○sembilan belas

19.6K 3.6K 107
                                    

Gita's POV

Gue sekarang lagi memilah berkas yang Barri sudah kerjakan untuk gue, semua berjalan tenang sampai suara khas Barri mengganggu indera pendengaran gue.

"Suami lo nanya-nanya tentang lo kemaren ke gue."

Gue menyeritkan alis gue heran, Rey? Untuk apa dia nanya-nanya tentang gue ke Barri?

"Nanya-nanya tentang?" Tanya gue mencoba terlihat acuh.

"Apa hubungan lo sama pacar dia," kata Barri yang membuat gue melirik tajam ke arahnya.

"Eh iya mantan pacar maksudnya," ralat Barri sambil menepuk bibirnya.

Gue tidak mempermasalahkan status Rey dengan Jasmine yang Barri sebut. Tapi kenapa Rey penasaran dengan hal itu, bahkan sampai bertanya kepada Barri segala.

"Terus lo jawab apa?" Tanya gue dengan nada sedikit menuntut.

"Gue jawab gue gak begitu tau masa lalu lo sebelum jadi asisten lo," jawab Barri .

Gue mendengus lega karena Barri tidak berbicara lebih jauh. Dia memang cukup loyal sama gue. Om gue saja berkali-kali mengorek informasi dari dia, tapi untungnya dia tidak ember soal rahasia yang benar-benar rahasia.

Percakapan kami terhenti karena suara telepon ruangan gue yang berbunyi, tanpa menunggu waktu lama Barri segera mengangkat telepon itu. Setelah melakukan beberapa percakapan singkat, Barri pun menutup panggilan itu.

"Presdir manggil lo ke ruangannya," kata Barri yang membuat gue mendengus frustasi.

Kalau gue ke ruangan Ayah, pasti ada sesuatu yang tidak bagus untuk gue. Karena selama ini kalau kerja gue bagus gue tidak akan dapat pujian atau sanjungan. Tapi sekalinya gue salah gue pasti akan di sidang di ruangannya.

"Semangat ya Git," kata Barri dengan senyuman penuh simpati di bibirnya.

"Sediain gue es kopi Bar, kayanya gue bakal butuh. Gue keruangan bokap gue dulu." Kata gue yang di respon anggukan oleh Barri .

Gue pun mengetuk pintu ruangan Ayah dan masuk ke dalam ruangannya. Lagi-lagi gue menemukan om gue yang tersenyum begitu melihat gue. Senyum yang penuh tanda tanya untuk gue.

"Ada yang bisa saya bantu, Presdir?" Tanya gue ke Ayah yang sedang memegang tabletnya.

"Om kamu mau ngomong," kata Ayah datar.

Gue cuma bisa menahan rasa kesal di dalam hati gue. Om gue tahu kalau dia manggil gue ke ruangannya gue tidak akan mau, pasti gue akan menyuruh Barri yang pergi. Tapi kali ini kenapa?

"Ini om kasih paket honeymoon trip selama satu minggu. Dimulai dari hari senin minggu depan."

Ucapan om gue barusan menjelaskan semua pertanyaan di benak gue.

"Tapi minggu depan kan jadwal pemaparan proyek baru?" Ucap gue dengan nada tidak suka yang cukup kentara ke arah om gue.

"Kerjaan kamu bisa ditunda, bukannya honeymoon lebih penting?" kata om gue dengan senyumannya, kemudian ia menyesap kopinya sambil menatap gue dengan tatapan liciknya.

Sialan. Dia menghalangi langkah gue dengan modus hadiah pernikahan seperti ini.

Gue tidak habis pikir dengan isi otak om gue yang penuh dengan cara licik nan halus yang membuat dia terkesan baik di depan orangtua gue.

"Terimakasih atas kepedulian om tapi saya gak akan mau berangkat," kata gue dengan nada penuh keyakinan.

"Kamu gak bisa menghargai pemberian orang?" Ayah gue mulai mengeluarkan suara dengan nada menusuknya.

"Aku gak butuh pemberian apapun!" Ucap gue dengan nada cukup tinggi.

Proyek yang gue udah persiapkan secara matang selama tiga bulan terakhir, yang membuat gue harus tumbang seminggu menjelang pernikahan gue masa harus terlewat begitu saja cuma karena honeymoon trip tidak masuk akal yang om gue kasih sebagai hadiah pernikahan.

Lagian gue hanya menikah kontrak, buat apa juga gue melakukan honeymoon trip?

"Seharusnya kamu berterimakasih karena om kamu udah ngasih hadiah pernikahan untuk kamu, lagipula surat cuti udah di urus."

"Ayah!" Bentak gue ke ayah gue.

Sekarang air mata gue sudah menetes tanpa bisa gue cegah. Gue tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Pemaparan proyek ini akan di lihat banyak orang. Dan ini salah satu batu loncatan untuk gue mendapatkan posisi Ayah sekarang.

Om gue melemparkan dua buah tiket pesawat dengan tujuan Italia di meja depannya yang membuat gue tersenyum sinis.

Sebanyak itu uang yang dia keluarkan hanya untuk menjegal langkah gue?

"Om udah siapin tiket pulang pergi, akomodasi hotel, dan juga jadwal trip dan pemandu wisata disana. Maaf kalau om baru ngasih kado pernikahan kamu sekarang karena kerjaan om sedikit menumpuk pas kamu nikah kemarin," kata om gue yang membuat gue merasa semakin muak.

Pekerjaan gue memang beberapa di lemparkan ke dia, tapi tidak banyak. Sebegitu merasa berjasanya kah dia?

"Aku gak mau berangkat."

"Tapi suami kamu udah setuju," kata Ayah yang membuat gue gak bisa menyembunyikan keterkejutan gue.

"Dimana-mana istri ikut keputusan suami, sesuai ajaran kakek kamu," kata om gue dengan senyum penuh kemenangan.

Rey brengsek! Kenapa gak nanya gue dulu sih?!

[Sudah Terbit] Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang