Rey's POV
Gue di kagetkan dengan pintu apartemen yang di buka dengan cukup kencang, dan di tutup dengan bantingan keras. Perempuan itu masuk kedalam apartemen dengan tatapan marah, dan menghampiri gue dengan langkah yang cukup lebar. Dia bahkan menaruh heelsnya sembarangan, padahal biasanya dia akan menyimpannya dengan rapih di rak sepatu.
"Lo tuh apa-apaan sih?!" Teriaknya di depan muka gue yang sedang duduk di sofa.
"Apa-apaan gimana?" Tanya gue bingung.
Dia berdecak pinggang di depan gue dengan mata dan juga hidung yang memerah yang membuat gue yakin kalau dia habis menangis.
"Kenapa lo setuju sama honeymoon trip itu?!" Tanya dia masih dengan nada yang cukup tinggi.
Apa yang salah dengan honeymoon trip? Toh dia juga jadi bisa cuti. Gue pun pegal melihat dia tiap hari pulang malam dengan wajah lelah. Masa dia enggak capek sih? Lagian mertua gue yang menawarkan, mana bisa gue menolak. Gue pikir dengan gue mengiyakan, hubungan dia dengan ayahnya menjadi semakin baik nantinya. Lagipula kapan lagi gue ke Itali?
"Mana bisa gue nolak disaat bokap lo sendiri yang menghubungi gue?" Jawab gue masih mencoba sabar.
"Kenapa gak nanya gue dulu?! Lo udah ngancurin semuanya tau gak!" ucap dia masih berteriak, sekarang air matanya malah keluar.
"Emang apa salahnya sih? Gue ngeliat lo juga perlu piknik, idup lo kebanyakan serius tau gak."
"Lo gak ngerti..." kata dia dengan lirih.
Gue bisa melihat dia terisak hebat sekarang, segitu salahnya kah gue?
Gue pun berdiri dari posisi gue yang duduk sebelumnya untuk berhadapan langsung sama dia. Dia masih terisak yang membuat gue kebingungan.
"Gue gak akan ngerti kalau lo gak pernah ngasih tau gue apa-apa," jawab gue pada akhirnya. Gue tidak menggunakan nada tinggi karena gue rasa perempuan yang sedang menangis tidak akan bisa di bentak. Gue melihat dia menutup mukanya dengan kedua tangannya dan masih terisak hebat.
Gue tidak mengerti sama perempuan, mereka ingin di mengerti tanpa bilang apa mau mereka sebenernya. Kalau dia tidak pernah menjelaskan apapun ke gue, gue tidak akan bisa mengerti dia sampai kapanpun.
"Gue capek..." gumamnya lirih, gue bisa merasakan kesakitan dalam suaranya. Gue tidak tahu apa yang terjadi sama dia, yang jelas dia kelihatan begitu rapuh sekarang.
Tangan gue reflek menarik dia ke pelukan gue, gue tidak pernah suka melihat perempuan menangis. Jasmine dulu juga sering menangis di saat orangtuanya mengalami kebangkrutan, tapi tangisnya tidak pernah sehisteris dan sememilukan ini. Padahal pekerjaan dia lancar, hartanya juga masih banyak. Tapi dia kelihatan jauh lebih menyedihkan dari Jasmine.
"Gue capek.." ujar dia terus menerus sampai suaranya berubah menjadi serak.
Gue mengeratkan pelukan gue sebagai bentuk dukungan, menurut pengamatan gue perempuan di pelukan gue ini sakit. Bukan sakit secara fisik, tapi batinnya tersiksa.
Gue cukup peka setelah tinggal hampir dua bulan sama dia. Selama dua bulan terakhir gue melihat dia lebih banyak melamun di luar waktu dia untuk bekerja. Kadang di saat gue sudah tidur pun dia memforsir dirinya untuk mengecek semua e-mail yang masuk di tabletnya sampai tengah malam. Tidurnya pun tidak nyenyak karena gue sering memergoki dia mengigau di tengah malam, ataupun membaca novel sampai pagi dengan alasan tidak bisa tidur.
Gue pun melepaskan pelukan gue dan membuka kedua tangannya yang menutupi wajahnya. Dia sempat melihat gue sebelum mengarahkan pandangannya kearah lain. Gue yakin dia malu sekarang, di saat biasanya dia selalu terlihat angkuh, kini ia menunjukan sisi rapuhnya.
"Apa yang membuat lo capek?" Tanya gue mencoba untuk mencaritau lebih jauh. Dia hanya menggelengkan kepalanya yang membuat gue memejamkan mata gue frustasi.
Teka-teki aja masih punya petunjuk, sedangkan perempuan ini ...
... gue tidak mempunyai petujuk apapun tentang dia
"Gue tau pernikahan kita emang cuma hitam diatas putih, tapi please jangan terlalu menutup diri lo yang membuat lo kesiksa kaya gini, sedangkan gue gak mengerti apapun."
"Bagaimanapun status gue suami lo sekarang, gue gak bisa gak tau apa-apa tentang lo yang membuat semuanya yang gue lakukan jadi salah di mata lo."
"Gue gak mau tinggal sama orang yang masih asing buat gue."
"Kalaupun lo gak nganggep gue sebagai suami lo, lo masih bisa anggep gue sebagai teman berbagi."
Dan respon yang gue dapatkan setelahnya adalah sebuah pelukan erat dari dia, dan ucapan terimakasih yang diucapkan secara samar yang bahkan gak lebih besar dari suara televisi yang gue tonton.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] Dua Sisi
General FictionUntuk saat ini keduanya mungkin tidak menyadari telah berperan terlalu jauh dalam kehidupan masing-masing. Kita tidak tahu siapa saja pemeran utama di dalam kehidupan kita selain diri kita, yang mungkin bisa muncul kapan saja di sepanjang kehidupan...