Pesawat Boeing 747-400 milik maskapai nasional Indonesia telah lepas landas meninggal Bandar udara Internasional Soekarno-Hatta beberapa menit setelah para penumpang dengan rute Jakarta-Denpasar itu mengisi kursi penumpang mereka masing-masing. Prayly yang duduk berdampingan dengan bundanya dalam kelas bisnis itu pun hanya bisa termenung memandangi ribuan awan putih yang membentang dari balik jendela kabin pesawat. Pikirannya melayang jauh mengingat senyum manis Arya, bersama dengan semua hal-hal indah yang pernah mereka jalani selama ia duduk dibangku kelas 1 Sekolah Menengah Pertama itu. Prayly mengingat bagaimana mereka bertiga Prayly, Arya dan Bella sering berjalan bersama disetiap sudut sekolah. Duduk bersenda gurau cekikikan menceritakan banyak hal dikantin mie ayam bakso favorite mereka sembari menunggu pesanan. Juga mengingat bagaimana lucunya mereka bertiga harus selalu mendapat pelototan tajam dari Ibu Nadia sang penjaga perpustakaan karena mengoceh terlalu keras hingga menganggu ketenangan murid lain yang sedang khusyuk membaca.
Sesekali prayly sedikit menarik sudut bibirnya keatas saat ia membayangkan kala sang Ibu penjaga perpustakaan mengusir mereka keluar, karena berebut ingin membaca sebuah buku yang menggambarkan secara detail bagaimana itu proses reproduksi seorang manusia hingga buku-buku disekitar rak tempat mereka berdiri tadi jatuh berantakan ke lantai. Sungguh hanya saat Prayly berseragam sekolah sajalah keadaan dimana ia dapat tertawa lepas dengan dua orang sahabatnya. Jika sudah berada di rumah dan bertatap muka dengan sang Bunda, maka suasana canggung bahkan serasa mencekam pun harus ia terima akibat sikap sang bunda yang telah berubah menjadi sosok manusia baru yang kejam dan tidak berprikemanusiaan itu.🍃🍃🍃
Perjalanan dengan waktu tempuh 1 jam 40 menit itu akhirnya benar-benar telah menciptakan jarak ribuan mil laut diantara hari yang kemarin dan hari ini. Pesawat yang ditumpangi Prayly mendarat dengan mulus tanpa hambatan di Bandar udara Internasional Ngurah Rai Denpasar, Bali. Dengan tenang para penumpang si burung besi itu turun satu persatu dengan membawa barang bawaan mereka masing-masing. Erica berjalan sedikit lebih di depan dengan Prayly yang terus berjalan mengekorinya. Wanita itu mengambil telepon genggamnya lalu mulai berbicara dengan suara diujung telepon itu.
Sambil menunggu barang bawaan mereka yang berada dalam bagasi pesawat tiba, erica berbincang-bincang dengan seorang pria yang sepertinya adalah orang yang diteleponnya tadi. Tidak begitu lama Ibu dan anak itu keluar dari sana dengan dibantu oleh pria yang tadi dikenalkan Erica sebagai seorang supir di resort milik Ayah Prayly. Pak Nengah membukakan pintu mobil lalu mempersilahkan majikannya naik. Ia membuka bagasi mobil dan memasukkan barang bawaan itu kedalamnya. Lalu dengan tergesa-gesa membuka pintu mobil dan duduk dibalik kemudi sembari menjalankan mobil keluar dari kawasan bandar udara itu.
"Maaf, Bu. Apa kita mau langsung ke resort atau Ibu ada keperluan dulu disini?" ucap Pak Nengah bertanya mencairkan suasana tanggung diantara mereka.
"Langsung saja ke resort, Pak. Kalau bisa agak cepat, yah? Malam nanti saya ada janji makan malam dengan klien di resort." ucap Erica menerangkan.
"Baiklah, Bu" ucap Pak Nengah singkat.
Mobil pun berjalan dengan tujuan resort milik Mendiang Ayah Prayly di daerah Kota Singaraja, Kabupaten Buleleng Bali. Resort itu dibangun Felix Ananta beberapa tahun silam. Dulu saat usia Prayly masih 10 tahun, ia bersama Ayah dan Bundanya pernah datang kesana mengikuti acara peresmian resort itu. Setelahnya Prayly tak pernah lagi mengunjungi tempat tersebut karena sang Ayah dan Bundanya tak pernah lagi mengajaknya berkunjung kesana.
Selama ini hanya Ayahnya lah yang wara wiri mengurusi tempat usaha mereka itu jika ada hal yang mengharuskan beliau hadir ditempat. Perjalanan dari kota Denpasar ke Singaraja memerlukan waktu kurang lebih sekitar 2 jam 30 menit. Singaraja sendiri adalah ibu kota Kabupaten Buleleng yang berada diwilayah utara Propinsi Bali. Sepanjang perjalanan Prayly melihat pemandangan yang masih hijau, jauh dari polusi dan kemacetan seperti di kota kelahiran itu. Akan tetapi jalan menuju kesana sangat bisa membuat jantung Prayly terdengar seperti seseorang yang sedang berlari diatas treadmill. Bagaimana tidak, banyaknya tikungan tajam disertai hujan berkabut membuat prayly tak bisa ikut memejamkan mata seperti Erica yang ternyata sudah sedikit terlelap itu.
Prayly tetap pada posisinya, duduk melihat kearah jendela sembari asik mengamati tetesan hujan yang jatuh ke bumi. Sesekali ia juga mengamati dan membaca tiap sisi jalan yang mereka lalui. Mobil mereka melewati daerah badung, kemudian daerah Tabanan, lalu daerah Bedugul, disusul daerah terakhir yaitu desa Gitgit sebelum akhirnya sampai didaerah tujuan mereka yaitu Singaraja. Prayly merasakan sedikit perasaan lega saat mobil mereka telah sampai di wilayah ini. Cuaca diluar juga tidak seperti disepanjang perjalanan mereka tadi. Sinar matahari sedikit cukup panas disini. Pak Nengah langsung mengemudikan mobil itu menuju resort Ayahnya yang berada tak jauh dari pantai Lovina.
Erica yang kala itu sudah sedikit sadar, langsung menegakkan posisi duduknya dan bersiap-siap. Ia menyisir rambut yang hanya sampai dibahu itu, kemudian mengambil bedak padat dari tas tangannya lalu menyapukan sedikit ke wajah dan terakhir memoleskan kembali pemerah bibir yang berwarna merah maron itu ke bibirnya. Erica pun sudah tampak lebih fresh sekarang. Mobil pun sampai dipelataran parkir resort yang kini di kelola oleh Erica. Mereka turun setelah sang Manager berserta seorang lainnya membuka pintu mobil untuk sang Ibu dan anak. Pak manager kemudian berjabat tangan dengan Erica dan Prayly seraya menyunggingkan senyum hangat menyapa mereka.
"Selamat datang kembali diresort ini, Bu Erica. Bagaimana perjalanan anda tadi? Saya harap Ibu dan nona merasa nyaman setelah lamanya perjalanan." ucap Manager itu lagi sambil berjalan mengikuti langkah kaki Erica yang terus berjalan hingga masuk ke dalam lobby resort itu.
Erica hanya menganguk sekilas pada manager itu tanpa mau berbasa basi membalas ocehan orang itu. Mereka masuk ke lobi hotel dan dengan cepat sang manager mengarahkan Erica menuju lift yang akan membawa sang Boss ke kamarnya.
Yah, begitulah kejadiannya. Dari plakat nama yang Prayly baca didepan tadi, resort milik Ayahnya ini ternyata sudah berganti jenis usaha. Jika dulu hanya sekedar sebuah resort kecil, kini penjelasan dari plakat nama itu menjelaskan jika tempat ini telah menjadi sebuah hotel dan resort yang didalamnya tak hanya ada kamar tidur saja. Tetapi juga disini terdapat restaurant, cafe yang menyuguhkan hiburan life musicnya, sebuah ballroom besar tempat beberapa pertemuan sering diadakan berserta sebuah diskotik yang masih sepi jika dilihat dari luar.
Disana juga tertulis bahwa kawasan milik Ayahnya ini terdapat wanaha taman bermain air. Juga disekitar daerah pantai belakang resort telah menjadi area para turis asing maupun local memanjakan dirinya dengan bermain surfing, jetski, flying board, banana boat, rolling donut, flying fish, snorkeling, sea walker, parasailing, waterski, wakerboarding, scuba diving, ataupun glass bottom boat. Prayly tak menyangka, Ayahnya bisa membangun tempat ini hingga menjadi sebesar ini. Ia kembali bersedih mengingat perjuangan sang Ayah.
Erica menerima kunci kamar suite dari sang Manager. Ia juga menyuruh orang itu menunjukkan kamar untuk Prayly beristirahat. Sebelum pergi, Erica menyuruh Prayly duduk diam di kamar dan jika lapar maka ia bisa memesan makan langsung dari restaurant hotel melalui telepon. Erica menjelaskan bahwa sebentar lagi ia akan bertemu klien penting. Jadi wanita itu menekankan perintahnya pada sang Puteri agar Prayly tak berbuat ulah disini. Gadis kecil itu mengangguk tanda mengerti. Akan tetapi sesaat kemudian Erica langsung menarik tas selempang putih yang Prayly pakai dengan kasar.
Sang wanita kejam tersebut lantas membongkar tas Prayly lalu kemudian mengambil ponsel milik putrinya didepan mata Manager serta seorang staf perempuan yang sedari tadi bersama mereka. Prayly kaget setengah mati melihat kebengisan sang bunda yang tanpa malu melakukan hal itu didepan banyak orang.
Erica yang jahat itu pun mengambil dompet Prayly, membukanya kemudian mengambil kartu ATM beserta beberapa kartu kredit yang pernah diberikan mendiang Ayahnya. Yang lebih menohok perasaan adalah, sang Bunda mencengkeram tangan Prayly dan membalikkan tubuh gadis itu dengan kasar seraya merogoh saku belakang celana jeans yang dipakainya. Prayly gelagapan melihat hal itu. Ia berusaha menahannya namun Erica dengan cepat menarik surat itu keluar. Di depan ke tiga pasang mata yang melihat kelakuan jahatnya itu Erica merobek-robek surat bersampul biru awan itu menjadi potongan-potongan kecil lalu melemparkannya ke wajah Prayly.
"Sudah aku bilang jadilah anak yang penurut kan, Prayly?" ucapnya sedikit meninggi.
"Apa kau mengira aku bodoh dan tak memperhatikan apa yang dilakukan anak perempuan tolol si Gunaldi itu tadi dibandara, hah? Jadi jangan salahkan aku jika saat ini aku harus menyita ponseldan juga semua kartu pembayaranmu." ucap Erica lagi.
Prayly yang merasa sang Bunda sudah terlalu kejam terhadapnya itu pun hanya bisa terisak mengeluarkan segala beban batin dalam hati.
"Ida Ayu!" ucap Erica memanggil staf hotel perempuan itu.
"I...iya, Bu" jawabnya bergetar.
"Cepat kau antar dia ke kamarnya. Jaga dan Awasi anak ini. Jangan sampai kabur dari sini kau dengar?" perintah Erica kasar.
"Ba...baik, bu." ucapnya seraya menunjukkan arah kepada Prayly agar ia mengikuti langkahnya.
Prayly pun berbalik pergi dari hadapan Bundanya. Sepanjang jalan menuju kamar ia terus saja menangis tanpa jeda. Bahkan setiba dikamar pun, hal itu masih saja ia lakukan. Dalam hati Prayly merutuki hidupnya yang malang. Ida Ayu yang ternyata masih berusia 25tahun itu berusaha mencairkan suasana hati Prayly dengan mengajaknya berbincang.
"Hei gadis cantik, kamu akan berubah menjadi jelek jika terus menagis. Perkenalkan, namaku Ida Ayu Laksmini. Aku bekerja disini sebagai staff HRD." jelasnya sambil tersenyum.
Prayly yang kala itu masih sedikit terisak, langsung memandang kearah Ida Ayu sembari menerima uluran tangan tangannya. Gadis itu merasa sedikit lega saat tahu orang yang berada di depannya begitu lembut saat berbicara.
"Egh... Aku Prayly, ka. Gabriella Prayly Ananta" ucapnya sedikit parau akibat habis menangis.
"Kenapa kamu menangis, Prayly?" tanyanya lagi.
"Emmm... Enggak kenapa-napa kok, Ka." ucapnya sedikit lirih.
Prayly ragu untuk menceritakan hal pribadinya kepada orang yang baru ia kenal itu. Ida Ayu yang sadar, mungkin pertanyaannya membuat Prayly merasa sedikit cangung untuk menjawab. Ida Ayu tersenyum lembut menatap Prayly yang hanya duduk terdiam sembari memasukkan dua koper besar milik gadis itu ke dalam kamar. Setelahnya ia membuka lemari pendingin yang berada didalam kamar hotel itu dan mengambil dua kaleng minuman lalu menyodorkan satu pada Prayly.
"Nih... Minum dulu, biar tenang." ucap Ida Ayu lagi.
"Terima kasih, Ka." ucap Prayly tulus menerimanya.
"Apa kamu lapar, Prayly?
Jika kamu lapar Kakak akan langsung ke restaurant dan memesankannya untukmu. Jadi kamu enggak usah telepon segala, yah? Nanti biar sekalian Kakak bawakan kemari." ucap Ida Ayu menjelaskan.
"Egh... Belum kok, Ka. Prayly belum lapar. Gampanglah, Ka. Kalau aku lapar nanti tinggal telepon aja tuh." ucap Prayly menunjuk ke arah telepon putih di atas nakas tersebut.
Sejujurnya Prayly memang belum terlalu lapar karena saat dalam perjalanan ke Singaraja tadi, mereka sempat berhenti sejenak untuk mengisi perut mereka di daerah Tabanan. Sekarang yang hanya ingin Prayly lakukan adalah membersihkan diri dikamar mandi karena seluruh tubuhnya sudah terasa lengket dengan peluh. Lalu beristirahat sejenak sembari menunggu hal apa lagi yang mungkin akan diperbuat oleh Erica nanti.
"Baiklah jika kamu belum mau mengisi perutmu, nanti Kakak sendiri saja yang akan menyiapkan untukmu di bawah, yah? Kamu mandi dan siap-siap. Setelahnya akan Kakak jemput biar nanti kita makan dibawah saja." ucap Ida ayu melanjutkan.
"Hah? Prayly sedikit kaget mendengarnya. Dia takut jika nanti sang Bunda mengetahui hal itu maka akan terjadi apa lagi padanya.
"Enggak deh, Ka. Prayly takut nanti Bunda bisa marah kalau Prayly membantah perkataannya." ucapnya cepat.
"Hemm... Baiklah, Gadis cantik. Kakak akan menuruti semua kehendakmu." ucap Ida Ayu sambil menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah Prayly.
Prayly tersenyum menatap Ida Ayu. Dia merasa bahwa Tuhan masih sayang padanya dengan mengizinkan ia mengenal seseorang yang lembut seperti Ida Ayu.
"Kalau gitu Prayly mandi dulu yah, ka?" ucapnya lagi.
"Oke!" ucap Ida Ayu membalas perkataan Prayly sembari berjalan keluar menuju pintu kamar itu lalu menutupnya.
Prayly pun berjalan ke kamar mandi. Ia melihat kedalam, lalu mengisi bath up dengan air hangat. Dia menunggu bath up sedikit penuh sambil mengambil sabun lavender kesukaannya dari dalam koper. Lalu menuangkan ke dalam bath up kemudian segera menanggalkan semua pakaian dan berendam didalamnya. Prayly memejamkan matanya sembari mengingat setiap sisi ruas wajah tampan seorang Arya Bramantyo.
Perlahan tubuh Prayly mulai sedikit melemah, matanya tertutup dengan kepala yang sudah terjatuh ke pundak sebelah kiri. Prayly tertidur didalam bath up dengan segala beban yang ada dalam dirinya.
Sementara itu ditempat lain, Erica sudah siap menemui kliennya. Ia mengenakan gaun malam berbahan brokat dengan punggung belakang yang sedikit transparan. Erica melihat hasil riasan wajahnya dicermin kemudian segera memasang high heel dan beberapa detik setelah itu ia mengambil tas tangannya lalu berjalan keluar kamar menuju cafe tempat klien itu mengajaknya makan malam. Klien itu tak lain adalah Edward Smith seorang CEO muda dari negeri kanguru.
Edward dan Erica adalah teman sekampus saat ia melarikan diri dari bayang-bayang cinta Felix yang saat itu tak dapat digapainya. Edward sangat dekat dengan Erica pada saat itu. Kemanapun wanita itu ingin pergi, Edward dengan senang hati menemaninya berkeliling kota Melbourne. Edward bahkan mengajak Erica berlibur ke Sidney saat musim panas tiba dan juga mengunjungi kebun anggur keluarganya di Adelaide. Jujur saja, hubungan Edward dan Erica sebenarnya sudah sangat dekat. Mereka sering menghabiskan malam di apartement mewah milik Edward selama Erica menjadi mahasiswa di University of Melbourne. Edward sangat memuja dan mencintai Erica dengan tulus. Bahkan hingga saat ini lelaki itu tak mampu menghilangkan perasaan cintanya pada Erica meskipun waktu sudah berlalu 13 tahun lamanya.
Dulu Edward menganggap mungkin Erica hanyalah cinta sesaat dalam hidupnya. Mengingat mereka masih berusia 20 tahun kala itu. Sehingga saat Erica meninggalkannya lalu pindah kembali ke Indonesia, ia membiarkan wanita itu pergi tanpa berniat mencari. Namun tanpa Edward sadari, seiring waktu berjalan ia tak bisa menghilangkan segala perasaannya pada Erica. Edward kemudian selalu berusaha mencari tahu keberadaan Erica di Indonesia. Laki-laki itu berang ketika tahu Erica pulang karena akan menikah dengan Felix Ananta, sang Kakak Ipar yang ditinggal mati oleh Isterinya. Edward terus berusaha merebut Erica kembali bagaimana pun caranya.
Ia berusaha menanamkan modalnya pada perusahaan Felix Ananta dan terus mencari celah agar ia dapat menyingkirkan Felix. Namun selalu gagal karena Felix sangat bisa mengatasi segala kemelut diperusahaannya yang secara tak kasat mata diciptakan oleh Edward bahkan dengan tenang tanpa tercium oleh para Investor dan pemegang saham. Laki-laki itu juga geram dengan sikap Erica yang tak mau meninggalkan Felix walaupun saat itu mereka secara diam-diam terus bertemu dan menjalin hubungan seperti saat mereka masih berada di Melbourne dulu. Hingga pada suatu ketika, Edward menghasut Erica untuk menyingkirkan anak kesayangan Felix dengan memberikan ide gila tentang kebakaran itu. Edward juga merencanakan meeting silumannya dengan Felix di Singapura. Saat rencana kebakaran sabotase Erica sudah akan berhasil di depan mata. Edward menelpon Felix secara misterius yang saat itu berada dalam perjalanan ke menuju bandara.
Dia memperdengarkan suara rekaman percakapan Erica dengannya yang akan melenyapkan Prayly. Maka peristiwa naas itu tak dapat terelakkan. Felix sang musuh bagi seorang Edward akhirnya meregang nyawa dalam kebakaran yang ternyata terlahir dari ide gila seorang Edward Smith. Akan tetapi Edward tidak menyangka bahwa Erica sang pujaan hati harus menjadi korban dari ide gilanya itu. Erica stress berat hingga harus kehilangan janin 5 bulan dalam rahimnya yang selalu Edward yakini bahwa itu adalah hasil buah cinta mereka. Bukan dari perbuatan Felix seperti yang diyakini Erica. Setelah itu Edward membawa Erica teraphy ke singapura dan terus menghasut Erica bahwa Prayly yang harus dipersalahkan dalam hal ini bukan Erica. Edward mendoktrin Erica bahwa Prayly adalah anak sial dan sebagainya agar si Ibu tiri itu terus membenci Prayly. Lalu melenyapkan anak itu untuk pergi hidup bersamanya di Sidney. Tetapi Erica masih saja berkeras hati tidak mau menuruti keinginan Edward sebelum Erica bisa mengambil seluruh harta peninggalan Felix.
Edward acap kali bertengkar dengan Erica. Ia merasa wanitanya itu benar-benar bodoh mengharapkan kekayaan yang ternyata jatuh pada anak kesayangan Felix, sementara Edward sendiri dapat memberikan semuanya lebih dari itu. Tetapi ia hanya bisa luluh dihadapan Erica yang polos tanpa sehelai benang pun kala itu, dan berjanji akan membantu Erica melenyapkan Prayly agar harta kekayaan Felix jatuh ke tangan Erica. Itulah syarat yang Erica ajukan jika Edward ingin menikah dengannya.
Sungguh miris kenyataan hidup yang terjadi di antara mereka berdua yang saling menyakiti demi rasa obsesi sesaat. Obsesi sang CEO tampan pada seorang wanita yang sangat ingin dimilikinya. Serta Obsesi sang Ibu tiri yang ingin melenyapkan anak tirinya. Yang Tanpa ia sadari Prayly adalah anak yang terlahir dari rahim Kakak sedarahnya sendiri.🍃🍃🍃
KAMU SEDANG MEMBACA
BALI, LOVE & SACRIFICE (MASIH LENGKAP)
ChickLitTulisan pertama beta. Kalau masih berantakan, mohon dimaafkan. Aku selalu sadar bahwa takdir kita manusia hanya ada di tangan sang Empunya dunia. Namun, apakah ini adil Tuhan di saat aku mengandung benih darinya, Engkau malah merenggut nyawany, dan...