Part 24. Kematian Berdarah

1.5K 121 4
                                    

     "Arya, gue minta tolong sama lo. Jika suatu saat gue udah ngak ada lagi di dunia ini, jagain Prayly dan Jagoan kecil gue yang ada dalam perutnya saat ini. Sebagai ade, gue minta maaf jika pernikahan gue ternyata membuat lo terluka hingga lo ngak bisa dateng ngasih selamat buat gue. Maafin gue, Ya. Gue emang Adek kurang ajar yang mungkin pernah ada dimuka bumi ini. Tapi satu hal yang perlu lo tau, Ya. Gue terlalu sayang Prayly dan apa pun itu akan gue berikan untuk dia, Ya. Termasuk nyawa gue sendiri."
     Sebuah pesan singkat terkirim ke nomor ponsel Emmanuel Arya Bramantyo. Dengan mata yang masih sedikit berat lelaki itu kemudian mengambil ponsel yang ia letakkan diatas meja belajarnya. Arya membaca pesan singkat itu dengan sekilas, namun sedetik kemudian ia mencoba mengecek kembali kebenaran mengenai apa yang barusan dibacanya. Ia mengucek kedua mata agar rasa kantuk yang masih bergelayut manja itu pun ddapat segera sirna dari dalam dirinya.
     "Aryo mengirimkan ku pesan seperti ini? Apa aku tak salah baca? Ada apa dengan otak licik Aryo? Bagaimana bisa dia menyuruhku menjaga Prayly yang secara tidak langsung sudah dia rebut dari ku?" Arya bergumam dengan suara berat khas seseorang saat baru bangun dari tidur.
     Dalam keheningan flat house yang ia tempati di negeri singa itu, dirinya kembali mengenang semua masa-masa indah saat kecil hingga dewasa. Bagimana dulu dia dan Aryo sang adik yang selalu akur bermain bersama, pergi ke Sekolah Dasar berdua maupun berkunjung ke rumah Tuhan dengan Papa dan Mama mereka.
     "Yo, lu kenapa disana? Pikiran dan badan gue rasanya kok sakit semua waktu ngiget lo, Yo? Jangan bilang kalo disana terjadi sesuatu sama lo, Yo. Becandaan lo bener-bener ngak lucu tau!"
    Arya memandangi album foto yang berisi foto-foto kenangan dengan Nathaniel Aryo Bramantyo, Adik kembarnya. Dia berbicara bahkan mengeluarkan beberapa bulir air mata saat jemarinya dengan lincah membuka lembar demi lembar halaman benda tersebut. Sejauh mata memandang dan jari yang terus bergerak membuka album itu, maka tampak juga dipandangannya beberapa lembar foto remaja saat ia berusia 12 tahunan. Disana tercetak jelas garis wajah cantik Gabriella Prayly Ananta dan juga Angeline Isabella Gunardi yang kala itu masih menggunakan seragam putih biru dan juga masih berstatus sebagai sahabat baik dirinya.
     "Ayly, benarkan saat ini kau tengah mengandung anak Aryo? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku senang mendengar kabar bahwa keluarga Bramantyo akan mendapatkan seorang anggota keluarga baru? Tapi mengapa rasanya begitu sakit? Lalu apa pula yang dimaksud Aryo dengan menitipkan mu dan anak kalian kepadaku? Apa dia sudah mendapatkan perempuan lagi hingga melemparkan mu begitu saja padaku seperti bola? Oh, Tuhan. Ada apa dengan semua?"
     Aryo masih saja bergumam dengan suara kecil sembari memandangi foto dirinya yang sedang duduk bersama kedua sahabat kecil, Prayly dan Bella. Karena rasa penasaran yang sudah tak bisa ia kendalikan lagi, maka ponsel yang sedari tadi ada didekatkannya pun menjadi sasaran rasa keingin tahuan dalam diri. Aryo menekan tombol tiga yang sudah ia setting untuk menyimpan nomor ponsel Aryo, Adiknya. Namun sayang, nomor ponsel yang tadi mengirimkan pesan itu ternyata sudah tidak aktif lagi.
     "Sial! Nomornya udah ngak aktif lagi. Gimanah cara gue nyari tau isi pesan ini." Arya mengumpat sendiri dalam posisi tubuh yang sedang duduk bersandar di tempat tidurnya.
     Otak yang encer itu ia gunakan untuk berpikir keras bagaimana cara agar dia dapat terhubung langsung dengan Aryo, Adik kembarnya. Lalu sepintas kemudian dia mulai mengobok-obok laci Almari pakaian kayu yang memang sudah terdapat dalam kamar itu sejak ia pertama kali menempatinya. Ia mencari sebuah benda yang saat ini mampu membuatnya berhubungan langsung dengan Nathaniel Aryo Bramantyo, sang Adik kembar. Pencarian akan sesuatu benda berharga di tengah malam dan menimbulkan suara berisik kecil itu akhirnya membuatkan hasil. Kertas persegi panjang kecil dengan warna putih yang sudah sedikit pucat akibat usang itu ternyata adalah sebuah kartu nama. Di dalam kartu nama tersebut tertera nama Fidelis Andreas Ananta, pemilik Ananta Samanta Crop. yang adalah Perusahaan pengolahan minyak bumi terbesar di Nusantara. Meskipun tulisan dalam kartu nama itu susah sedikit memudar, namun masih bisa Arya baca tanpa menggunakan alat bantu baca miliknya. Dengan cepat lelaki bungsu dari keluarga Bramantyo itu menuju kembali ke atas tempat tidur, duduk bersila lalu kemudian mengambil ponsel dan menekan nomor yang tertera dalam kartu nama tersebut.
     Pertanyaan yang terbersit di kepala anda mungkin, dari mana Arya mendapatkan kartu tersebut bukan? Yah, Arya memilikinya karena saat mereka berpisah saat di Bandar Udara Soekarno-Hatta beberapa ban lalu. Saat itu Aryo memberikan benda kecil itu padanya agar setibanya ia di Negara Singapura ini, ia bisa langsung menelpon dan menanyakan perihal apartement mewah yang dijanjikan Andreas Ananta kepadanya. Namun Arya sama sekali tak pernah menghubungi Pria paruh baya itu untuk meminta janjinya ditepati. Bagi cukup Orang tuanya saja yang menerima bantuan terbaik dari Ayah Ricky Ananta, tidak begitu dengannya.
     "Hallo, egh... Selamat malam. Maaf apakah ini nomor ponsel Bapak Fidelis Andreas Ananta?"
     Sebuah pertanyaan lolos begitu saja dari bibir tipis Arya mana kala yang mengangkat panggilan telepon darinya itu adalah suara seorang wanita dengan intonasi lemah lembut.
     "Saya Emmanuel Arya Bramantyo, Tante. Maaf mengganggu, saya menelpon hanya ingin bertanya sedikit mengenai Adik kembar saya, Aryo Bramantyo yang sudah menjadi menantu di keluarga Tante dan Om Andreas."
    Arya menjawab pertanyaan Miranda dengan setenang mungkin. Ia berharap dapat segera berbicara dengan Aryo dan menanyakan isi pesan singkat yang ia terima beberapa jam lalu. Sayang seribu sayang, Miranda sepertinya sedang memiliki riwayat kisah tak baik dengan Kakak kembar anak menantunya itu, terbukti begitu Arya menceritakan kronologi pesan yang ia terima, sambungan telepon itu pun terputus secara sepihak dengan sebelumnya Arya mendengar sebuah jeritan histeris dari ujung telepon dan juga mendengar suara dentuman benda jatuh ke lantai. Arya mendegus kesal dengan keadaan yang lagi-lagi tidak memihak kepadanya itu. Ia merasa sangat sial dengan garis hidup yang selalu tak berpihak pada dirinya. Pertama ia harus berpisah dengan Prayly sewaktu mereka masih berusia remaja, berkuliah di Negera Singapore dan tidak bisa melanjutkan pendidikannya di Bali agar ia bisa lebih sedikit leluasa mencari keberadaan Prayly hingga kesiapan lain yaitu kabar pernikahan Prayly dengan Saudara kembarnya sendiri.
     "Hah... Sudahlah, aku harap firasat buruk ku ini hanyalah sekedar rasa dalam diri badan. Semoga tak terjadi sesuatu dengan si otak licik itu, karna yah biar bagaimana pun hanya dia satu-satunya saudara satu kandungan yang aku miliki."
     Arya kembali bergumam kecil didepan foto lengkap keluarga kecil mereka. Ia berdoa dalam hati juga untuk kesehatan Papanya yang mulai membaik dan juga berharap agar Yang Maha Esa tak menghadiahkan sebuah penyakit menyeramkan juga pada Sang Mama.

BALI, LOVE & SACRIFICE (MASIH LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang