PART 15

909 78 41
                                    

Desember, 2011

"Bu, Mbak Gaya sudah dateng!" Suara Rania membahana di antero rumah.

Baru saja kupijakkan kaki di rumah ini, tapi rasanya ketenangan yang kumiliki langsung menguap. Tak terasa sudah hampir enam bulan aku tidak pulang, terkadang ada rindu yang terselip. Namun, segera kutepis kuat-kuat, karena belum tentu mereka kangen padaku.

"Asalamualaikum, Bu," ucapku sembari mencium pungggung tangan Ibu.

"Wa'alaikumussalam. Ya, Allah, Nduuuk! Kemana saja, tho, kamu ini? Ndak pernah pulang. Opo ndak kangen sama Ibu lan Bapak?" Ibu memeluk erat diriku sembari membelai dan menepuk punggungku.

Rasa haru kembali menyeruak, benarkah yang kurasakan ini? Ibu merindukanku? Kubalas pelukan Ibu. Kehangatan langsung menyelusup ke relung hatiku, mengisi kekosongan yang kubiarkan menganga. Tanpa kusadari, air mataku jatuh dari tempat peristirahatannya. Gaya kangen, Bu!

"Maaf, Bu, Semester ini Gaya benar-benar banyak tugas." Ya, tugas dan tekanan.

Terlebih saat perseteruanku dengan David tiga bulan lalu. Kala itu hanya satu keinginanku, membuat jera David. Agar tak ada lagi Vera-Vera yang lain. Dan, alhamdulillah ... pada akhirnya David kalah.

Dia tak bisa mempresentasikan proposalku dengan baik, bahkan dia tak tahu harus bicara apa di depan para penguji. Sebagai ganjaran atas perbuatannya, Pak Yoyok memberinya sanksi untuk tidak mengikuti kegiatan akademik, dan mencabut hak-hak sebagai mahasiswa, dalam jangka waktu tertentu.

Puas rasanya saat melihat si Cakil memucat. Bisa dipastikan dia bakal di DO, karena tidak bisa menyelesaikan pendidikan dalam tempo dua belas semester.

"Mbak Gaya pasti punya pacar, Bu. Makanya nggak pernah pulang."

Kulepas pelukan Ibu. "Heh, jangan memfitnah! Nggak usah ikut campur, kalau nggak tahu."

"Galaknyaaa ... padahal aku, kan, cuma gojegan. Mbak Gaya sekarang nggak asyik."

"Sudah-sudah, jangan bertengkar." Ibu menatapku dengan alis menyatu. "Lho, Mbak Gaya sekarang pake jilbab? Ibu baru tahu. Kok, ndak pernah cerita di telepon?" Ibu membelai kepalaku yang tertutup jilbab.

"Oh ini ... enggak, Bu. Gaya belum siap pake jilbab. Ini tadi dari kampus, Gaya bablas pulang Solo, nggak sempat ganti baju." Aku menjelaskan secara singkat, jangan sampai Ibu salah tangkap.

"Kamu tambah ayu pake jilbab, Mbak. Ibu setuju kalau kamu mau nutup aurat, tapi Ibu juga ndak maksa kamu. Yang penting Ibu sudah mengingatkan, dan kamu juga sudah tahu kewajiban muslimah."

Aku mengangguk. "Iya, Bu, Gaya tahu. Cuma memang belum siap saja, lagian salat lima waktu saja kadang masih bolong."

"Yo wes, pesan Ibu cuma satu. Jangan sampai lupa untuk salat, selalu ucap syukur kepada Gusti Allah. Usahakan jangan bolong-bolong lagi. Biar diberi kemudahan dan kelancaran, Nduk." Tak ada nada memojokkan atau memerintah dalam suara Ibu, benar-benar sebuah petuah yang kurindukan.

Sejak kuliah di Universitas Ahmad Dahlan, aku memang mengenakan jilbab, tapi hanya saat ke kampus. Seperti yang tadi kubilang, aku belum siap. Perilakuku masih jauh dari cerminan muslimah. Kalau aku memakai jilbab, aku khawatir merusak citra Islam. Aku tidak mau dikatakan hanya menjadikan jilbab sebagai kedok. Kalau aku memutuskan untuk memakai jilbab, artinya aku sudah benar-benar siap untuk berhijrah.

"Dah, sana istirahat dulu. Besok subuh-subuh, kita berangkat ke Tawangmangu."

Kalau bukan karena bujukan Ibu, aku malas untuk menghadiri ulang tahun perkawinan Budhe Yanti di Tawangmangu. Paling-paling di sana aku cuma jadi makhluk invisible, ada tapi tak terlihat.

OBSESSION (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang