"Mbak Gaya."
Kudengar ketukan pelan di pintu kamarku. Kutarik napas panjang sebelum berdiri dari posisi rebahan untuk membuka kunci pintu kamar. Sudah hampir dua bulan aku keluar dari rumah sakit, tapi aku tetap tidak bisa kembali ke Bandung. Aku masih harus kontrol dan rutin mengikuti program konseling dengan Bu Rosita.
Sebenarnya waktu itu aku sudah ingin sekali kembali ke Bandung, aku merindukan rutinitas kerja di sana. Namun Ibu menahanku dengan alasan pengobatan yang kujalani belum berhasil. Beratku masih jauh di bawah normal, dan terkadang tubuhku menolak makanan yang masuk.
Awalnya aku menolak keras, aku tidak mau terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Cuti tahunanku saja sudah habis untuk pernikahan Rania, belum lagi waktu aku dirawat, dan sekarang harus mengajukan cuti lagi. Memangnya aku yang punya perusahaan apa? Aku tidak mau kalau harus kehilangan pekerjaanku. Tidak.
Namun lagi-lagi sang Dewa Penolong berpihak pada Ibu—siapa lagi kalau bukan Aa' Pilar—dia mengizinkanku mengambil cuti dengan waktu tak terbatas. Lengkap sudah penderitaanku. Tak ada satu orang pun yang berpihak padaku, bahkan May dan Titin juga memaksaku untuk menjalani pengobatan di Solo.
Kata Bu Rosita, dukungan keluarga dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap kesembuhan pasien anoreksia sepertiku ini. Beliau juga setuju jika aku harus tinggal dengan Ibu di Solo.
Kuakui, selama dua bulan—hampir tiga bulan jika dihitung sejak kedatanganku ke Solo—hubunganku dengan Ibu berangsur membaik, tentunya setelah proses penuh emosi yang mesti kami jalani bersama dengan Bu Rosita.
Satu hal yang masih melekat kuat di dalam ingatanku, Ibu meminta maaf atas ketidakpekaannya terhadap kondisiku. Ibu menyesal setelah tanpa sadar berlaku tidak adil padaku. Ibu juga berjanji akan memperbaiki semuanya.
Aku berusaha percaya, tentu dengan bantuan Bu Rosita yang tak pernah lalai untuk menyemangati dan menyugesti alam bawah sadarku agar tak lagi tersesat dalam khayalan dan kekecewaan. Bu Rosita terus-menerus membangkitkan kepercayaan diriku, beliau juga membimbing pikiran negatifku ke arah yang benar.
Aku sendiri pun merasakan perbedaan dalam diriku. Pikiranku yang semula selalu diliputi ketidakpercayaan pada Ibu dan Rania, sekarang mulai berubah. Aku bisa membuka diri pada Ibu. Aku mulai bisa merasakan kehangatan yang telah lama hilang.
Namun hidupku kembali jungkir balik setelah pertemuanku dengan dokter kandungan dua minggu lalu. Rajutan mimpi indah yang perlahan kubangun pun harus kukubur dalam-dalam. Kepercayaan diri yang mulai timbul pun kembali anjlok.
"Ya, Bu?"
"Mbak, itu ada Aa' di depan. Ditemui, ya."
Kupicingkan mata mendengar nama Aa' kembali disebut Ibu. "Nggak, Bu. Bilang aja Gaya baru tidur," ucapku tegas.
"Tapi, Mbak, sudah berkali-kali Aa' ke sini ndak pernah kamu temui. Ayo tho, Nduk, keluar sebentar. Aa' jauh-jauh dari Bandung ke Solo cuma mau ketemu sama kamu," bujuk Ibu.
Aku teringat sesuatu, kubalikkan badan menuju nakas samping tempat tidur, lalu kuambil sebuah amplop cokelat. "Bu, tolong kasihin ke Aa'. Ini surat pengunduran diri Gaya. Mulai sekarang Gaya sama dia udah nggak ada urusan lagi, jadi dia nggak perlu repot-repot ke Solo."
Ibu menghela napas panjang. "Mbak yakin ini yang terbaik?"
Aku mengangguk mantap lalu kututup lagi pintu kamar, setelah Ibu kembali ke ruang tamu. Kusandarkan punggung pada daun pintu. Kumemejam sejenak saat kurasa panas menyengat di kedua mataku. Jangan sampai aku menangis lagi. Karena sebanyak apa pun kubuang air mata tak akan mengubah vonis dokter tentang kondisi rahimku.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
General FictionAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...