Gita's POV
Sudah dua hari dan sama sekali tidak ada kabar dari laki-laki itu. Hal itu membuat gue kesal.
Dia mungkin menyangka gue main-main, tapi gue tidak pernah main-main sama omongan gue.
"Bar, ayo ke kafe itu!" Ajak gue ke Barri.
"Lo mau ngapain?" Tanya Barri.
"Ngecek aja gimana kalau dua orang itu ngeliat gue."
"Kerjaan lo masih banyak Git," tukas Barri mencoba menghindari masalah lebih jauh.
"Sebentar doang Bar, ntar malem gue lembur. Kayanya laki-laki itu butuh gertakan."
Dan Barri tidak bisa membantah gue lebih jauh lagi.
Gue menyuruh Barri untuk tetap menunggu di mobil sementara gue masuk ke dalam kafe itu.Jasmine masih belum menyadari kehadiran gue, sampai dia menghampiri gue karena pelayan lain lagi sibuk melayani pelanggan yang lain.
"Ada yang bisa sa-" ucapan dia terhenti begitu saja saat melihat gue.
Mukanya yang tadi sumringah di balik meja kasir tiba-tiba berubah jadi pucat pasi begitu melihat gue.
"Gita Alodia Hermawan?" Tanya Jasmine dengan sedikit ragu.
"Masih inget sama gue?" tanya gue sambil mengulum senyum sinis, "Oh iya, gue yakin lo gak mungkin lupa karena lo udah ngeganti nama gue di buku tugas gue kan?" lanjut gue dengan sarkas.
"Mau apa lo kesini?!" Tanya Jasmine membentak gue.
"Pembeli adalah raja, lo lupa? Lo memperlakukan semua pembeli lo kaya gini? Wajar aja kafe ini gak laku." Ucap gue menyindir.
Gue bisa melihat tangan Jasmine mau menampar wajah gue, tapi sebelum mengenai wajah gue, tangannya sudah lebih dulu gue tangkis.
"Jaga tingkah laku lo di depan pelanggan," kata gue sinis dengan senyum meremehkan. Jasmine pun melihat para pelanggannya yang kini memperhatikan pertengkaran kami dengan gelisah. Setelahnya Jasmine melepaskan tangan dia yang gue genggam untuk menangkis tamparannya tadi.
"Kenapa queen? Malu ngeliat gue sekarang diatas lo? Roda kehidupan berputar. Gak selamanya lo ada di atas dan punya segalanya yang lo mau."
Jasmine menggeram karena kesal, dan tangannya kini mengepal dengan kuat.
"Gue punya berita bagus buat lo Jasmine," kata gue yang membuat Jasmine memusatkan atensinya ke gue.
"Sekarang gue yang punya tanah ini." Ucap gue dengan penuh kemenangan.
Jasmine sekarang melihat gue dengan tatapan terkejut yang membuat gue tersenyum penuh kemenangan dalam hati.
"Ngeliat kafe ini yang udah gak punya prospek bagus kedepannya, gue rasa kafe ini lebih pantes untuk rata sama tanah," desis gue di kuping Jasmine yang membuat air mata di wajah Jasmine menggenang.
Dulu mungkin lo bisa bertingkah semau lo dan semua orang menaruh simpati sama lo, tapi enggak dengan sekarang Jasmine .
Tidak lama kemudian gue mendengar pintu kafe ini terbuka dengan sedikit kasar dan gue di tarik keluar kafe oleh laki-laki sombong itu.
"Ngapain lo disini?!" Desis Rey dengan tajam ke gue.
Kira-kira apa ungkapan yang tepat?
Pangeran yang menyelamatkan putrinya disaat yang tepat?
Tch. Sayangnya gue tidak percaya dengan fairy tale dan juga kisah happily ever after.
"Untuk memastikan kalau kafe ini emang pantes untuk rata sama tanah," jawab gue dengan nada menantang.
"Jaga omongan lo ya!" Kata Rey dengan sedikit membentak ke gue.
Gue melepaskan genggaman tangan Rey dari tangan gue dengan sedikit paksaan.
"Sekarang apa keputusan lo? Inget gue cuma ngasih lo waktu tiga hari," kata gue dengan sinis.
"Gue gak bisa," jawab dia.
"Gak bisa apa?! Ngomong tuh yang jelas!" Kata gue ketus.
"Gue gak bisa ngebiarin lo ngerusak kebahagiaan Jasmine," kata Rey yang membuat gue mendengus geli.
Ini orang udah dibutakan sama yang namanya cinta, jadi dia tidak bisa melihat bagaimana busuknya seorang Jasmine.
Laki-laki ini memang bodoh.
"Kita nikah, cuma setahun."
"Gue akan nemuin lo untuk ngebahas hal ini lebih jauh, tapi kasih waktu gue seminggu," ucap laki-laki itu.
"Apa yang bisa menjamin kalau lo gak akan kabur?" Tanya gue sangsi.
"Apa lo gak pernah yang namanya percaya sama orang?" Tanya Rey heran.
"Dalam bisnis emang harus ada kepercayaan, tapi gue harus memilah siapa orang yang bisa gue percaya dan gak gue percaya."
"Ini kartu identitas gue, gue akan temuin lo dalam waktu seminggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] Dua Sisi
General FictionUntuk saat ini keduanya mungkin tidak menyadari telah berperan terlalu jauh dalam kehidupan masing-masing. Kita tidak tahu siapa saja pemeran utama di dalam kehidupan kita selain diri kita, yang mungkin bisa muncul kapan saja di sepanjang kehidupan...