○ tiga belas

19.9K 3.9K 244
                                    

Rey's POV

Gue bangun dan mengecek suhu badan Gita yang mulai sedikit turun dibandingkan semalam, semalam gue begadang untuk memastikan kompresnya selalu terganti dan juga suhunya tidak naik lagi.

Semalaman dia tidak melepaskan pelukannya ke gue. Gue sebenarnya bingung dia sadar apa tidak kalau dia sudah memeluk gue semalaman. Sebelum dia sadar dan mengamuk, gue memilih untuk melepaskan pelukannya dan bersiap-siap untuk bikin sup. Karena menurut artikel yang gue baca, sup hangat juga bagus untuk menurunkan panas.

Gue mulai melepaskan tangannya dari badan gue, tapi dia berubah menjadi gelisah dalam tidurnya.

"Ssshh.. gue pergi sebentar doang kok..."

Dengan perlahan gue mengelus rambutnya yang membuat dia kembali tenang dan terlelap. Gue pun beranjak dari tempat tidur untuk menuju dapur apartemen ini.

Keahlian memasak gue memang tidak begitu ahli, tetapi yang jelas dia tidak akan mati keracunan karena makan sup buatan gue nanti.

Sangat disayangkan kulkas di apartemen ini tidak menyediakan apapun, hal itu membuat gue harus membeli beberapa bahan masakan di supermarket terdekat. Gue memilih beberapa sayuran segar dan bahan makanan yang bisa gue olah, tidak lupa gue membeli beberapa daging ayam dan juga sapi sebagai menu pelengkap.

Selama ini gue makan selalu dari luar menunggu dia pulang kantor. Jadi kulkas kami emang tidak ada persediaan bahan makanan selain susu dan juga beberapa minuman jus kemasan. Di saat gue sibuk memilih sayuran, gue bisa melihat sosok Jasmine dari kejauhan.

Jujur, gue sangat merindukan dia. Rasanya gue ingin menghampiri dan juga memeluknya.

Tapi kalau gue melakukan hal itu, gue tidak yakin kalau gue bisa kembali pulang ke apartemen Gita. Gue pasti akan semakin goyah dengan keputusan yang sudah gue buat.

Gue mengikuti Jasmine secara perlahan, gue bisa melihat dia lagi memilih beberapa susu untuk dijadikan bahan minuman di kafe. Melihat dia yang terlihat baik-baik aja membuat gue lega, Setidaknya dia tidak bersedih lagi karena kafenya tidak jadi rata dengan tanah.

Jasmine .. aku kangen

Kalimat itu hanya bisa gue telan bulat-bulat dalam hati.

Gue rindu senyumannya, gue rindu tingkah manjanya, gue rindu semua hal kecil yang ada di diri Jasmine .

Jasmine terlihat baik-baik aja dan juga bahagia, berbeda dengan Gita yang sedang terbaring tidak berdaya di apartemen sendirian.

Kalau gue lebih memilih kembali sama Jasmine saat ini, bukankah gue sangat jahat?

Dia sendirian dan juga lagi sakit di apartemennya, kondisinya pun masih mengkhawatirkan.

Sebetulnya kalau mau jahat gue bisa saja membiarkan dia sakit di apartemennya dan tidak ada yang mengurus supaya dia mati sekalian, dan hidup gue bisa tenang tidak harus terjerat sama perjanjian konyol ini. Tetapi setelah gue mengenal dia lebih jauh, gue malah merasa simpati sama dia. Dia punya keluarga tapi seperti tidak punya, dia punya uang tapi dia tidak bahagia. Hidupnya seperti penuh beban.

Kesimpulannya saat ini Gita jelas lebih membutuhkan gue di bandingkan dengan Jasmine .

Gue pun lebih memilih untuk berbalik arah dan membayar belanjaan gue ke kasir.

Gue percaya jodoh itu tidak kemana, kita pasti ketemu lagi Jasmine ...

*****

Gue membangunkan Gita yang masih terbaring lemah di kasurnya.

"Jam berapa sekarang?" Tanya dia begitu bangun.

"Jam sembilan," jawab gue.

"Lo kok baru bangunin gue sekarang sih? Gue telat kan," kata dia sambil mencoba bangun dari tempat tidur. Tapi tidak lama tubuh dia oleng lagi dan terjatuh lagi di kasur.

Dia masih mau kerja?! Gila!

"Lo lagi sakit, istirahat, jangan kerja."

"Deathline gue banyak. Belom minggu depan gue cuti karena kita nikah. Gue gak boleh santai-santai," kata dia.

"Lo istirahat, bukan santai-santai. Berhenti keras kepala. Lo mau pingsan di pelaminan? Atau lebih buruknya mati sebelum naik pelaminan?"

Dia terdiam setelah gue sindir seperti itu, sekarang wajahnya terlhiat seperti berpikir.

"Gak usah banyak mikir, istirahat sehari gak ada salahnya. Nih gue udah bikinin sup buat lo. Lo belum makan kan dari semalem? Perut lo bunyi terus."

Gue bisa melihat wajahnya memerah karena gue ngomong seperti itu, sepertinya dia malu. Gue pun mengambil mangkuk sup dan memberikannya ke dia.

"Hati-hati panas," ucap gue memperingati.

Dia mulai memakan supnya secara perlahan, tanpa ekspresi yang berarti.

"Enak?" Tanya gue yang dijawab gelengan sama dia.

"Gak ada rasanya," jawab dia.

Gue pun mengambil sendok dari tangannya dan mencoba sup di mangkuknya.

Perasaan tadi gue makan ada rasanya, masa bikin satu panci rasanya bisa beda sih?

"Ada kok, ini gurih," Kata gue gak terima.

Dia mengambil sendok di tangan gue dan kembali melanjutkan makan supnya.

"Lidah gue yang bermasalah, makasih udah bikin supnya."

Ini orang kalau sakit kayanya lebih manusiawi, gue doain sering-sering sakit aja apa?

[Sudah Terbit] Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang