Hal yang paling memusingkan untuk gue akhir-akhir ini adalah tradisi kolot keluarga gue kalau laki-laki memiliki posisi yang dominan di atas perempuan.
Sebagai anak perempuan satu-satunya, tentu saja ini menjadi suatu masalah tersendiri untuk gue.
Posisi presiden direktur masih di isi oleh Ayah gue Jinendra Hermawan, tetapi posisi direktur utama diisi oleh om gue, Nara Hermawan, hanya karena dia laki-laki. Seharusnya gue yang berada di posisi itu untuk melangkah lebih dekat dengan posisi yang saat ini Ayah tempati.
Tetapi semua karena gue perempuan, koflik di keluarga gue untuk menempati posisi Ayah yang kesehatannya kadang naik turun itu semakin memanas. Gue bersaing sama om gue sendiri yang penuh rencana licik dan juga sama sepupu laki-laki gue, Kristofani Hermawan.
Kehadiran gue di dalam keluarga seperti tidak di harapkan. Ayah punya keinginan besar untuk memiliki seorang anak laki-laki, tetapi malah gue yang lahir.
Setelah melahirkan, Ibu gue Nuke Hermawan mengalami pendarahan hebat hingga rahimnya harus diangkat sehingga ia tidak bisa hamil lagi.
Meskipun sangat kecewa, Ayah adalah tipe orang setia. Jadi dia tidak memilih mencari jalan keluar lain untuk menikah lagi meskipun beliau sangat menginginkan anak laki-laki untuk menggantikan posisinya suatu saat nanti.
Perusahaan keluarga gue yang bergerak di bidang entertaiment ini di pimpin sama Ayah karena dia anak tertua di keluarga. Beliau sebentar lagi memilih untuk pensiun karena kondisi kesehatannya yang semakin tidak menentu.
Dan gue merasa sebagai orang yang paling berhak atas posisi yang Ayah tempati karena beliau udah membangun ini semua dari nol. Tapi om gue yang brengsek punya seribu cara licik untuk memonopoli kekayaan keluarga gue.
Telepon di ruangan gue berbunyi yang membuat gue menghentikan kegiatan gue memilah-milah proyek baru yang akan gue presentasikan di depan Ayah nanti.
"Halo?"
"Ke ruangan saya," suara Ayah terdengar dari seberang telepon.
"Baik pak," jawab gue dengan formal.
Gue pun melangkahkan kaki gue ke ruangan Ayah yang masih berada satu lantai dengan ruangan gue, dan di ruangannya sudah ada om gue yang sedang duduk santai sambil meminum kopinya.
Apalagi yang dia rencanain sekarang?!
"Ada yang bisa saya bantu presdir?" Tanya gue ke Ayah.
Gue tidak ingat kapan terakhir memanggil Ayah gue dengan panggilan normal sebagai ayah dan anak. Dari kecil gue sudah diajarkan untuk menghormati dia sebagai pemimpin perusahaan, bukan sebagai Ayah gue.
"Saya ingin mempercepat pengunduran diri saya," jawab Ayah gue yang membuat gue cukup terkejut.
Bukannya waktunya masih enam bulan lagi?!
"Kalau kamu masih menginginkan posisi ini, tunjukan semua kemampuan kamu dalam waktu tiga bulan. Saya akan melihat apakah kamu pantas mendapatkan posisi ini atau tidak." Kata Ayah gue dengan penuh keseriusan.
"Dan satu lagi ... "
Gue pun menantikan dengan harap-harap cemas kelanjutan kalimat yang Ayah lontarkan selanjutnya.
"... Kamu harus nikah."
Gue tahu cepat atau lambat topik ini akan diangkat, dan gue sudah mempersiapkan jawabannya.
"Saya merasa belum siap untuk menikah," jawab gue jujur.
"Kamu harus nikah, dimana-mana perusahaan itu dipimpin sama laki-laki. Bukan perempuan." Ucap om gue dengan nada menyindir yang sangat halus yang membuat gue kembali teringat akan kasta seorang laki-laki dan juga perempuan di keluarga gue berbeda.
"Saya udah menyiapkan calon untuk kamu, orangnya Handi." Kata Ayah dengan santainya, seolah pernikahan gue hanyalah sebuah formalitas belaka.
Handi?! Handi Danadyaksa Atmaja?! Dia itu temen deket om gue. Yang ada om gue akan semakin mudah menyingkirkan gue dari perusahaan ini kalau gue nikah sama Handi!
"Handi salah satu rekan bisnis kita, orangnya baik juga. Cocoklah untuk kamu yang keras kepala." Ucap om gue menimpali perkataan Ayah.
Sialan, dia udah mikirin rencana sampai sejauh itu ternyata untuk menyingkirkan gue dari sini.
"Saya gak mau menikah," desis gue tajam kearah om gue.
"Wah, sayang banget. Padahal ayah kamu udah susah-susah nyari calon untuk kamu," ujar om gue memanasi.
"Ini yang saya gak suka dari anak perempuan," timpal Ayah yang benar-benar melukai hati gue.
"Ayah!" Bentak gue tanpa sadar.
"Saya gak maksa kamu untuk menikah dengan Handi. Tapi di dalam persaingan bisnis kaya gini perempuan punya banyak titik kelemahan. Kamu seharusnya cari laki-laki yang memperkuat posisi kamu. Om kamu udah baik hati merekomendasikan Handi. Seharusnya kamu berterimakasih."
See? Om gue yang mengatur semuanya! Bukan Ayah gue!
"Aku bisa cari suami sendiri, Ayah. Tanpa bantuan siapapun." Jawab gue.
"Gak ada laki-laki yang tahan sama semua kekeras kepalaan kamu itu," kata om gue dengan seringai menyebalkannya.
Semakin lama gue disini, emosi gue akan semakin tidak terkontrol di depan Ayah. Gue gak boleh terpancing.
"Saya undur diri," ucap gue sebelum meninggalkan ruangan Ayah gue dengan perasaan kesal.
Disaat gue mematangkan proyek gue untuk diakui dan dilihat oleh Ayah, om gue malah menggulirkan bola panas tentang topik tradisi kolot keluarga gue bahwa posisi laki-laki itu di atas perempuan dengan mengangkat topik pernikahan.
Gue pusing!
Suara ketukan pintu membuat gue kembali tersadar dari lamunan gue akan masalah ini.
"Masuk."
"Permisi bu, saya ingin menyampaikan berita kalau perusahaan kita digugat sama salah satu pemeran pengganti yang mengalami kecelakaan kerja di lokasi syuting minggu kemarin."
Suara Barri Aksa Abimanyu, asisten gue membuat kepala gue semakin berdenyut nyeri.
"Bukannya biaya ganti rugi udah dikirim lewat produser filmnya?!" Tanya gue dengan nada yang cukup tinggi.
"Produsernya kabur dan gak ngasih apapun, jadi si pemain pengganti ini nuntut perusahaan kita."
"AAAA Nara Hermawan brengsek!" Teriak gue frustasi.
"Heh! Mulut lo! Gue udah sopan-sopan lapor sama lo, lonya malah gitu." Ucap Barri sambil menghampiri gue.
Ya, Barri memang jarang bersikap formal sama gue. Biasanya cuma di awal pertemuan kami untuk mengecek apakah kondisi mood gue baik atau enggak.
Dia asisten yang paling pengertian yang gue punya, dan dia juga satu-satunya temen yang gue punya.
"Gue disuruh nikah, Bar..." ujar gue frustasi.
"Sama siapa?! Emang ada yang mau sama orang kaya lo?" Tanya Barri sedikit terkejut.
"Bokap gue nyuruhnya sama Handi." Jawab gue.
"Wih, ganteng tuh lumayan lah. Kenapa gak di iyain aja?" Tanya Barri .
"Dia bukan orang baik!"
"Terus mau lo gimana?" Tanya Barri bingung.
"Gue akan cari orang lain."
"Siapa yang mau sama cewek keras kepala yang gak punya hati kaya lo? Cowok juga pada kabur kalau liat lo, Gita."
"BARRI LO MAU GUE PECAT?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] Dua Sisi
General FictionUntuk saat ini keduanya mungkin tidak menyadari telah berperan terlalu jauh dalam kehidupan masing-masing. Kita tidak tahu siapa saja pemeran utama di dalam kehidupan kita selain diri kita, yang mungkin bisa muncul kapan saja di sepanjang kehidupan...