Juli, 2008
"Gayaaaa ... kalau aku kangen gimana?" May memelukku erat. Kulihat setitik air menyembul di ujung matanya.
"Yaelah, May, malu di depan rumah peluk-pelukan kaya gini. Lagian aku cuma ke Jogja, nggak jauh. Kalau kangen, kan, kita bisa teleponan. Sekarang aku punya ponsel baru, ada MXIT-nya juga. Jadi, kita bisa chatting lewat ponsel," ucapku.
Pelukan May mulai mengendur, walau belum terlepas sempurna. Terus terang, aku cukup terkejut dengan sikap May. Kupikir pertemanan kami tak seberarti ini baginya, tapi aku salah.
Sejak dia mengetahui keputusanku untuk kuliah di Jogja, hampir setiap hari May ke rumahku. Entah hanya sekadar main atau menginap.
"Pokoke kamu jangan lupa sama aku, Ga!" May melepaskanku, lalu mengusap matanya yang sudah basah.
"Lhah, apa nggak salah? Kamu yang bakal lupa sama aku, May. Begitu kamu dapet gebetan, aku jamin namaku langsung kamu hapus dari kontak ponselmu," candaku.
May menjotos lenganku. "Halah, ngawur! Eh, Ga, tas cangklongmu mana?"
Aku mencari di tumpukan barang dekat kakiku, tapi tak juga kutemukan. "Apa masih di kamar, ya? Bentar, aku ambil dulu."
"Dah, aku aja. Sekalian mau ngambil tasku." May langsung berlari kecil ke dalam rumah.
Kupandang sekali lagi rumah bernomor 68 dengan pagar putih. Rumah yang selama delapan belas tahun menaungiku. Rumah yang mengenalkanku pada dunia. Rumah yang mengajariku arti kasih sayang. Rumah yang memberiku arti kehidupan. Namun, rumah ini pula yang menorehkan kenangan pahit.
Dadaku seketika menjadi sesak, saat mengingat kembali kilasan peristiwa selama empat bulan lalu. Saat di mana aku merasa tak lagi punya tempat istimewa di hati Bapak. Saat di mana segala hal yang kulakukan, selalu salah di mata Bapak. Saat di mana seluruh perhatian tercurah pada Rania.
Ya, keputusan untuk masuk ke bimbel yang sama dengan Rania, adalah kesalahan terbesar yang kulakukan. Aku semakin terperosok dalam bayang-bayang adik kandungku sendiri. Aku merasa iri dengan Rania. Aku kalah dalam segala hal.
Setiap hari, kuperas otak dan keringat demi mendapat nilai terbaik. Namun, segala perjuanganku seolah tak berarti, saat dengan mudahnya Rania mengungguliku. Di setiap tes uji coba, nilai Rania selalu menjadi peringkat atas. Sedangkan aku, tak pernah sekalipun menembus angka lima belas.
Seolah alam semesta sedang berkomplot mengujiku, tekad untuk olahraga dengan berjalan kaki ke tempat bimbel pun, seringkali terkendala hujan. Babu juga masih melarangku untuk berdiet, alhasil bobotku hanya bisa bertahan di angka 79 kilo.
Saat itu aku stres berat, aku memforsir tubuh dan pikiranku untuk belajar. Pagi, aku bangun pukul 03.00 demi belajar. Pulang sekolah, aku ikut bimbel. Selepas bimbel, aku masih mengulang pelajaran hingga pukul 22.00. Seluruh waktuku hanya untuk belajar, belajar dan belajar. Bahkan, koleksi komik dan novel terpaksa kukandangkan di bawah tempat tidur.
Kuakui, segala tuntutan Babu membuatku tertekan. Tak ada waktu bermain, tak ada waktu untuk bersantai. Semuanya kulakukan dalam ketegangan tingkat tinggi. Harapanku, kalaupun aku tidak bisa menjadi yang terunggul, minimal nilaiku di atas batas kelulusan.
Belum lagi keinginan untuk kurus yang tidak dapat kurealisasikan. Angan-angan memiliki tubuh langsing di malam kelulusan, hanya tinggal kenangan, tak mungkin dapat terwujud. Hal itu membuatku semakin kecewa. Dan, kekecewaan membuatku marah.
Sehingga apa pun yang kulakukan, tak ada yang maksimal. Hasil ujian akhirku pun hanya sekadar lulus. Tidak seperti Rania yang sangat memuaskan.
Berkali-kali Babu memuji Rania. Memang mereka tidak menyalahkanku, tapi mereka juga tak mengapresiasi hasil yang kudapat. Babu seolah berkata, "Oh, segitu." Sudah begitu saja. Kepercayaan diriku langsung terjun bebas, membuatku semakin kecil hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
General FictionAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...