○ dua tiga

19.9K 3.8K 203
                                    

Tetapi pada akhirnya gue sama sekali tidak bisa menolak permintaannya untuk mengajari dia. Omongan gue di restaurant tadi untuk memberi pelajaran ke dia ternyata benar-benar gue lakukan dalam artian yang sebenarnya. Satu hal yang gue baru tahu dari dia, ternyata dia orang yang cukup tanggap. Dia bisa menerima dengan mudah penjelasan dari gue yang memang lebih simpel dari buku-buku teori bisnis di luaran sana.

Sekarang Rey sedang membuat garis besar tugasnya yang akan dia salin dan diperbaiki lagi di laptop karena dosennya meminta tugasnya untuk dikirim via e-mail.

Dia mengerjakan tugasnya dengan cukup serius. Gue baru menyadari kalau dia kehilangan fungsi tangan sebelah kirinya, bukan yang kanan. Karena saat dia menarik kaki gue tadi, dia menggunakan tangan kanannya.

"Tangan lo..." ucap gue menggantung yang membuat Rey mengalihkan pandangannya kearah gue.

"Masih bisa dipake kok, cuma untuk menahan beban berat gak bisa, sedangkan kerja sebagai stuntman kan harus bisa menggunakan kedua tangan dengan baik," jawab dia.

"Nanti lo ada niat kerja dimana?" Tanya gue yang mengundang pandangan bertanya di mata Rey.

"Gue gak bisa terus-terusan menyokong semua kehidupan lo, kalau nanti kita udah cerai lo gak bisa bergantung sama gue. Makannya gue memilih untuk kuliahin lo, seenggaknya lo bisa berdiri sendiri nantinya," kata gue tanpa bermaksud menyinggung.

"Lo tau gak apa yang membuat gue ngerasa gak berguna di dunia ini?" Tanya Rey yang entah mengapa membuat gue mempunya firasat gak enak.

"Apa?" Tanya gue pada akhirnya.

"Bergantung hidup sama lo," jawab Rey sambil menutup buku yang ada di tangannya dan beranjak kearah kursi yang memang ada di kamar hotel kami. Mencoba memberi jarak yang cukup besar di antara kami.

Kami seperti dua sisi mata uang, dekat, tetapi tidak dapat saling 'melihat' satu sama lain.

"Gue gak bermaksud menyinggung lo, demi apapun! Gue cuma ngomong kenyataan yang harus lo sama gue hadapi."

"Tapi lo membuat gue terlihat sama sekali gak berguna sebagai suami!"

"Sama Rey! Lo pikir gue ngerasa berguna sebagai istri lo? Masakin makanan untuk lo aja gak pernah, semua pekerjaan rumah orang yang ngerjain, dan juga ... " gue gak bisa ngasih apa yang Jasmine kasih buat lo. Kepercayaan dan juga kasih sayang...

Gue merasa lebih frustasi sekarang, apalagi semenjak kejadian dia marah tadi.

"Lagipula ini semua cuma perjanjian hitam di atas putih Rey, jangan terlalu terbawa peran yang lagi lo mainkan..."

Kami sama-sama terdiam setelahnya, hanya bunyi detik jam yang terdengar, yang semakin lama terasa semakin terasa samar karena gue terlarut dalam pikiran gue sendiri.

Kenapa pernikahan kontrak harus serumit ini? Kami hanya dua orang yang saling tidak mengenal yang harus tinggal satu atap di bawah naungan hukum yang sah. Seharusnya tidak ada perdebatan atas siapa yang 'menafkahi' dan mengurus keperluan apartemen yang kami tinggali. Ego dia sebagai lelaki, dan juga ego gue untuk tidak mau kalah dengan perbedaan gender membuat semuanya semakin sulit.

"Gue tau ini cuma kontrak, tapi bagaimanapun semua orang tau kalau lo adalah tanggung jawab gue sekarang," kata Rey yang membuat gue sadar dari lamunan gue.

"Gue gak peduli akan sudut pandang lo yang hanya menganggap gue sebagai seorang pemeran pembantu di kehidupan lo, yang gue peduliin adalah harga diri gue sebagai seorang laki-laki yang udah nikahin lo. Karena dimata negara, hukum, agama, orangtua lo, keluarga lo, dan semua orang selain kita dan juga pengacara lo, gue adalah suami sah lo yang bertanggung jawab untuk menafkahi lo."

"Sepulangnya dari sini gue akan mencari kerja, meskipun gaji gue gak akan sebesar seorang wakil direktur kaya lo, gue akan berusaha menafkahi lo."

"Gue gak minta apapun lagi dari lo selainmengahargai keputusan gue saat ini, cuma itu yang gue minta dari lo sebagaiseorang istri."     

[Sudah Terbit] Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang