Gue menarik Kris untuk pergi ke arah toilet restaurant dan meninggalkan pacarnya bersama Rey.
"Ngapain lo disini?" Tanya gue dengan nada yang cukup menusuk.
"Liburan," jawab Kris enteng.
Liburan katanya?! Di saat ada pemaparan proyek penting yang bisa mempengaruhi kedudukan dia di perusahaan dia bisa dengan santainya liburan?
"Gue milih untuk nyusul lo kesini dibanding ikut pemaparan proyek."
"Kenapa?"
"Karena gue gak pernah berambisi untuk berada di kursi presdir, lo tau itu." jawab dia.
Kris selalu ngomong seperti ini, yang membuat gue semakin ragu akan penilaian gue setiap harinya sama dia.
Dia selalu jadi pion ayahnya untuk menghalangi langkah gue. Tapi Kris selalu bilang kalau dia sama sekali tidak mempunyai ambisi atas perusahaan.
"Gak usah pura-pura baik," kata gue ketus.
Tidak lama gue ngerasa sebuah tangan melingkar di pinggang gue, dan Rey sudah ada di samping gue, menatap kearah Kris dengan pandangan tegasnya.
"Aku takut kamu pingsan di toilet, jadi aku susul," Kata Rey yang membuat gue melotot gak percaya.
KAMU?!
Gue melihat dia senyum meringis kearah gue sambil melirik kecil kearah Kris yang membuat gue mengerti situasi. Ini lagi akting, jadi gue lebih merapatkan tubuh gue ke arah Rey supaya terlihat lebih mesra.
"Aku udah selesai kok, ayo balik lagi," kata gue sambil mengajak Rey untuk pergi.
Di saat gue sampai ke meja gue lagi, keadaan sudah berubah menjadi ramai. Gue bisa melihat Park Jevera sama pacarnya Adsila adik Handi, Jeane pacar Kris dan dua orang lagi yang tidak gue kenal.
"Boleh makan malem bareng?" Kata Jeane dengan senyumannya. Oke gue memang punya masalah sama sepupu gue tapi gue tidak pernah bermasalah sama pacarnya, gue jadi bingung mau jawab apa.
"Boleh," timpal Rey lagi-lagi tanpa persetujuan gue.
What?!
Ini orang sepertinya harus gue beri pelajaran.
Gue pun pada akhirnya hanya bisa menuruti dia karena dia berbisik di telinga gue, "sayang makanan kita belom abis, mahal juga kan harganya."
Mau dia makan malam seperti ini selama sebulan penuh pun gue enggak masalah! Kenapa suami gue norak banget sih?!
Setelah kenalan dengan Adsila dan Rania dan juga Aksel gue pun mencoba kembali menikmati makanan gue.
"Lagi honeymoon ya?" Tanya Aksel yang membuat gue dan Rey mengangguk kompak.
"Kalau kalian?" Tanya gue.
"Liburan, sekalian urusan kerja sih," jawab Adsila. Gue hanya menganggukan kepala gue sebagai respon mengiyakan. Setelahnya Rey yang banyak terlarut dalam percakapan bersama mereka.
"Oh iya Git, gue kira lo udah gila mau beli kafe bobrok itu dengan harga yang cukup tinggi. Tapi makin kesini prospeknya ternyata makin bagus. Lo bisa ngeramal ya?" tanya Jevera sambil tertawa.
Gue bisa melihat kunyahan Rey terhenti dan melihat ke arah gue seolah meminta penjelasan, gue pun mengarahkan pandangan gue ke arah lain untuk menghindari tatapannya. Tetapi mata gue malah bersibobrok dengan Kris yang melihat gue dengan pandangan penasaran.
"Kafe apa Jev?" Tanya Kris yang semakin membuat tenggorokan gue kering. Gue takut dia akan curiga dan membongkar semuanya.
"Kafe kecil gitu, tadinya mau gue gusur tapi yang punya tetep gak mau ngelepasin sampe ada sengketa lahan. Dia punya bukti jual beli tanah itu, tapi gak punya sertifikat tanahnya. Nah, sepupu lo ngebeli kafe itu dengan harga tinggi ke gue. Gak tau kenapa." Jelas Jevera
Gue udah mulai merasakan aura-aura tidak enak dari samping gue yang berasal dari Rey, bisa-bisa gue di wawancara nanti saat sampai kamar.
"Kami duluan ya," kata Rey sambil mengangkat tangan gue untuk berdiri.
"Dia belum selesai makan," kata Kris dengan pandangan yang cukup kesal ke arah Rey.
"Wajar kali yang namanya pengantin baru bawaannya mau ngamar terus," kata Jeane sambil melirik kearah gue dengan tatapan meledeknya.
"Iya kak Kris jangan dilarang, siapa tau cepet punya keponakan nanti," kali ini Rania yang ikutan meledek.
"Ditunggu kabar baiknya ya!" Kata Adsila sambil melambaikan tangannya ke gue. Sedangkan gue hanya memaksakan senyum gue agar terlihat alami.
Perjalanan pulang hanya ada keheningan, tidak ada komentar dari Rey tentang bangunan atau bahkan lampu unik yang kami temui sepanjang jalan saat berangkat tadi. Dia berubah menjadi pendiam.
Sesensitif itukah topik Jasmine untuk dia?
"Apa maksud Jevera tadi?" Tanya Rey dengan nada tidak enak ke gue.
"Lo kuliah bisnis kan? Belajar tentang investasi? Itulah yang gue lakukan," jawab gue selogis mungkin.
"Investasi? Dengan kemungkinan bangkrut yang tinggi? Tch. Jangan bercanda!"
Brengsek! ternyata dia cukup pintar untuk urusan seperti ini.
"Jelasin ke gue apa tujuan lo membeli kafe Jasmine," kata dia sambil menatap gue dengan intens yang membuat gue merasa gugup.
Sial! Kenapa matanya terasa begitu mengintimidasi sekarang?
"Lo gak perlu tau."
"Gue perlu tau karena itu menyangkut gue juga!"
"Lo bukan siapa-siapa, jadi lo gak berhak tau!" Gue tidak sadar sudah menggunakan nada tinggi, gue merasa terjepit sekarang karena langkah Rey yang semakin mendekat.
"Gue suami lo!" Bentak dia yang cukup membuat gue terkejut.
"Jangan ngerasa karena status lo sekarang lo bisa ngatur gue ya! lo lupa perjanjian yang lo udah tanda tanganin?!" Tanya gue.
"Surat perjanjian itu gak ada disini," kata Rey.
Gue pun memundurkan badan gue karena jarak dia yang semakin menipis dengan gue.
"Perjanjian tetep perjanjian." kata gue dengan nada tidak ingin dibantah.
Gue tidak menyangka Rey malah menarik tangan gue dan melempar tubuh gue ke kasur.
Sialan. Ini orang kenapa sih?!
Gue mencoba membringsut mundur, tapi Rey malah menarik kaki gue yang membuat gue tidak bisa bergerak menjauh, malah cendrung mendekat kearah dia.
Brengsek! Gue tidak suka kalau laki-laki menggunakan kekuatan fisiknya hanya untuk mendominasi seorang perempuan. Gue terisak pelan yang membuat Rey melepaskan pegangannya di kaki gue.
Gue bisa melihat raut wajah Rey langsung berubah menjadi panik saat melihat gue menangis.
"Lo apa-apaan sih?!" Teriak gue.
"Bantuin gue kerjain tugas kuliah gue," kata dia dengan gugup setelah berdeham beberapakali.
GUE KESEL BANGET SAMA DIA!
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] Dua Sisi
General FictionUntuk saat ini keduanya mungkin tidak menyadari telah berperan terlalu jauh dalam kehidupan masing-masing. Kita tidak tahu siapa saja pemeran utama di dalam kehidupan kita selain diri kita, yang mungkin bisa muncul kapan saja di sepanjang kehidupan...