"Mbak Gaya, Mbak Airin, jajanannya Rania taruh di atas meja, ya." Rania masuk ke ruang riasku sambil menenteng tumpukan kardus snack.
"He-eh," jawabku sambil membuka mata yang tadinya memejam, saat Mbak Airin—perias pengantin yang meriasku hari ini—memoleskan eye shadow.
"Ibu mana, Dek?" tanyaku sembari kembali memejam, aku tidak mau wajahku jadi coreng-moreng.
"Ibu baru di depan nemuin Mas Candra."
Sontak aku menoleh demi melihat Rania sambil berkerenyit bingung. "Ada masalah sama kateringnya?" tanyaku was-was, sampai lupa kalau aku tengah dirias.
"Enggak, Mbak. Ibu cuma mau mastiin semua udah beres apa belum. Mumpung masih ada waktu tiga jam lagi, jadi kan kalau ada yang kurang masih bisa dibenerin. Eh, Mbak, aku keluar dulu, ya, mau nyiapin beskap untuk Mas Tian."
"Hem," gumamku seraya membetulkan posisi duduk, lalu kembali menyerahkan wajahku untuk dipoles Mbak Airin.
Tak terasa satu tahun sudah berlalu. Bulan-bulan penuh peluh dan air mata akhirnya berhasil kulalui. Perjuangan untuk membenahi pola pikirku hampir 100% berhasil. Kerja keras untuk menaikkan bobotku pun berbuah manis. Walau hingga saat ini beratku masih di angka empatpuluh tiga kilo—masih kurang jika menuju berat ideal—tapi bagiku merupakan kemajuan yang luar biasa.
Sekarang aku sudah tidak lagi mengonsumsi obat-obatan, aku juga sudah bisa kembali memakan makanan seimbang, dan yang paling penting adalah tubuhku sudah tidak lagi menolak nutrisi yang masuk.
Setahun aku berjuang melawan diriku sendiri, membunuh pikiran-pikiran menyesatkan akan arti sebuah kesempurnaan. Aku belajar tentang keikhlasan. Aku mengkaji perihal penerimaan diri. Dari hari ke hari Bu Rosita membimbingku untuk selalu bersyukur atas segala hal yang kumiliki, baik hal positif maupun negatif. Pun tentang kemungkinan terburuk yang harus kuhadapi jika pengobatan indung telurku tak membuahkan hasil.
Benar kata Bu Rosita, dukungan keluarga sangat berperan dalam kemajuanku. Ibu tak pernah lelah memberikan pelukan dan selalu menggandeng tanganku di saat kubutuh seseorang. Hubunganku dengan Rania juga mulai membaik. Sedikit demi sedikit mata hatiku terbuka, ternyata Rania tak seperti yang kubayangkan selama ini. Aku terlalu mendramatisir setiap permasalahan antara diriku dan Rania. Dan tentunya karena aku jarang—tidak pernah—berkomunikasi dengannya.
"Mbak Gaya, kita paes sekarang, ya. Ntar make-up-nya kita lanjutin kalau sanggulnya sudah terpasang."
Aku mengangguk, menuruti semua instruksi yang Mbak Airin berikan. Disuruh mendongak, ya, hayuk. Disuruh pejam, okelah. Disuruh nunduk, juga boleh. Disuruh diem jangan gerak, juga nurut. Yang penting hari ini, di hari bahagiaku, aku terlihat mangklingi.
Ya, hari bahagiaku. Hari di mana aku akan menjadi Nyonya Mahardika. Hari di mana Aa' Pilar mengucap kabul. Hari di mana aku memiliki tanggung jawab dan kewajiban sebagai seorang istri, bukan lagi sebagai anak.
Menikah. Sepenggal kata yang setahun lalu jauh dari anganku, setelah dokter memvonis kondisi indung telurku. Segala kerendahdirianku yang berujung pada penolakan dan pengusiran tak membuat Aa' gentar untuk tetap meminangku. Tak henti-hentinya Aa' selalu meyakinkanku atas kesediaannya menerimaku apa adanya. Bahkan jika kemungkinan terburuknya kami tidak bisa memiliki momongan pun dia tidak mempermasalahkannya.
Hingga kini pun di sudut hatiku terselip rasa tak rela jika harus menyeret lelaki baik itu dalam kumparan hidupku. Rasa bersalah terus menderaku. Berbagai pertanyaan yang diawalai dengan 'bagaimana jika' tak henti-hentinya bercokol dalam benakku.
Bukannya aku tak percaya pada janji yang Aa' ucapkan. Bukan karena itu. Namun, aku tak percaya pada diriku sendiri. Aku tidak yakin bisa berdiri tegak, membusungkan dada jika suatu waktu vonis itu benar-benar jatuh padaku. Aku pernah sekali jatuh pada pusaran keputusasaan yang menyesatkan. Bukan tidak mungkin jika aku kembali terperosok pada lubang yang sama. Walau sejauh ini Ibu, Aa', Rania dan Bu Rosita dengan sabar selalu membimbingku.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
General FictionAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...