lebih dulu di depan kubah Observatorium. Laki-laki jangkung---yang kuperkirakan sekitar 180an senti lebih dan bermata setajam elang itu---tengah berbincang dengan bapak-bapak berseragam, mungkin pegawai di Bosscha.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
Fiksi UmumAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...