Rey's POV
Gue sangat marah sama Gita, gue yakin sebenarnya ada rencana lain di balik pernikahan gue ini semenjak gue tahu kalau Gita dan Jasmine saling mengenal. Gue merasa dibodohi dan jadi bahan mainan oleh kedua perempuan itu.
Jasmine kenapa tidak jujur kalau sebenernya dia kenal sama Gita? Dan Gita kenapa mengundang Jasmine ke pernikahan kami? Itu adalah pertanyaan yang melintas di benak gue pertamakali sebelum banyak pertanyaan lain menyusul setelahnya yang bahkan tidak bisa gue sebutkan satu-satu karena saking banyaknya.
Sekarang gue menolak untuk tidur bersama di kamarnya dan memilih tidur di sofa apartemennya yang untungnya empuk dan nyaman itu.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari Gita tentang semua ini yang membuat gue pusing dan penasaran sendiri dengan apa yang terjadi diantara kedua perempuan itu. Terutama perempuan yang sudah berstatus jadi istri gue sekarang. Gue benar-benar tidak mengenal dia, dan dia pun sulit untuk di tebak. Setelah pernikahan kami, perempuan itu jadi cendrung lebih dingin dan tidak ketebak tingkahnya yang membuat gue pusing sendiri.
Gue sudah bertanya kepada Barri untuk mencari tahu secercah informasi, tapi nihil, gue tidak mendapatkan informasi apapun dari dia. Barri bilang dia tidak tahu banyak tentang masa lalu Gita sebelum dia menjabat menjadi asistennya. Dan kalaupun Barri tau, gue yakin dia sepertinya tidak akan mau memberitahu gue.
Setelah merenung, menurut gue menghindari dia bukanlah keputusan yang tepat untuk saat ini, karena gue tidak akan mendapatkan informasi lebih jauh tentang dia maupun Jasmine. Jadi malam ini gue memutuskan untuk tidur kembali di kamar bersama dia setelah empat hari tidur di sofa. Terhitung dengan malam pertama saat di hotel di hari pernikahan kami. Gue masuk ke dalam kamar dan melihat Gita yang lagi duduk di depan meja riasnya dan sedang memakai krim wajah.
Gue bisa ngeliat dia melirik gue dengan pandangan heran melalui kaca sebelum ngomong, "kenapa? Udah pegel tidur di sofa?"
Perempuan itu mulutnya memang sangat tajam, gue harus banyak bersabar menghadapi dia. Daripada cekcok, gue memilih untuk membaringkan diri gue di kasur tanpa memperdulikan dia. Tidak lama kemudian dia menyusul untuk tidur di samping gue. Malam ini bahkan terasa lebih canggung di bandingkan saat kita pertamakali tidur bersama waktu itu. Baik gue sama dia sama sama gelisah dan lebih banyak bergerak dari biasanya.
"Kenapa lo gak pernah jelasin ke gue apa tujuan lo nikah sama gue?" Tanya gue pada akhirnya.
Gue bisa mendengar dia menghela napas sebelum menjawab, "lo gak perlu tau."
"Oke, itu hak lo, tapi gue minta lo buat ngejawab satu pertanyaan gue."
"Apa?" Jawab dia singkat.
"Kenapa lo undang Jasmine ke pesta pernikahan kita?"
"Karena lo gak tau siapa Jasmine sebenarnya," jawab dia singkat.
"Apa maksud lo?"
"Lo cuma minta gue untuk ngejawab satu pertanyaan lo, dan lo udah menggunakan kesempatan itu tadi."
Ya Tuhan... gue harus banyak bersabar buat menghadapi perempuan ini.
****
Hari ini weekend, dan gue melihat Gita udah rapih padahal ini masih jam enam pagi. Dia gak kerja pas weekend juga kan? Cuti menikah aja tidak dia ambil. Hanya sehari setelah menikah dia ngambil cuti dan keesokan harinya sudah kerja lagi.
"Mau kemana?" Tanya gue.
"Kalau lo inget, ada point dimana dilarang mengganggu privasi satu sama lain. Sekarang gue ingetin kalau lo lupa." Jawab dia sambil memoleskan lipstik merah di bibirnya.
Sial, gue lupa dia orangnya keras kepala. Dan gue tidak akan bisa mendapatkan info apa-apa kalau hanya mengandalkan pertanyaan-pertanyaan gue ke dia.
"Lo bisa cari sarapan di luar pagi ini karena gue gak bisa nyediain sarapan buat lo."
At least dia masih melakukan keeajibannya untuk mengurus keperluan pangan gue.
"Mobil lo udah dateng kan?" Tanya dia yang gue jawab anggukan.
Sebelum kita menikah dia membelikan gue mobil untuk berpergian, tapi dia melarang gue untuk bertemu Jasmine yang sebenarnya sudah gue langgar.
Tiga hari sebelum gue menikah, gue menemui Jasmine di kafenya hanya untuk melepas rindu yang memang sudah lama gue pendam. Gue di sambut dengan senyuman bahagia dia yang melihat penampilan gue yang sudah jauh lebih rapih dari sebelum-sebelumnya selama gue mengenal dia. Dia sempat bertanya kenapa gue kini jarang dateng ke kafe yang gue jawab dengan alasan kalau gue harus kerja di tempat baru. Dia sempat curhat soal usaha kafenya yang mulai berkembang yang membuat gue merasa lega karena melihat dia bahagia.
Gue hanya menyampaikan pesan ke dia untuk menunggu gue karena gue sayang banget sama dia, yang dia respon dengan senyuman manis favorit gue. Gue merasa jadi cowok paling brengsek sekarang. Apa yang Jasmine pikirkan tentang gue saat melihat gue berdiri di pelaminan bersama orang lain saat itu?
"Gue pergi dulu."
Suara Gita menginterupsi lamunan gue. Gue pun hanya menganggukan kepala gue singkat sebagai respon.
Begitu Gita menghilang dibalik pintu kamar gue segera mengganti baju gue, karena gue berniat untuk mengikuti dia dengan harapan untuk mendapatkan petunjuk, apapun itu. Betapa beruntungnya gue karena dia belum mengetahui mobil jenis apa yang gue ambil dan juga plat nomornya.
Gue terus mengikuti dia yang berhenti di toko bunga yang cukup besar, tidak lama setelahnya dia keluar dengan satu buket bunga lily putih di tangannya. Gue masih mengikuti dia sampai mobilnya memasuki areal pemakaman yang membuat gue bertanya-tanya siapa oramg yang akan dia kunjungi sedangkan kedua orangtuanya masih lengkap.
Dengan berhati-hati gue mengikuti dia sampai dia berhenti di satu makam dan menaruh buket bunga lily itu diatas batu nisan yang bertuliskan nama Andra Arshaka Nugraha. Dan untuk kedua kali, gue melihat wajahnya sesedih ini setelah pertikaian dengan ayahnya waktu itu.
Sekarang pertanyaan gue bertambah, siapa Andra?
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] Dua Sisi
General FictionUntuk saat ini keduanya mungkin tidak menyadari telah berperan terlalu jauh dalam kehidupan masing-masing. Kita tidak tahu siapa saja pemeran utama di dalam kehidupan kita selain diri kita, yang mungkin bisa muncul kapan saja di sepanjang kehidupan...