Oktober 2016
Kupandangi kalender di depanku, tanganku membolak-balik dari bulan Januari sampai September. Kuamati lingkaran merah di tiap bulannya dengan kening berkerut. Ada yang salah dengan tubuhku. Januari aku 'dapat' tanggal tujuh, Februari-April aku kosong, Mei-Juni mundur di tanggal dua puluh, Juli tambah mundur lagi sampai akhir bulan, dari Agustus sampai sekarang aku belum juga 'dapat'. Ada apa sebenarnya? Normal apa tidak? Bagaimana kalau benar ada yang salah?
Mataku tertumbuk pada satu tanggal yang kuberi tanda tengkorak. Besok pagi, Rania dilamar Tian. Dan, keputusanku sudah bulat, aku tidak akan pulang ke Solo. Ibu menelepon hampir setiap hari, membujukku untuk pulang menghadiri acara lamaran Rania. Terkadang aku tak kuasa untuk menolak permintaan Ibu, tapi egoku terlalu tinggi. Aku belum siap untuk menghadapi keluarga besar. Aku belum siap dijadikan bahan pembicaraan.
Aku bukannya menduga-duga dan berpikiran buruk, tapi memang begitu kenyataan yang akan kualami di Solo. Desember tanggal lima belas besok, umurku genap duapuluh enam tahun, dan aku masih jomblo. Sedangkan Rania yang baru jalan duapuluh satu, sudah dilamar seorang dokter. Dia benar-benar dapat kartu bebas hambatan dari Tuhan, segala hal pasti menjadi mudah bagi Rania.
Aku memalingkan muka dari kalender laknat itu, semakin lama melihat gambar tengkorak, semakin membuatku sedih dan marah. Mataku menangkap pantulan seorang wanita gemuk, dengan perut buncit, lengan sebesar gebug maling, paha dan betis seperti pepaya Thailand, dan pipi tembam. Astaga!
Aku beringsut mendekati cermin yang menempel di dinding kamar. Apa-apaan ini? Kenapa aku gendut sekali? Kuraba perutku, terasa gumpalan lemak hingga bisa kucubit. Kuangkat lengan sebanyak 90°, terlihat kulit yang menggelambir.
Tidak mungkin! Apa saja yang kumakan selama ini? Kenapa tubuhku bisa melar?
Aku berjalan cepat ke arah kasur, berjongkok lalu menunduk untuk mengambil timbangan di kolong tempat tidur. Setelah kuteliti ketepatan letak awal jarum timbang, aku bergegas berdiri. Kuletakkan telapak kaki kananku di lempengan besi berjarum keparat. Sial! Baru satu kaki sudah gerak sebegini cepat. Kunaikkan sebelah kakiku, kemudian kuletakkan di samping pasangannya. Dah, sana jalan terus! Aku pasrah.
Mataku mendelik, saat jarum sialan itu berhenti di angka tigapuluh sembilan. Apa-apaan ini? Kenapa masih seberat ini? Kapan aku bisa jadi langsing? Kalau seperti ini terus, mana mungkin aku bisa tampil cantik?
Aku turun dari timbangan dengan hati dongkol. Kutendang si kotak besi ke dalam kolong, lalu kuhempaskan tubuhku ke atas kasur busa. Kuhentak-hentakkan kaki di atas kasur. Sebel!
Dadaku begitu sumpek. Rasanya pengin marah-marah. Aku menutup wajah dengan bantal untuk meredam teriakanku. Berteriak masuk ke dalam salah satu bentuk katarsis bukan, sih? Saat ini aku benar-benar butuh pelepasan akan ketegangan dan emosiku. Kalau tidak, dadaku tidak akan lega.
Aku berguling hingga tidur tengkurap. Kutekan wajahku ke kasur kuat-kuat lalu berteriak lagi. Aku menyumpah, menghujat dan ... menangis histeris.
Aku membayangkan besok siang, Rania tampil cantik dan memukau seluruh tamu undangan demi menyambut kedatangan Tian dan keluarganya. Aku bisa mereka rentetan peristiwa esok hari. Mulai dari sambutan dan berujung penyematan cincin di jari manis tangan kiri Rania. Aku pun bisa menggambarkan bagaimana suasana di rumah, pasti diliputi gelak tawa dan kebahagiaan.
Kenapa Ibu mengizinkan Tian melamar Rania? Apa Ibu tidak memikirkan perasaanku sebagai seorang kakak? Seharusnya aku dulu yang dilamar, tapi kenapa malah Rania?
Hanya karena alasan sudah pacaran terlalu lama dan takut zina, Rania berani melangkahiku. Dia yang goblok, memangnya seperti apa, sih, gaya pacaran mereka, sampai takut zina?
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
General FictionAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...