Rey's POV
Gue gak ngerti lagi sama keluarga ini, ini yang disebut acara makan malem keluarga? Tidak ada bedanya dengan acara makan malam bersama kolega bisnis.
Tidak ada percakapan hangat yang mewarnai makan malam ini, kami hanya duduk dan menikmati hidangan yang ada tanpa suara. Atau mungkin itu memang aturan di rumah ini?
Setelah selesai dengan hidangan yang di sediakan, gue mendengar perempuan itu berdeham sebelum ngomong, "yah, bu aku mau nikah."
Satu kalimat singkat yang seperti tidak berarti sama sekali bagi si Ayah, tapi untuk si ibu dia tersenyum sumringah mendengar ucapan perempuan itu.
"Kapan Git?" Tanya si ibu dengan antusias.
"Secepatnya bu," jawab perempuan itu.
Semoga percakapan ini tidak melibatkan gue karena gue malas untuk berbasa basi.
"Nemu calon suami dimana?" Tanya Ayah perempuan itu yang membuat perempuan itu sedikit tersentak.
Nemu dimana? Haruskah pertanyaan itu yang dilayangkan?
"Ayah gak perlu tau karena itu bukan hal yang penting buat ayah, bukan?" Jawab perempuan itu dengan dingin.
Tipikal keras kepala, sama seperti ayahnya.
"Git..." tegur sang ibu.
"Kami ketemu di kafe om," jawab gue yang membuat perempuan itu menatap gue dengan tidak suka.
Mungkin dia takut pernikahan pura-pura ini terbongkar, tapi gue tidak sebodoh itu untuk terus nurut sama dia. Memberikan sedikit gertakan seperti ini membuktikan kalau gue tidak mudah di setir sama dia.
"Apa kerjaan kamu? Pelayan kafe?" Tanya ayahnya dengan tajam.
"Ayah!" Bentak perempuan itu dengan tidak suka.
"Om kamu tuh udah baik nyariin kamu orang yang bibit bebet bobotnya jelas,tapi kamu malah nyari yang gak jelas."
"Ayah gak perlu ikut campur dalam urusan aku! Selama ini ayah juga gak pernah peduli kan mau aku pergi dari rumah, mau aku masuk rumah sakit, atau aku mati sekalipun!" Kata perempuan itu dengan suara yang bergetar.
Gue merasa tangan gue di tarik sama perempuan itu untuk berdiri setelahnya.
"Aku kesini cuma mau bilang itu, aku gak perlu restu dari kalian."
Gue melotot ngedenger omongan dia. Bisa-bisanya dia ngomong kaya gitu sama orang tuanya sendiri? Ini cewek fix gila.
Gue bisa ngeliat ibu perempuan itu mulai menangis sementara ayahnya masih bertampang datar, cendrung tidak berekspresi.
Kesalahan apa sih yang dia lakuin sampe ayahnya bersikap seperti itu sama dia?
"Bu, aku pamit," kata perempuan itu.
Gue pun hanya menundukan kepala gue sekilas sebelum mengikuti langkah perempuan itu.
Melihat reaksi para pelayan disini yang tidak kaget dengan kejadian barusan, gue rasa pertikaian ini cukup sering terjadi di sini.
"Lo udah gila?" Cuma itu respon yang gue berikan sama dia.
"Gausah banyak ngomong, ayok pulang," kata perempuan itu dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Untuk pertamakalinya gue melihat perempuan yang selalu terlihat angkuh di dalam setiap pertemuan yang kami lakukan itu menjadi sangat rapuh.
Gue yang paling tidak bisa melihat perempuan nangis pun memberikan sapu tangan di saku gue ke dia yang dia tolak.
"Gue cuma mau pulang, tolong anter gue pulang," kata dia dengan lirih.
Dia ngajak gue nikah aja kaya nodong, ini dia minta tolong? Gue gak salah denger kan?
Gue memilih untuk menghindari debat lebih jauh dan mengikuti ucapan dia untuk mengantar dia pulang ke apartemennya.
Yang jelas satu kelemahan dia yang gue tau sekarang, keluarganya tidak harmonis dan dia kelihatan tertekan dengan keadaan itu.
Perempuan itu sama sekali tidak menunggu gue yang sedang memarkir mobil, dia pergi begitu saja meninggalkan gue yang masih berkutat sama mobilnya. Dan di saat gue masuk apartemen dia, dia sudah mengambil posisi nyaman di ranjangnya.
"Gue tidur dimana?" Tanya gue bingung.
"Kalau lo gak ada niat ngehamilin gue lo bisa tidur disamping gue." Kata dia acuh gak acuh.
Fix. Gue rasa dia gangguan jiwa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] Dua Sisi
General FictionUntuk saat ini keduanya mungkin tidak menyadari telah berperan terlalu jauh dalam kehidupan masing-masing. Kita tidak tahu siapa saja pemeran utama di dalam kehidupan kita selain diri kita, yang mungkin bisa muncul kapan saja di sepanjang kehidupan...