"Git, berhenti senyam senyum! Gue serem liat lo senyum anjir!" tegur Barri saat ia baru saja memasuki ruangan gue.
Barri memang orang paling brengsek yang tidak bisa melihat gue tersenyum.
"Lo gak bisa banget sih liat gue seneng?!" Sungut gue ke Barri .
"Selama gue kenal sama lo ya, yang bikin lo seneng tuh cuma dua. Yang pertama bikin om lo kicep dan yang kedua nyusahin orang lain, termasuk gue. Sekarang yang mana yang bikin lo seneng?" Tanya Barri .
"Option kedua," jawab gue santai.
"Lo mau bikin gue susah kaya gimana lagi sih git?! Idup gue udah susah! Lo tambahin susah lagi!" Protes Barri tidak terima.
Berhubung hari ini gue sedang senang, gue tidak akan mengancam memecat Barri .
Gue hanya mengetukkan pulpen gue ke meja sambil menantikan seseorang yang gue bisa pastikan akan muncul di depan gue tidak lama lagi tanpa mempedulikan kehadiran Barri .
"Aduh gue bisa stress kalo asistenin lo terus!" Pekik Barri heboh. Tapi gue memilih untuk acuh dan memainkan ponsel gue.
"Lo udah dapet calon suami?" Tanya Barri yang membuat gue kembali ke kenyataan kalau gue harus mencari suami dalam waktu dekat. Mood gue seketika langsung turun drastis.
Barri brengsek banget! Gak bisa ngeliat gue seneng dikit!
Pintu ruangan gue yang terbuka tanpa ketukan ataupun permisi menambah emosi gue saat ini. Dan di depan gue kekasih Jasmine kini berdiri dengan angkuh.
"Apa maksud anda?" Tanya dia dengan nada tajam sambil menunjuk gue dengan jarinya.
"Harusnya saya yang bertanya seperti itu, apa maksud anda masuk ruangan saya tanpa permisi dan bersikap tidak sopan seperti itu?!" Balas gue gak kalah tajam.
"Saya baru mendapat kabar jika sengketa lahan kafe yang berada di kawasan Park Industry sudah diselesaikan, dan anda adalah pemilik resmi lahan itu untuk saat ini. Saya yakin itu bukan kebetulan semata mengingat tuntutan saya pada perusahaan ini!" Ucapnya tanpa jeda.
"Otak anda cukup cerdas untuk mengerti keadaan yang ada," Timpal gue santai yang membuat laki-laki di hadapan gue ini kesal bukan main. Hal itu terlihat dari tangannya yang mengepal.
Siapa suruh bermain api sama gue, di tambah pacarnya adalah orang yang paling gue benci. Gue akan menjamin dengan tangan gue sendiri kalau hidup laki-laki dihadapan gue ini tidak akan tenang.
Gue bisa melihat Barri sudah mulai membaca situasi yang ada, wajahnya terlihat gelisah saat melihat seringai yang tidak terlepas dari bibir gue.
"Apa yang anda inginkan?!" tanya laki-laki itu.
"Cabut tuntutan anda atas perusahaan ini," jawab gue penuh penekanan.
Gue bisa melihat dia semakin mengepalkan tangannya saat ini.
"Gak bisa!"
"Okey, say goodbye sama kafe kumuh di pinggir jalan itu dalam waktu tiga hari kedepan," jawab gue.
Laki-laki di depan gue terlihat ini semakin frustasi dengan jawaban yang gue berikan.
"Apa tidak ada pilihan lain?! Saya butuh dana kecelakaan itu untuk dana pernikahan saya! Dan kafe itu satu-satunya peninggalan orang tua calon istri saya!"
"Apakah itu penting untuk saya?" tanya gue yang membuat laki-laki itu bungkam.
Dia salah sudah menunjukkan titik kelemahannya di depan gue.
"Apa ada option lain? Selain dua hal itu?"
"Ada," jawab gue yang menimbulkan secercah harapan di mata laki-laki di depan gue ini.
"Apa?" Tanya laki-laki itu dengan nada yang cukup antusias.
"Nikah sama saya," jawab gue yang membuat laki-laki di depan gue membelalakan matanya tidak percaya, Barri pun memberikan reaksi yang kurang lebih sama. Dia bahkan menganga mendengar ucapan gue.
"Apa anda sudah gila?!" Teriak laki-laki itu.
Ya, terserah lo mau bilang gue gila juga, yang jelas apapun option yang lo pilih lo gak akan bahagia.
Kalau dia memilih uang kompensasi, Jasmine pasti benci sama dia karena kafe peninggalan orang tuanya harus rata sama tanah. Kalau dia memilih kafe, dia tidak akan punya dana untuk menikahi Jasmine, apalagi dengan kondisi tangannya yang sudah tidak bisa mengangkat beban saat ini, dia pasti akan lebih sulit untuk mendapat pekerjaan. Dan kalau dia memilih menikah dengan gue, bisa gue pastikan gue akan melihat wajah penuh kekecewaan Jasmine yang sudah gue nantikan sejak lama.
"Pilihan ada di anda, saya beri waktu tiga hari, atau kafe itu akan rata dengan tanah."
Setelahnya laki-laki itu keluar dari ruangan gue dengan bantingan pintu yang cukup kencang.
Suasana ruangan gue masih hening, sampai Barri kembali mendapat kesadarannya dan berteriak, "LO UDAH GILA?!"
"Ini yang namanya sambil menyelam minum air Bar," jawab gue sambil tersenyum licik yang membuat Barri geleng-geleng kepala.
"Kelelep lo sambil nyelem minum air mah!" Timpal Barri yang membuat gue mendelik.
"Nilai bahasa lo dulu berapa sih?! Bego banget peribahasa aja gatau."
Barri hanya memijat pelipisnya begitu mendengar respon gue.
"Lo emang kepepet nyari suami, tapi gak gini juga git." Kata Barri.
"Gue mau bales dendam sebenernya, bukan nyari suami. Kebetulan lagi butuh, kenapa gak sekalian aja?" Jawab gue.
"Emang lo yakin dia bakal mau nikah sama lo? Dia udah mau nikah git," kata Barri.
"Tanpa dana kecelakaan itu emang dia bisa nikah?" Timpal gue yang membuat Barri terdiam.
"Kenapa gak lo cari orang lain aja sih? Ntar kalo lo dapet karma gimana?" Tanya Barri .
"Gue gak peduli," jawab gue sambil memandang Barri yang melihat gue dengan tatapan frustasi sekaligus kasihan, "Gue butuh aktor di dalam hidup gue."
"Tapi dia cuma pemeran pengganti," kata Barri tidak habis pikir.
"Udah gue bilang gue sambil menyelam minum air, gue masih bisa cari orang lain untuk nikah. Tapi gue cuma pengen ngancurin ceweknya yang udah bikin hidup gue menderita selama di SMA," Jawab gue.
"Gue gak yakin keputusan lo bener git," kata Barri dengan nada menasihati.
"Dia butuh uang, gue butuh dia. Bukannya semua udah jelas?"
"Gimana kalau akhirnya lo nyesel?" Tanya Barri .
"Gue cuma butuh pernikahan hitam diatas putih Bar, paling cuma setahun dua tahun lah... Lo gak usah kebanyakan mikir. Kan gue yang jalanin." Jawab gue acuh gak acuh.
"Git, gak ada kah keinginan lo untuk bahagia? Nikah sama orang yang lo cintai misalnya? Lupain semua ambisi lo untuk menduduki posisi bokap lo dan berhenti bersaing sama om lo," ucap Barri. Ini merupakan perkataan terwaras yang pernah dia ucapkan selama kami saling mengenal.
"Itu tujuan hidup gue, Bar. Kalau gue ninggalin tujuan hidup gue, buat apa gue hidup?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] Dua Sisi
General FictionUntuk saat ini keduanya mungkin tidak menyadari telah berperan terlalu jauh dalam kehidupan masing-masing. Kita tidak tahu siapa saja pemeran utama di dalam kehidupan kita selain diri kita, yang mungkin bisa muncul kapan saja di sepanjang kehidupan...