○ delapan belas

19.9K 3.8K 165
                                    

Gue merasa malu melihat Rey yang jauh lebih fasih megang pisau dari pada gue. Gue di suruh memotong bawang bombay sama dia saja tidak selesai-selesai. Yang ada gue malah ingusan.

Dia cuma menggelengkan kepalanya saat melihat gue dan mengambil tisu untuk mengelap hidung gue.

"Lo gak jijik?" Tanya gue yang di jawab gelengan sama dia.

"Gue lebih jijik kalau ingus lo jatoh dan kena bawangnya."

Hhhhhhhhh... mau marah, tapi dia bener.

Pada akhirnya gue meneruskan kegiatan gue lagi sementara dia berdiri dengan kedua tangan bersidekap di depan dada dan melihat gue yang sedang memotong bawang bombay.

"Kok lo nonton doang sih? Mending bantuin," protes gue.

"Belajar, jangan dipake buat ngurus berkas doang itu tangan..."

"Gue masak gak ngehasilin uang, beda kalau gue kerja."

"Di otak lo cuma ada uang? Lo kan udah kaya," tanya dia heran, seperti tidak habis pikir sama kelakuan gue.

"Tujuan gue bukan untuk menjadi kaya sebenernya..."

"Terus?" Tanya dia.

"Untuk di-AWWWH!"

Tangan gue berdarah karena kena pisau yang membuat gue meringis perih, Rey langsung sigap narik tangan gue dan membawa gue ke arah wastafel. Dia menyalakan keran air yang langsung mengenai luka gue, gue pun berjengit karena rasa sakit dan juga perih yang datang saat air itu mengenai luka gue.

"Dasar ceroboh," kata dia sambil mematikan keran air. Tapi darah gue ternyata tidak berhenti mengalir.

"Udah gue bilang gue gak suka mas-" ucapan gue terhenti saat Rey membawa jari telunjuk gue yang terluka kearah mulutnya, dan dia menghisap luka gue. Setelah cukup lama dia membuang ludahnya yang tercampur dengan darah gue di wastafel. Ajaibnya darah gue tidak mengalir sebanyak sebelumnya.

Gue masih termangu di tempat gue, bahkan tanpa menyadari kalau Rey sudah pergi dari hadapan gue. Tidak lama dia datang dengan plester di tangannya dan memakaikannya di jari gue.

"Biar gue aja yang nerusin," kata dia sambil mengamil alih bawang bombay yang gue potong.

Gue masih terdiam dan memperhatikan tangannya yang cekatan dalam memotong bahan-bahan yang akan di olah.

"Udah selesai, ayo masak," ajak Rey yang gue jawab dengan anggukan.

Rey lalu menyalakan kompor dan menaruh wajan di atasnya, setelahnya dia menuangkan sedikit minyak diatas wajan itu. Setelah selesai, dia menarik gue untuk ke depan wajan itu.

"lo yang masak," titahnya yang bikin gue melotot.

"Lo gila?! Gue motong-motong aja udah ngorbanin tangan gue. Ntar ini apa yang dikorbanin?" Tanya gue sedikit histeris.

Tapi Rey malah mengambil tangan gue dan membuat tangan gue mengambil bawang putih yang udah dicincang, dan dia masukan bawang putih yang ada di tangan gue itu ke dalam wajan.

Setelahnya Rey cuma menunjuk bahan-bahan apa aja yang harus gue masukan, dan gue cuma menuruti apa yang dia katakan.

Gue bingung kenapa gue mau, tapi gue merasa rasa penat gue sedikit terobati untuk saat ini.

"Kalau kaya gitu bumbunya gak bakal aduk, kaya gini yang bener," kata Rey sambil membimbing tangan gue yang sedang memegang sodet diatas wajan.

Kini posisinya dia berada di belakang gue yang membuat gue merasa seperti di peluk dari belakang.Gue menggelengkan kepala gue untuk mengusir pemikiran aneh yang baru saja lewat di benak gue.

"Lo kenapa?!" Tanya Rey yang membuat gue sedikit berjengit. Dia ngomong di kuping gue yang membuat gue kaget.

"Jangan suka ngagetin, kalau gue numpahin isi wajan ke muka lo nanti gimana?!" Teriak gue.

"Gausah teriak, gue gak tuli." Bales Rey dengan decakan kesal.

Rey pun meninggalkan tangan gue dan mengambil sendok untuk mencoba masakan yang kami buat.

"Enak?" Tanya gue dengan ragu.

Rey tidak menjawab, tapi dia mengambil sedikit bumbu yang ada dimasakan itu dengan sendok yang di bawanya tadi dan mengarahkannya ke depan mulut gue. Dengan ragu gue membuka mulut gue yang langsung Rey respon dengan memasukan sendok ke mulut gue.

"Gimana?" Tanya dia.

"Enak," jawab gue sambil menganggukan kepala gue.

Setelah sesi memasak yang cukup panjang akhirnya kita duduk di meja makan untuk makan hasil masakan kita.

"Lebih enak masak sendiri kan?" Tanya Rey begitu dia melihat gue makan dengan lahap.

Gue belum sarapan sebenarnya yang membuat gue makan lebih lahap. Gue menunjukan jari gue yang terluka ke arah dia.

"Terluka saat belajar gak ada salahnya, anak kecil aja belajar jalan harus jatuh dulu." Kata dia.

Gue hanya memutar bola mata gue sebagai respon omongan sok bijaknya.

Setelah selesai makan dan mencuci piring akhirnya kita duduk di sofa ruang tengah sambil nonton TV. Ini pertamakalinya gue duduk berdua samping-sampingan gini sambil menonton TV. Karena acara TV yang membosankan dan juga terlalu capek habis belanja, gue pun memejamkan mata untuk tidur.

*****

Rey's POV

Gue melihat dia tidur dengan pulas, mau gue bangunin pun tidak tega. Mau gue angkat gue tidak bisa karena kondisi tangan gue yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi. Jadi gue memilih untuk menidurkan badannya di sofa dan mengambil selimut yang ada di dalam kamar untuk menyelimuti dia.

Di saat gue beranjak pergi, gue melihat wajahnya berubah gelisah, dan dia menggumamkan nama Andra dalam tidurnya.

Ada apa antara orang itu sama dia sih?

[Sudah Terbit] Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang