Satu bulan delapan hari sudah Aryo meninggalkan Prayly untuk selama-lamanya tanpa pernah pernah di duga. Perempuan itu kini berada di kota Denpasar dengan kondisi berbadan dua, sedang dalam fase mengidam, pagi hingga sore hari berusaha membuat perusahaan percetakan yang dulunya adalah kedok sang Paman dalam usaha jual beli senjata ilegal itu kembali maju dan sorenya tanpa mengganti pakaian ia masih berburu dengan kesibukan meraih sebuah gelar di belakang namanya. Mengapa seperti itu? Jawabannya karena Prayly tak ingin larut dalam kesedihan. Ia berusaha tidur teratur setelah selesai kelas malamnya juga dengan mati-matian sering menegaskan pada calon bayi yang masih berusia dua bulan dalam rahimnya itu untuk memakan semua jenis makanan sehat tanpa memilah milih seperti kebanyakan wanita hamil lainnya. Kadang kala di saat Prayly merasa sudah sangat penat dalam bekerja, dia akan mengajak Claudya Anastasya Kusuma untuk menemaninya mencari rujak bulung di daerah sekuta, sanur - Denpasar, Bali.
Claudya Anastasya Kusuma? Yah, perempuan yang dulu pernah menjadi bagian dari masa lalu Mendiang Aryo Bramantyo itu kini tengah dekat dengan dirinya sejak Wilfed juga tak ada lagi di dunia ini. Dia bingung hendak mencari serta merekrut siapa yang bisa membantunya untuk benar-benar mengurus perusahaan percetakan itu. Awalnya dia berniat terus ke Singaraja sebuah daerah di Kabupaten Buleleng, Bali untuk bekerja membantu mengurus hotel dan resort yang berada dekat lantai Lovina itu. Namun Ricky berhasil membujuknya agar mau menjadi CEO menggantikan Mendiang Aryo di perusahaan tadi setelah Ricky membuat semua hal yang salah menyangkut kedok penjualan senjata ilegal mengatasnamakan usaha percetakan itu kembali tak lagi bermasalah. Karena kasihan pada sepupunya yang sudah mengeluarkan uang pribadi hingga hampir menyentuh Milyar Rupiah, maka dengan berat hati pun ia akhirnya menerima tugas itu. Prayly bertekad membersihkan nama perusahan itu agar tak lagi dicemooh publik serta demi karyawan yang bekerja disana.
Bicara tentang Tasy? Perempuan itu sempat ikut melayat ke Jakarta saat tiga peti mati dari orang terdekat dalam keluarga Ananta datang dari Negara tetangga, Brunei Darussalam. Dalam hati perempuan cantik tersebut, ia sesungguhnya sangat menyesali perbuatan yang sampai sekarang masih di rahasiakannya dari Prayly tentang mengapa dia sampai bisa bekerja di perusahaan percetakan tersebut. Karena kebetulan Edward Smith si Mafia narkotika itu juga ikut tewas merenggang nyawa dalam transaksi gelap yang ia rencanakan sendiri dan Erica Wibisono, tante sekaligus Bunda sambung dari Prayly itu kini mendekam di balik jeruji besi maka Tasya pun masih merasa aman untuk terus bisa bekerja di perusahaan percetakan yang sempat di sita oleh Kepolisian Daerah Kota Denpasar, Propinsi Bali tersebut. Kini Tasya bersyukur dengan kedekatan mereka, buah dari di angkatnya dia menjadi Asisten Pribadi Prayly Ananta itu. Dengan begitu, ia bisa sedikit demi sedikit membantu si wanita hamil tadi. Anggaplah semua sebagai ungkapan rasa bersalah karena secara tidak langsung telah membuat Aryo, lelaki yang masih berada dalam hatinya itu mati muda akibat dia menjadi mata-mata di perusahaan atas perintah dari si jahat Edward Smith dan Isterinya.🍃🍃🍃
"Kamu udah kasih tau Prayly belom kalo lusa itu Mama bikin Misa empat puluh hari meninggalnya Aryo? Kok dia enggak datang juga sampai hari ini? Kamu kemarin bilang dia bakalan datang, kan?"
Siska Bramantyo, Ibu dari dua anak kembar yang salah satunya telah tiada itu bertanya pada Anak lainnya yang tersisa, Arya Bramantyo dengan nada menginterogasi. Sementara Lelaki yang di tanya hanya manut-manut sembari sibuk menatap layar laptopnya. Dia sedang mengirimkan hasil tugas yang dosennya berikan melalui e-mail karena beberapa hari ini dia tak bisa ikut dalam mata perkuliahan yang saat ini ia kirimkan tugasnya itu. Lelaki itu ternyata sudah pindah kuliah ke Bali dan hebatnya, ia tinggal dekat sekali dengan apartement Prayly. Tapi sayangnya, dia masih saja terlihat bodoh karena tak secara langsung mau menyapa Prayly. Mereka berdua hanya memanfaatkan aplikasi chatting yang banyak terdapat dalam ponsel pintar masing-masing untuk saling berkomunikasi.
Bagaimana hubungan mereka saat ini? Kalau boleh dibilang, sudah sedikit membaik dan sepertinya akan menuju ke sebuah kebahagiaan. Karena komunikasi yang terjalin antara mereka berdua sudah sangat intens bahkan setiap hari pasti ratusan atau mungkin ribuan kata akan masuk ke ponsel masing-masing tanpa terputus. Hanya saja sekali lagi untuk bertemu dan menatap langsung serta menyatakan perasaannya di depan wajah cantik, Gabriel Prayly Ananta?
Lelaki itu masih merasa tabu. Bukan karena ia tak ingin secepatnya untuk bisa mempersunting perempuan yang sejak dulu masuk dan duduk bertahta dalam singgasana hatinya. Hanya saja ia sengaja memberi jeda untuk Prayly berpikir agar lebih matang dalam memilih apakah ia harus terus menjanda atau kembali menikah. Arya juga ingin supaya ikatan yang terjalin diantara mereka nanti terjadi atas dasar kasih, sayang serta cinta yang hadirnya secara naluriah dan tulus dari dalam diri Prayly. Tidak karena paksaan, tidak juga karena rasa kasihan atau iba mendalam serta juga tidak karena amanat terakhir Mendiang sang Adiknya.
"Mama tenang aja. Prayly bakal datang kok sehabis dia pulang kantor nanti."
Arya akhirnya bersuara untuk menenangkan pikiran Mamanya yang sedikit tak tenang dan terus menanyakan hal yang sama sejak ia pulang ke Jakarta kemarin. Wanita yang masih terlihat cantik di usia hampir setengah abad itu sempat marah besar karena Arya tidak membawa Prayly untuk sama-sama datang dari pulau Dewata, Bali. Bahkan ia sudah seperti orang kalap mencubiti pundak, pipi juga pinggang anaknya akibat rasa gregetan yang sudah tidak biasa ditahannya itu. Bagaimana tidak senewen, Arya dengan polosnya menceritakan pada Dewi, jika dia belum berani menemui Prayly di tempatnya kini berkuliah itu dengan alasan yang sungguh sangat klise dan kurang bisa Ibu dua anak itu terima, apalagi kalau bukan ia sibuk kuliah dan banyak tugas. Sebab dulu saat dirinya masih belajar di Singapura, setahu Dewi anaknya itu masih bisa pulang untuk mengikuti acara pemberkatan pernikahan sang Mendiang Adik tersayang meskipun tidak sampai turut berpartisipasi dalam acara resepsi mewahnya. Sehingga, hal itulah yang membuat Dewi mencubit anaknya itu.
"Kamu yakin dia bakalan datang. Coba mana nomor handphone Prayly kasih sini. Biar Mama bisa bicara langsung aja." celetuk Dewi menatap anaknya. Kontan saja hal itu membuat Arya yang sedari tadi focus dengan layar laptopnya menjadi menolekan wajah menatap Dewi Bramantyo, Mamanya.
"Mama enggak percayaan banget sih sama Arya. Kali ini serius, Ma. Ini yah Arya bacain ajah balasan dari Ayly."
Arya mengambil ponsel pintar yang ia letakkan di atas meja teras yang terbuat dari kayu jati itu dan berniat membacakan isi BBM-nya dengan Prayly. Tapi belum juga ia sempat membuka suara untuk membacakan chat itu, sebuah panggilan telepon tiba-tiba saja masuk ke ponselnya dan hebatnya! Panggilan tersebut berasal dari perempuan berbadan dua yang sedari tadi menjadi subjek dari obrolan siang hari antara Ibu dan Anak lelakinya.
"Egh, Prayly?" ucap Arya termangu.
"Ya udah gih, dijawab dong teleponnya. Kamu gimana sih? Kali aja ada hal penting tuh."
Siska berkata sembari hendak meraih benda pipih milik Anaknya itu. Tapi kemudian Arya dengan sigap menjauhkan tangannya yang memegang ponsel tersebut dan berdiri cepat mencari tempat tenang agar jauh dari jangkauan Mama kepo-nya itu.
"Ha... Halo, Ly!"
"Halo, Ya. Jemput aku dong sekarang kalau kamu ada waktu. Emmm... Aku udah di Bandara Soetta nih. Kamu janji kan kemarin? Kalo aku balik Jakarta bakalan dijemput sama kamu?"
Prayly berkata dengan sedikit bersemangat yang terdengar dari nada bicaranya. Secara otomatis Arya yang kaget mendengar berita itu pun sedikit terpekik ditempatnya berdiri.
"Kamu serius, Ly?" ucapnya.
"Ich, aku serius kali. Duarius tigarius empatrius deh kalo bisa. Hehehe..."
Prayly menjawab ocehan lelaki itu dengan sedikit berkelakar. Tak pelak, Arya yang mendengar hal itu pun ikut terkekeh dibuatnya.
"Oke deh sekarang kamu dimana? Emmm... Kamu tunggu aku di kantin Bandara deket situ aja yah, Ly. Jangan kemana-mana. Ingat kandungan kamu. Aku enggak kamu loh kamu sampai kecapean gegara aku." jawab lelaki itu lagi.
Terang saja Prayly yang merasa sangat di perhatikan itu menjadi sangat senang dan semakin melebarkan senyumnya. Untung saja ia sedang berbicara melalui lubang telepon. Jadi Arya tidak bisa melihat secara langsung semburat merah jambu yang kini tercetak jelas di wajah cantiknya itu.
"Ya udah, aku tungguin di cafe Bandara deh. Kamu tenang aja, aku enggak papah kok. Emm... Udah dulu yah? Koper aku udah keluar dari bagasi tuh, Ya. Udah dulu yah? Bye..."
Prayly membalas perkataan Arya dengan sebuah janji jika ia akan menunggu kedatangan lelaki itu sekaligus menyudahi obrolan mereka. Sementara di detik terakhir sambung telepon tersebut, Arya masih sempat mengucap kata 'hati-hati' sebagai bentuk perhatiannya. Terang saja setelah kontak suara itu terputus, Prayly benar-benar merasa seperti sedang berada di awang-awang. Parahnya ia sampai hampir salah mengambil koper karena lupa jika miliknya tadi sempat terbungkus oleh plastik bening dari petugas Angkasa Pura di Bandara Ngurah Rai, Denpasar - Bali, kota yang menjadi tempat asal keberangkatannya tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BALI, LOVE & SACRIFICE (MASIH LENGKAP)
ChickLitTulisan pertama beta. Kalau masih berantakan, mohon dimaafkan. Aku selalu sadar bahwa takdir kita manusia hanya ada di tangan sang Empunya dunia. Namun, apakah ini adil Tuhan di saat aku mengandung benih darinya, Engkau malah merenggut nyawany, dan...