○ tujuh belas

19.8K 3.8K 237
                                    

Rey's POV

Gue masih memperhatikan dia yang sedang mengusap nisan di makam itu dengan pandangan yang begitu sedih dan juga ... terluka. Kalau waktu berdebat dengan ayahnya kemarin wajahnya lebih mengisyaratkan emosi dan juga amarah, sekarang gue bisa melihat dia yang kelihatan sedih dan begitu kehilangan.

Tidak lama gue melihat dia mengusap air mata yang mengalir di pipinya dan mencium batu nisan itu. Setelahnya dia pergi yang membuat gue segera menyembunyikan badan gue di balik pohon. Perempuan itu sepertu teka teki tersendiri untuk gue, gue tidak bisa menilai dia berada di sisi putih atau hitam. Segalanya masih abu-abu untuk gue.

Gue masih terus memperhatikan dia yang mulai menghilang dari balik pepohonan yang menaungi anak tangga untuk akses antara pemakaman dan juga tempat parkir. Dan di saat gue melihat kembali makam yang perempuan itu kunjungi, ada seorang pria berbadan tegap, berkulit putih dengan postur tinggi membawa buket berbagai macam bunga berwarna putih.

Pria itu lalu menaruh buket bunga itu di dekat batu nisan di sebelah bunga Lily yang perempuan tadi bawa. Karena rasa penasaran, gue pun menghampiri pria yang sedang menaruh bunga itu.

"Kalau boleh tau, siapa orang yang dimakamkan disini?"

"Andra, saudara kembar saya." Jawab pria itu.

****

Gita's POV

Gue menghabiskan akhir minggu ini dengan berbelanja. Karena pakaian yang Barri beli untuk Rey tidak terlalu banyak jadi dia memakai baju yang itu-itu saja.

Gue bosan melihatnya jadi gue memutuskan untuk membeli beberapa potong pakaian untuk dia, tentunya yang sesuai dengan selera gue. Gue juga membeli dua buah jas untuk dia, suapaya nanti kalau ada acara resmi dia tidak kelihatan pakai jas yang itu-itu saja. Tidak lupa gue juga membelikan sepatu untuk dia.

Gue mendapatkan semua informasi ukuran tubuh Rey dari Barri. Barri dengan kurang ajarnya mengirim semua informasi, termasuk sampai ukuran dalamannya yang membuat gue rasanya ingin marah saja.

Tapi memang dasar Barri, dia tidak mau disalahkan karena gue meminta ke dia semua informasi ukuran tubuh Rey. Menurut dia itu termasuk dalamannya.Terserah Barri dengan pemikiran sesatnya, saat gue memarahinya dia malah bilang kalau tidak ada salahnya untuk tahu ukuran daleman suami sendiri.

Percakapan selain pekerjaan dengan Barri memang hanya akan membuat emosi gue naik dan bisa memicu darah tinggi. Jadi gue memilih mengabaikan Barri yang mempunyai pemikiran sedikit melenceng. Untuk kebutuhan makan dan pakaian Rey, gue jelas harus menjamin itu. Karena bagaimanapun juga kalau penampilan dia buruk ujung-ujungnya nama gue yang tidak bagus.

Setelah berbelanja, gue pun memilih untuk menelepon dia untuk menanyakan apa makanan yang dia inginkan sekarang.

"Halo?" Suara dia di sebrang sana terdengar lembut.

Ya, suara dia memang bagus, beberapakali gue mendengar dia bersenandung saat di kamar mandi jadi gue tahu.

"Mau makan apa siang ini?" Tanya gue.

Sempat terjadi keheningan,yang membuat gue mengetukan jari telunjuk gue di ponsel yang sedang berada di telinga gue.

"Masakan rumah," jawab dia yang membuat gue mendengus geli.

"Gue di mall, rata-rata disini restaurant cepat saji, kalaupun yang masak disini pasti lama nunggunya. Time is money, gue gak mau membuang waktu gue hanya untuk menunggu makanan."

"Beli aja bahan makanannya, kita masak di rumah," jawab dia enteng.

"Are you kidding me?! Gue bahkan gak inget kapan terakhir kali menyentuh dapur!"

"Lo gak akan nyesel kalau masak sendiri, lebih sehat juga kan?"

"Rey please... masih banyak kerjaan gue dibandingkan harus masak di dapur."

"Just be my assistant, i'm main chef today."

Setelahnya Rey memutuskan sambungan telepon begitu saja.

Tidak lama kemudian gue mendapatkan pesan beberapa bahan makanan yang harus gue beli dan Rey menyertakan foot note kalau semua itu bisa di dapatkan di supermarket atau mall, jadi tidak ada alasan gue untuk bilang tidak bisa.

Pada akhinya gue mengalah dan membeli bahan makanan yang dia pesan. Dan di saat sampai apartemen, gue melihat dia sedang tiduran di sofa sambil menonton tv dengan sekaleng susu steril di tangannya.

Begitu melihat gue, dia cuma memandang gue tanpa berinisiatif membantu gue yang penuh dengan belanjaan di tangan kanan dan kiri. Gue pun membanting semua barang bawaan gue dan memandang kesal ke arahnya.

"Siapa yang hajatan? Banyak amat lo belanja?" Tanya Rey heran.

"Buat lo! Gue bosen liat lo pake baju yang itu lagi itu lagi!" Umpat gue kesal.

Setelahnya dia beranjak ke arah gue dan mengambil bahan makanan yang dia pesan, lalu dia menarik gue ke dapur.

"Gue capek Rey," kata gue mencoba mengelak.

Tapi Rey malah memakaikan gue apron, dan mengangkat rambut gue yang terkena tali apron. Dia juga mengikat tali apron di belakang tubuh gue. Dan setelahnya dia juga menggulung lengan baju gue yang cukup panjang ini.

"Iket rambut lo, gue gak mau makanannya tercampur sama rambut lo nanti," kata Rey sambil memakai apronnya.

Gue cuma mendengus kesal karena masih merasa capek setelah berbelanja cukup banyak tadi, ditambah dia yang tidak peka untuk membawa barang yang ada di tangan gue.

Rey berdecak melihat gue yang masih diam saja tidak bergerak seperti patung. Dia tiba-tiba membuka tali pita yang gue pakai sebagai aksesoris di kerah kemeja gue dan menggunakan tali itu sebagai pengikat rambut gue.

"Let's start!"

[Sudah Terbit] Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang