Oktober, 2007
"Mbak Gaya, mandinya cepetan! Rania kebelet pup, nih!"
Aktivitas mandi yang tengah kulakukan, terpaksa terhenti di tengah jalan. Kesenanganku terganggu oleh teriakan si bawel Rania.
"Iya, sebentar! Tanggung!" jawabku sambil menggosok lagi daki di lutut dengan batu kali. Aku sengaja cuek, membiarkan Rania kelimpungan menahan isi perutnya agar tidak menyembur keluar. Ini kulit kenapa keras kepala benar? Masa sudah kugosok sampai lecet, masih juga belum mau berubah putih. Atau jangan-jangan memang kulit badak. Aku, kan, pengin punya lutut putih mulus kinclong kaya artis-artis di televisi.
Belum ada dua menit, pintu kembali digedor dari luar. Kali ini lebih dahsyat, disertai lengkingan cempreng menulikan telinga. Apa-apaan, sih, sabun di tubuhku belum juga dibilas."Cepet, Mbak! Mau keluar ini!"
Terdengar teriakan Rania lagi. Hilang sudah kesabaranku. Kubuka kunci pintu, lalu melongok dari celah pintu yang terbuka sedikit. "Apa? Mbak belum selesai, Ran!" bentakku sambil menunjuk lenganku yang masih penuh sabun.
Kulihat Rania merapatkan kedua pahanya, kedua tangannya memegangi bokong. Keringat sebesar biji kelengkeng menghiasi jidatnya. Matanya melotot, aku yakin dia juga menahan napas. Pipinya menggembung, hidungnya mengernyit. Kasihan juga.
"Cepet, Mbaaak," desisnya sambil menggoyang-goyangkan pantat.
"Bentar!" Aku meraih handuk motif Disney Princess sembari bersungut kesal. Masih banyak busa sabun yang menempel di badanku, belum sempat kubilas. Tidak apalah, nanti juga kering sendiri.
Aku membuka pintu kamar mandi dengan tubuh hanya berbalut handuk. "Kenapa nggak di depan? Mbak Gaya belum selesai mandi!" protesku kesal sembari berkacak pinggang.
Tubuhku sengaja menutupi jalan masuk ke kamar mandi, membuat Rania harus mengecilkan diri, menyelinap di celah bawah tanganku.
"Dipakai Bapak. Mbak Gaya jangan ngalangin jalan! Udah keluar di celana, nih!" Rania menyeruak masuk ke kamar mandi, lalu membanting pintu dari dalam."Ih, jijik. Jangan lupa cuci celanamu sendiri, Ran!" teriakku sambil menggedor pintu kamar mandi.
"Ono opo tho, Nduk? Isuk-isuk wes rame. Isin dirungokne tonggo." Ibu menegurku dari dalam dapur tanpa menoleh padaku. (Ada apa, Nak? Pagi-pagi sudah ramai. Malu didengar tetangga.)
Dapurku berada tepat di depan kamar mandi belakang. Membuatku dapat mengendus aroma yang sangat harum dari arah dapur. Tanpa dikomando, kakiku berjingkat ke pintu dapur. Meninggalkan jejak air di lantai. Aku melongok ke dalam. Menghirup bau sedap yang membuat air liurku berkumpul di dalam mulut.
"Masak apa, Bu? Baunya enak banget." Aku berjinjit dengan sebelah kaki-kaki kiriku masih terasa nyeri-demi melihat isi wajan yang tertutupi tubuh Ibu. "Wih, balado ikan gembung! Pantesan baunya semerbak mewangi!" pekikku girang.
Ibu menoleh sambil tersenyum. Wajah semringahnya sekonyong-konyong berganti pelototan. "Astaghfirullah, Mbak Gaya! Ganti baju dulu! Kamu itu sudah besar, apa ndak malu kalau dilihat orang?!"
Aku meringis, memamerkan gigi gingsulku-yang kata Ibu bikin senyumku tambah manis-sambil memegangi ujung handuk yang membelit tubuhku. "Baju dalem Gaya di kamar mandi, Bu. Tadi Gaya baru mandi, eh, Rania kebelet," ujarku membela diri.
"Badan sudah sebesar itu, tapi kelakuan isih koyo bocah cilik. Apa kamu ndak punya baju dalam lainnya?" Ibu geleng-geleng sambil memindai tubuh Gaya dari atas ke bawah. "Lihat itu, airnya masih netes-netes. Sabunnya juga belum hilang. Nanti kalau adekmu kepleset bagaimana?" (Masih seperti anak kecil)
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION (TAMAT)
General FictionAku bukan sampah! Aku juga bukan kotoran ayam yang bisa kalian injak seenaknya. Aku akan berubah. Namun, aku tak menyangka. Obsesiku akan kesempurnaan, menjerumuskanku dalam lingkaran setan yang berjudul anoreksia. Membuatku kehilangan segalanya. Se...