Rey's POV
Selama dia menyiapkan pernikahan kami gue hanya sibuk kuliah online di apartemennya. Gue juga banyak membaca buku-buku tentang bisnis koleksi dia. Satu ruangan yang bisa dijadikan dua kamar ini malah dijadikan perpustakaan oleh dia, makanya gue tidak dapat jatah kamar dan harus tidur sama dia. Meskipun risih pada awalnya, sekarang gue sudah mulai terbiasa untuk tidur bersama dia.
Semenjak kejadian sepupunya kesini waktu itu semuanya berubah, dia menjadi lebih menjaga jarak sama gue. Berbicara pun seperlunya, tidak seperti sebelumnya yang selalu mengajak gue berdebat.
Dia lebih sering menghabiskan waktunya di kantor dan pulang kalau sudah larut malam. Gue baru melihat perempuan yang begitu gigih dan pekerja keras sampe segitunya.
Bahkan sampai semua pekerjaan dan persiapan pernikahan dia yang mengurusnya sendiri.Dengan segala sifat keperfeksionisan yang dia punya, segalanya di buat jadi ribet menurut gue. Ini cuma pura-pura kan? Tapi dia kenapa sampai sebegitunya banget? Dia memilih semua yang terbaik menurut dia.
Apalah arti sebuah pesta pernikahan yang meriah dan juga bagus tanpa ada nilai kesakralan di dalamnya? Semua itu percuma menurut gue.
Setiap malam gue bisa melihat kerutan di dahinya meskipun dia sedang tidur. Meski sedang tidur sepertinya dia banyak pikiran.Kantung matanya pun terlihat semakin pekat setiap harinya, hal itu membuat gue juga merasa bersalah karena gue tidak bisa membantu apa-apa.
Malam ini gue melihat dia pulang kantor dengan wajah yang jauh lebih lusuh dari biasanya.
"Semua persiapan udah siap, kita nikah seminggu lagi," kata dia dengan suara yang sengau. Sepertinya dia sedang pilek.
"Ini makanan buat lo," kata dia sambil memberikan bungkusan makanan ke gue. Kalau biasanya dia memberi dua bungkus kali ini dia hanya memberi satu.
"Lo gak makan?" Tanya gue yang dia jawab dengan gelengan.
"Gue gak laper," jawab dia.
Gue pun mengambil bungkusan makanan di tangannya dan memakan makanan itu.
Saat gue masuk kamar, dia sudah tidur dengan seluruh badannya sudah dikerubungi selimut, gue bahkan tidak disisakan selimut sama dia.
Gue mencoba untuk tidur, tapi gue terganggu dengan suara lenguhan dia yang sepertinya sedang kesakitan. Gue pun mengecek suhu badannya yang terasa panas, tetapi badannya mengigil.
Gue tidak pernah menghadapi orang sakit sebelumnya jadi gue bingung harus bagaimana.Gue pun mencari apa yang harus gue lakukan di mesin pencarian, kompres air hangat dan banyak minum air putih adalah hal yang paling sering disarankan.Gue pun mengambil kompresan dan mencoba mengompres dahinya dengan air hangat. Tidak banyak perubahan yang berarti, dia masih menggigil.
"Kepala batu banget sih, gak bisa apa gak forsir diri sendiri?" Gumam gue yang tidak direspon olehnya.
Gue pun nepuk-nepuk pipinya dan mencoba membuat dia sadar. "Git? Lo bisa denger suara gue? Hei!"
Gue tidak dapat respon omongan, tapi anggukan dia menandakan kalau dia masih sadar.
"Gue gak bisa gendong lo, karena tangan gue udah gak bisa berfungsi kaya dulu, mau gue telepon ambulance?" Gue bisa melihat dia menggelengkan kepalanya sebagai respon omongan gue.
"Lo gak mau ke rumah sakit?" Tanya gue. Gelengan kepala dia menjadi jawaban tidak untuk gue.
"Ada yang lo rasain?" Tanya gue ke dia.
"Dingin," jawab dia lirih.
Gue pun mematikan pendingin ruangan dan mengeratkan selimut ke tubuhnya.
Gila badannya panas banget!
"Masih dingin?" Tanya gue yang dijawab anggukan sama dia.
Gue bingung harus ngapain sekarang! Dia semakin menggigil, dan mukanya semakin pucat.
Kalo dia mati gimana?!
Gue pun masuk ke dalam selimut dan membawa dia ke pelukan gue. Dia menyamankan posisinya di pelukan gue, dan menaruh kepalanya di perpotongan bahu gue.
Jasmine maafin aku..
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] Dua Sisi
General FictionUntuk saat ini keduanya mungkin tidak menyadari telah berperan terlalu jauh dalam kehidupan masing-masing. Kita tidak tahu siapa saja pemeran utama di dalam kehidupan kita selain diri kita, yang mungkin bisa muncul kapan saja di sepanjang kehidupan...