○ empat belas

19.4K 3.8K 121
                                    

Gita's POV

Akhirnya hari pernikahan gue datang juga, setelah persiapan yang mendadak dan juga repot selama sebulan terakhir yang bahkan bikin gue tumbang. Tapi untungnya hasilnya memuaskan, jadi gue merasa semuanya setimpal.

Walaupun banyak yang melihat Rey dengan pandangan menilai pada awalnya, tapi wajahnya yang gue akui cukup tampan itu menyelamatkan segalanya. tidak ada yang menanyakan asal usulnya ke keluarga gue karena muka Rey yang cukup mendukung untuk terlihat jadi orang kaya.

Terimakasih kepada Barri yang sudah mendandani Rey dengan penampilan yang lebih berkelas, dan memang gue juga mengajarkan dia untuk terlihat lebih elegan dalam satu bulan terakhir ini.

Semua undangan yang datang mengucapkan selamat ke gue sama Rey yang kami tanggapi dengan senyum seperlunya. Karena gue tipe orang yang tidak suka basa basi, tersenyum ke semua kenalan gue dan juga Ayah Ibu hari ini terasa berat.

Gue bisa melihat pandangan menilai yang om gue layangkan ke Rey. Gue rasa dia tahu kalau Rey bukan dari kalangan atas seperti Handi, jadi om gue sama sekali tidak merasa terancam. Berbeda dengan Kris yang menatap Rey dengan tajam sejak awal acara. Dia masih curiga kalau Rey hanya memanfaatkan gue walaupun kenyataan yang sebenarnya adalah sebaliknya.

Jangan tanya bagaimana dengan Ayah, dia hanya berdiri dan menghadiri acara pernikahan gue tanpa banyak berkomentar. Gue tidak berharap lebih untuk di beri ucapan selamat dan segala macam lainnya, melihat Ayah datang di acara pernikahan gue saja gue sudah bersyukur.

Dari semua tamu undangan, tamu yang gue nantikan sama sekali belum menunjukan batang hidungnya, padahal gue sudah memberikan undangan spesial kemarin secara langsung. Ya, tanpa sepengetahuan Rey gue dateng ke kafe Jasmine dan bilang ke dia untuk datang ke acara pernikahan gue hari ini tanpa memberikan undangan yang bertuliskan nama Rey dan gue. Gue hanya bilang dia akan menyesal kalau dia tidak datang.

Gue tahu kalau Rey tau gue ke tempat Jasmine kemarin dia pasti akan protes dan melarang gue untuk melakukan hal itu. Karena Rey selama ini pamit untuk bekerja sama Jasmine, bukan untuk menikah.

"Bisa senyum lebih ikhlas? Lo gak malu apa sama kolega lo?" tanya Rey.

"Kaki gue pegel, lo enak gak pake heels," sindir gue.

"Yakali gue pake heels, emang lo mau liat suami lo pake heels? Di ketawain orang yang ada," balas Rey. Sejak tadi kami berdua sibuk berdebat untuk membunuh waktu di sela-sela menerima ucapan dan salaman dari para tamu undangan.

"Gue udah senyum nih," timpal gue dengan menunjukan gigi gue dengan tidak ikhlas.

"Lo sakit perut?" Ledek Rey sambil menahan tawa yang mau tidak mau membuat gue menyunggingkan senyum di bibir gue.

Sialan dia pake ngeledekin gue segala lagi!

Gue pun memukul badannya main-main yang membuat dia menahan pukulan gue sambil tersenyum.

"Nah kaya gitu kek daritadi, muka lo jadi lebih enak di liat kan."

Prang!

Suara kegaduhan membuat semua orang yang berada di dalam ballroom itu membuat para tamu undangan mengalihkan atensinya ke sumber suara, dan di sana gue melihat Jasmine yang sedang membungkukan badannya untuk meminta maaf kepada pelayan yang baru saja ia tabrak sehingga gelas-gelas yang berada di nampan di atas tangan pelayan tersebut terjatuh dan pecah menjadi kepingan kecil. Gue bisa melihat baju Jasmine juga terlihat basah karena ketumpahan air yang di bawa pelayan itu.

Di saat itu pula mata gue bersibobrok dengan Jasmine yang membuat senyuman di bibir gue semakin merekah. Gue bisa melihat Rey yang reflek untuk pergi turun dari pelaminan, tapi gue menahan tangannya untuk bergerak lebih jauh.

"Gak ada mempelai pria yang pergi nolong orang lain di pesta pernikahannya," kata gue mencoba memperingati.

Gue bisa melihat Rey menatap gue dengan tatapan penuh amarah saat ini.

"Lo pasti yang ngundang dia kesini kan?! Ini gak ada di dalam perjanjian." Desis Rey tajam.

"Gue mengundang dia sebagai teman lama," jawab gue dengan sedikit penekanan pada kata teman lama.

Gue bisa ngeliat Rey mengerutkan alisnya sebelum bertanya, "Lo kenal sama Jasmine?"

"Lebih dari kenal mungkin," jawab gue dengan senyum sinis.

"Jasmine bilang gak kenal sama lo," kata Rey heran.

"Mungkin itu bukan kebohongan yang pertama dia buat," timpal gue dengan nada meremehkan.

"Jangan ngejebak gue di dalam permainan busuk lo," kata Rey tajem, dan dia beranjak untuk pergi dari podium tempat pelaminan.

Tetapi saat dia melihat ke tempat Jasmine berdiri, Jasmine sudah pergi dari sana. Meninggalkan sang pelayan yang dibantu rekan-rekannya untuk membereskan kekacauan itu. Sementara Rey hanya bisa mengepalkan tangannya dengan kesal sambil melihat ke arah gue dengan pandangan tidak suka.

Rasanya sakit bukan? Itu yang selalu gue rasain selamatiga tahun di SMA Jasmine ...

[Sudah Terbit] Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang