PART 21

808 86 16
                                    

September, 2016

Kusandarkan bahuku pada teralis jendela besar di lantai tiga yang menghadap ke jalan depan kantor, sembari bersedekap. Sudah tengah hari, tapi hawa dingin masih terasa. Padahal setahun lebih aku tinggal di Bandung, tapi masih juga belum terbiasa dengan hawa menusuk kulit.

Jalan di depan kantor terlihat lebih ramai dibanding hari kerja. Wajarlah, namanya juga Sabtu, banyak orang yang sengaja pergi ke kawasan Bukit Pakar Timur-Dago demi wisata kuliner atau sekadar melepas penat. Mungkin bagi sebagian orang menganggap letak kantor redaksi-yang merangkap produksi-Pilar Nusantara terbilang strategis, karena banyak rumah makan maupun kafe di sekitar sini. Namun, tidak bagiku. Tak pernah sekalipun aku mencicipi menu di berbagai restoran itu. Ke sana sih, pernah, tapi cuma menemani teman-teman kantor. Paling yang kupesan hanya jus buah non-sugar dan salad sayur.

Kebanyakan tempat makan di daerah sini, menawarkan kenyamanan dan pemandangan fantastis dari tempat masing-masing. Mereka benar-benar memanjakan tubuh, mata dan lidah pelanggan hingga para pelanggan pun tak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam. Sebenarnya bukan masalah juga buatku, toh itu uang-uang mereka. Terserah mereka mau menghamburkannya bagaimana.

Kurogoh ponsel dari kantong celana, kubuka grup Line anak-anak Pinus-sebutan kami untuk Pilar Nusantara. Aku tersenyum sendiri membaca kekonyolan mereka. Hari ini anak-anak redaksi berniat nonton bareng di Ciwalk XXI, katanya mumpung habis gajian. Dasar cari-cari alasan, habis gajian dari mana? Terima duit tanggal satu, ini sudah tanggal tujuh belas, harusnya ya sudah mepet. Dasarnya mereka yang pengin jalan-jalan, memangnya aku yang weekend begini masih saja lembur.

Bagi kami-yang bekerja di penerbitan-lembur adalah makanan sehari-hari. Kalau hanya masuk kerja di hari Sabtu, itu sudah biasa. Naskah siap edit sampai menggunung di meja juga pemandangan yang lumrah. Pulang kerja di atas pukul 20.00 pun tak jadi soal.

Namun, sepertinya Bu Sulis punya dendam kesumat denganku. Habisnya sepulang dari piknik, tiba-tiba pekerjaanku bertambah banyak, sedangkan Mbak Devi dan Titin-yang notabene satu divisi firstreader denganku-tidak serepot aku. Mereka masih bisa pulang pukul 17.00, mereka masih bisa libur di hari Sabtu bahkan nonton bareng, mereka masih bisa guyonan di tengah kesibukan. Lha, aku? Boro-boro ikut menggosip, ada waktu untuk mengambil napas saja sudah bersyukur. Entah apa yang telah kulakukan padanya, aku pun tak ingat.

Kuregangkan otot-otot bahu dan punggung dengan mengangkat tangan ke atas, menariknya ke kanan kiri dan belakang. Kugerakkan kepala memutar, untuk merilekskan otot leher yang kaku. Sedari pagi tadi, sudah dua naskah kubabat. Kucari letak kesalahan dan kekurangannya, tanpa harus mengedit, karena untuk pengeditan sudah ada divisinya sendiri.

Masih ada empat naskah lagi yang harus kuedit minggu ini, itu berarti jatuh temponya besok, yah maksimal Senin-lah. Eits, bukan berarti setelah itu aku tak lagi punya kerjaan, pasti Senin pagi Bu Sulis bakal meletakkan puluhan naskah lagi di mejaku.

Keningku berkerut saat melihat Honda Jazz putih memasuki pelataran kantor. Aku tahu betul siapa pemilik mobil satu itu. Apa ada yang ketinggalan di kantor? Tumben Sabtu-Sabtu ke sini.

Dari posisiku saat ini, aku bebas untuk memelototi pria di balik kemudi, tanpa harus takut kepergok, karena Aa' Pilar-dia, kan, yang menyuruhku memanggilnya begitu-tak mungkin melihatku.

Setelah memarkirkan kendaraan di bawah pohon mangga, kulihat pintu mobil terbuka. Wih, tumben banget dia cuma pake celana cargo pendek warna abu-abu tua dengan kaus polo warna senada, dan memakai sneaker putih. Jadi kaya anak muda. Cuma sayang, wajahnya itu datar. Jarang sekali dia memperlihatkan emosi, baik itu senang, marah atau sedih. Semua hal ditanggapi dengan biasa saja.

Selama aku mengenal Aa' Pilar, baru sekali melihat wajahnya penuh ekspresi, yaitu di bawah langit Bosscha. Di sanalah aku bisa melihat diri Aa' Pilar dengan jelas, sejelas aku melihat hamparan bintang di langit malam.

OBSESSION (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang