○ tujuh

21.1K 3.8K 190
                                    

Hari ini tepat seminggu setelah laki-laki itu berjanji sama gue untuk datang menemui gue. Tapi dia belum menunjukkan batang hidungnya di depan gue sampai saat ini.

"Dengan lo liatin kartu identitasnya, orang itu belum tentu muncul kesini git," kata Barri yang sepertinya sudah capek melihat gue yang memandang kartu identitas itu sejak tadi.

"Menurut lo dia bakal nepatin omongannya gak?" Tanya gue ke Barri.

"Gue gak begitu kenal sama dia, tapi gue tanya riwayat kerjanya ke orang produksi dia itu orangnya tepat waktu dan omongannya bisa dipegang," Kata Barri yang entah mengapa membuat gue merasa lega.

"Lo pasti gelisah kalau dia gak dateng sedangkan om lo udah semakin neken lo untuk nikah ya?" Tanya Barri tepat sasaran.

"Kalau cowok itu gak dateng, lo yang gue nikahin," ucap gue asal yang membuat Barri melotot dan memandang gue dengan tatapan ngeri.

"Jangan ancurin masa depan gue dengan nikah sama lo, please!" Mohon Barri ke gue dengan wajah jeleknya yang dibuat-buat.

Gue juga sebenernya mikir-mikir kalau nikah sama Barri, untuk masalah kerjaan dia mungkin bisa di andalkan. Tapi mulutnya yang susah di kontrol pasti akan membahayakan posisi gue nanti.

Pintu ruangan gue diketuk, tidak lama setelahnya laki-laki yang gue tunggu itu pun melangkah masuk ke dalam ruangan gue.

Dia bahkan menempati tempat duduk yang ada di depan gue tanpa gue suruh. Gue akui laki-laki ini punya nyali cukup besar untuk melakukan hal itu di saat posisinya sudah terjepit seperti sekarang.

"Bar, bisa keluar?" Pinta gue ke Barri .

Barri menuruti perintah gue untuk keluar dari ruangan gue dengan meninggalkan pandangan ingin tahu yang cukup besar.

Gue memang mengandalkan dia, tapi gue tidak mau mengambil resiko bocornya semua rencana gue. Barri cukup tau kalau gue mau menikah, tanpa harus tau detail isi surat perjanjian yang gue buat dan masa lalu gue sama Jasmine.

"Sekarang apa?" Tanya laki-laki itu tanpa basa-basi sama sekali. Mungkin dia masih ingat gue tidak suka berbasa-basi, atau mungkin memang dia sudah muak melihat gue.

Gue pun menyerahkan map yang ada di laci gue ke dia untuk dia baca. Dia pun melihat tulisan di dalam map itu secara seksama.

Tidak banyak point penting memang, hanya perjanjian pernikahan selama satu setengah tahun, kesepakatan dia untuk tinggal sama gue dan tidak menjalin hubungan dengan siapapun selama menikah dengan gue, dilarang mencampuri urusan pribadi satu sama lain, tidak ada skinship berlebihan, dan point-point kecil yang udah gue tulis dengan detail di dalam surat perjanjian itu.

"Semua yang ada di dalam map itu bersifat rahasia, gak boleh ada yang tahu selain kita berdua dan juga pengacara yang udah gue sewa."

"Gak ada pentingnya juga orang lain tau akan hal ini," timpal Rey ketus.

"Termasuk Jasmine," kata gue dengan penuh penekanan.

"Terus gue harus bilang apa sama dia?!" tanya Rey bingung.

"Kalau memang dia bener-bener percaya dan cinta sama lo, seharusnya waktu satu setengah tahun bukanlah waktu yang lama. Lo kasih pengertian aja kalau lo bakal balik sama dia. Tapi jangan dijelasin detail waktunya juga, karena kontrak ini bisa diperpanjang sampai waktu paling lama tiga tahun."

"Apa yang membuat kontrak ini bisa diperpanjang kaya gitu?" Tanya Rey.

"Kalau gue belum mendapatkan posisi presiden direktur perusahaan ini dalam waktu satu setengah tahun," jelas gue.

"Ck, dasar cewek gila," gumam Rey dengan tidak jelas, tapi gue masih bisa ngedenger semuanya dengan jelas.

"Dan cewek gila ini yang akan jadi istri lo, tolong jaga ucapan lo. Terutama di depan keluarga gue," desis gue tajem.

"Ini handphone baru lo yang boleh lo pake, sementara handphone lama lo akan gue tahan."

"Buat apa lo nahan handphone gue?!" Tanya Rey.

"Gue gak mau suami gue berhubungan dengan orang lain, apalagi sampai ketauan keluarga gue. Gue akan mengawasi semua gerak gerik lo selama lo terikat sama gue," ucap gue penuh penekanan pada kata suami.

"Gak sekalian lo umpetin gue aja?" Tanya dia sarkas.

"Ide bagus! Gue akan ngumpetin lo di apartemen gue. Lo bisa kuliah online biar gak malu-maluin banget ntarnya."

Gue bisa melihat laki-laki di depan gue ini mengepalkan tangannya, dia keliatan begitu kesal sekarang.

"Kapan acara pernikahannya?"

"Secepatnya, gue tinggal ngurus gedung, catering, baju, dan juga prewedding."

"Gak usah ada prewedding segala, karena gue gak mau ngelakuin itu sama lo," kata Rey ketus.

"Kolega dan relasi bisnis gue banyak, walaupun ini cuma nikah pura-pura gue gak mau pernikahan ini keliatan murahan dan terkesan ngedadak. Nanti gue disangka hamil diluar nikah lagi."

"Gak ada cowok yang mau ngehamilin lo juga," kata Rey yang membuat gue naik pitam.

Mulut laki-kali ini brengsek juga ternyata.

"Mulai hari ini lo pindah ke apartemen gue."

"Tapi baju gue dan perlengkapan gue yang lainnya?" Tanya dia kebingungan.

"Gue ganti semua penampilan lo mulai hari ini, gue gak mau punya calon suami yang keliatan kampungan."

"Bisa kontrol mulut lo ibu wakil direktur?" ucap Rey dengan emosi.

"Dengan senang hati kalau lo juga kontrol kelakuan lo," timpal gue.

"Barri!" Teriak gue yang membuat Barri langsung masuk ke ruangan gue.

"Kenapa bos? Ada yang bisa saya bantu?" Tanya dia dengan hormat ke gue. Karena ada orang lain di ruangan ini dia jadi bersikap sopan seperti itu.

"Make over dia," kata gue.

"Semua?" Tanya Barri .

"Ya, semua. Dari atas sampe bawah, dari luar sampe dalem," jawab gue yang membuat Barri mengeluarkan seringai mesumnya.

"Gak usah mikir macem-macem atau lo gue pecat Bar!"

[Sudah Terbit] Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang