PART 4

809 83 44
                                    

November, 2007

Nomor tiga belas? Gawat! Dapet nomor sial. Aku melihat ke papan tulis, mencari letak tempat duduk baruku. Kalau dari angkanya, pasti di depan, semoga bukan baris pertama. Di kelasku ada peraturan, tiap Senin kami melakukan perputaran posisi. Jadi, tidak selamanya penghuni surga-orang yang duduk di pojok belakang-akan terus di sana, pun penghuni neraka-kursi tepat di depan meja guru-akan selalu kepanasan.

Perputaran tempat duduk ini diharapkan bisa lebih mengakrabkan kami, supaya saling membaur. Harapannya begitu. Namun, kenyataannya jauh berbeda. Geng pesohor-entah bagaimana caranya-selalu duduk di baris belakang. Aku yakin, mereka pasti curang. Kalau boleh milih, aku suka posisi saat ini. Baris keempat mepet tembok, pas banget untuk menyembunyikan diri.

Aku pernah duduk di depan guru pas, seminggu terasa seabad. Beneran! Mata tidak bisa meleng, tidak bisa ngobrol, tidak bisa nyontek, tidak bisa ngemil, tidak bisa tidur, bahkan mau nyelonjorin kaki ke samping pun tak bisa.

"Duduk di mana, Ga?" tanya May.

Kulirik kertas di tangannya, nomor 43. "Yah, kita nggak sebangku lagi. Aku di depan, May, baris kedua. Mendinglah timbang dapet neraka jahanam."

"Aku di belakang. Halah, palingan bentar lagi juga dituker sama Nisa," bisik May.

"Maksudmu?" Aku menatapnya bingung. Dituker sama Nisa?

"Lhah, kamu belum tahu kebiasaan si Princess sok cantik itu?" Aku menggeleng tak mengerti. "Kalau dapet kursi di depan, kan, dia pasti minta tuker sama anak lain. Tadi kayanya dia dapet empat belas."

"Apa?! Empat belas?" ulangku sembari melotot tak percaya. "May, pliiis ... tukeran sama Nisa, gih. Kumohooon ...," pintaku dengan melas. Kutangkup kedua bahu May, kuberi puppy eyes.

Bukannya terenyuh, May malah mengernyit menatapku. Jijik melihat kelakuanku mungkin. "Kenapa, tho?"

Aku memperlihatkan kertas undian tepat di depan matanya. "Aku tiga belas, May. Kiamat namanya kalau aku sampai sebangku sama Nisa. Ya, May, ya ...," bujukku lagi.

Kulihat May masih menimbang-nimbang permintaanku. Ya, aku maklum, dia dapet duduk yang strategis, berat juga kalau harus dituker dengan kursi panas.

"Yo wes." Senyum lebarku langsung mekar dengan indahnya. Kupeluk tubuh mungil May. Hidungku mengerut, membaui rambutnya yang agak apak. Ya, Tuhan ... sudah berapa dekade anak ini tidak keramas? Apa memang dia tidak kenal sama teknologi bernama sampo?

Kulepas pelukanku secepat mungkin. Pantas kadang-kadang aku mencium bau tak sedap. Kupikir ketek atau bajuku, ternyata rambut May.

"Ayo, cepet bilang ke Nisa." Kudorong tubuh May untuk mulai bernegosiasi dengan Nisa.

Aku tersenyum senang saat May mendekati Nisa. Kuikuti gerak-gerik May dengan ujung mataku. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, sesaat kulihat Nisa melirikku, tapi tak kupedulikan. Tak berapa lama, May bertukar kertas undian dengan Nisa. Yes! Aku bersorak girang. Semua berjalan lancar.

Terdengar bunyi bel masuk sebanyak tiga kali. Kuberesi seluruh barang yang ada di meja lamaku-hanya ada dua buah donat, sepotong bolu coklat dan sekantung keripik kentang-lalu memasukkannya ke tas sekolahku.

Kuangkat tubuh-dan tentunya bersama lusinan gajihnya-menuju kursi baruku. Seminggu ke depan aku harus bersabar untuk tidak tertidur di kelas. Jajanku pun harus tersimpan sampai bel istirahat. Padahal aku baru menggigit ujung kue boluku.

Aku berjongkok di belakang meja, mengintip ke dalam lacinya. Hanya mengecek kalau-kalau ada barang mencurigakan di sana. Bukannya parno, tapi aku pernah menemukan kondom di laci mejaku. Sudah terbuka pula. Membuatku memekik jijik.

OBSESSION (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang